Bacaan Liturgi : Ams. 31:10-13,19-20,30-31; Mzm. 128:1-2,3,4-5; 1Tes. 5:1-6; Mat. 25:14-30 (Mat. 25:14-15,19-21).
Perumpamaan yang baru saja kita
dengarkan memiliki awal, pusat dan akhir, yang menjelaskan awal, pusat dan
akhir hidup kita.
Awal. Semuanya dimulai dengan
kebaikan yang luar biasa. Sang tuan tidak menyimpan kekayaannya untuk dirinya
sendiri, tetapi memberikannya kepada para hambanya; yang seorang lima talenta,
yang seorang lagi dua talenta dan yang seorang lain lagi satu talenta,
"masing-masing menurut kesanggupannya" (Mat 25:15). Menurut perhitungan,
satu talenta setara dengan pendapatan dari pekerjaan selama sekitar dua puluh
tahun : satu talenta sangat berharga, dan akan cukup untuk seumur hidup. Inilah
awal. Bagi kita juga, semuanya dimulai dengan rahmat Allah - semuanya selalu
dimulai dengan rahmat, bukan dengan upaya kita sendiri - dengan rahmat Allah,
yang adalah Bapa dan telah memberi kita begitu banyak hal yang baik,
mempercayakan talenta yang berbeda kepada kita masing-masing. Kita memiliki
kekayaan yang luar biasa yang tidak bergantung pada apa yang kita miliki tetapi
pada diri kita apa adanya : kehidupan yang telah kita terima, kebaikan di dalam
diri kita, keindahan yang tak terhapuskan yang diberikan Allah kepada kita
dengan menjadikan kita menurut citra-Nya ... Semua hal ini membentuk diri kita
masing-masing berharga di mata-Nya, diri kita masing-masing tak ternilai
harganya dan unik dalam sejarah! Inilah cara Allah memandang kita, bagaimana
perasaan Allah terhadap kita.
Kita perlu mengingat hal ini. Terlalu
sering, ketika melihat hidup kita, kita hanya melihat kekurangan kita, dan kita
mengeluhkan kekurangan kita. Kita kemudian menyerah pada godaan untuk
mengatakan : “Seandainya saja …!” Seandainya saja aku punya pekerjaan itu,
seandainya saja aku punya rumah itu, seandainya saja aku punya uang dan sukses,
seandainya saja aku tidak punya masalah ini atau itu, seandainya saja aku punya
orang-orang yang lebih baik di sekitarku…! Tetapi kata-kata khayalan itu -
seandainya saja! - menghalangi kita melihat hal-hal yang baik di sekitar kita.
Kata-kata tersebut membuat kita melupakan talenta yang kita miliki. Kamu
mungkin tidak memiliki itu, tetapi kamu memiliki ini, dan "seandainya
saja" membuat kita melupakan ini. Namun Allah memberikan talenta itu
kepada kita karena Ia mengenal kita masing-masing dan Ia tahu kemampuan kita.
Ia memercayai kita, terlepas dari kelemahan kita. Allah bahkan memercayai hamba
yang akan menyembunyikan talentanya, berharap meskipun ketakutan, ia juga akan
menggunakan apa yang diterimanya dengan baik. Singkatnya, Allah meminta kita
untuk memanfaatkan saat ini sebaik-baiknya, bukan merindukan masa lalu, tetapi
dengan tekun menunggu kedatangan-Nya kembali. Betapa buruknya nostalgia itu,
yang seperti suasana hati yang gelap meracuni jiwa kita dan membuat kita selalu
menoleh ke belakang, selalu pada orang lain, tetapi tidak pernah ke tangan kita
sendiri atau pada kesempatan untuk bekerja yang telah diberikan Tuhan kepada
kita, tidak pernah pada situasi kita … Bahkan tidak pada kemiskinan kita.
Hal ini membawa kita ke inti
perumpamaan : pekerjaan para hamba, yaitu pelayanan. Pelayanan adalah pekerjaan
kita juga; pelayanan membuat talenta kita menghasilkan buah dan memberi makna
pada hidup kita. Orang-orang yang tidak hidup untuk melayani, melayani sedikit
dalam kehidupan ini. Kita harus mengulangi hal ini, dan sering mengulanginya :
orang-orang yang tidak hidup untuk melayani, melayani sedikit dalam hidup ini.
Kita harus merenungkan hal ini : orang-orang yang tidak hidup untuk melayani,
melayani sedikit dalam hidup ini. Tetapi pelayanan macam apa yang sedang kita
bicarakan? Dalam Injil, hamba yang baik adalah orang-orang yang mengambil
resiko. Mereka tidak takut dan terlalu berhati-hati, mereka tidak bergantung
pada apa yang mereka miliki, tetapi memanfaatkannya dengan baik. Karena jika
tidak diinvestasikan, kebaikan akan hilang, dan kemegahan hidup kita tidak
diukur dengan seberapa banyak kita menyimpan tetapi dengan buah yang kita
hasilkan. Berapa banyak orang menghabiskan hidup mereka hanya untuk
mengumpulkan harta benda, hanya memikirkan kehidupan yang baik dan bukan
kebaikan yang dapat mereka lakukan. Namun betapa hampanya kehidupan yang
berpusat pada kebutuhan kita dan buta terhadap kebutuhan orang lain! Alasan
kita memiliki karunia adalah agar kita bisa menjadi karunia untuk orang lain.
Dan di sini, saudara dan saudari, kita seharusnya mengajukan pada diri sendiri
pertanyaan : apakah aku hanya mengikuti kebutuhanku sendiri, atau dapatkah aku
memperhatikan kebutuhan orang lain, siapa pun yang membutuhkan? Apakah tanganku
terulur, atau terkatup?
Tepat empat kali para hamba yang
menginvestasikan talenta mereka, yang mengambil resiko, disebut
"setia" (ayat 21, 23) sangatlah penting. Demi Injil,
kesetiaan tidak pernah bebas resiko. “Tetapi, Bapa, apakah menjadi seorang
Kristiani berarti mengambil resiko?” - “Ya, kekasihku, ambillah resiko. Jika
kamu tidak mengambil resiko, kamu akhirnya akan seperti [hamba] yang ketiga :
mengubur kemampuanmu, kekayaan rohani dan jasmanimu, semuanya”. Mengambil
resiko : tidak ada kesetiaan tanpa resiko. Kesetiaan kepada Allah berarti
menyerahkan hidup kita, membiarkan rencana kita yang telah disusun dengan
seksama terganggu oleh kebutuhan kita untuk melayani. “Tetapi aku memiliki
rencana, dan andaikan saja aku harus melayani…”. Biarkan rencanaku kacau, pergi
dan melayani. Ketika orang Kristiani memainkan permainan defensif, puas sekadar
mematuhi aturan dan mematuhi perintah sungguh menyedihkan. Orang Kristiani
"moderat" yang tidak pernah melampaui batas, tidak pernah, karena
mereka takut akan resiko. Dan mereka, perkenankan saya menggambarkan hal ini, orang-orang
yang menjaga diri mereka untuk menghindari resiko memulai dalam hidup mereka
proses mumifikasi jiwa mereka, dan mereka berakhir sebagai mumi. Mengikuti
aturan saja tidak cukup; kesetiaan kepada Yesus bukan hanya tentang tidak
membuat kesalahan, ini sangat keliru. Itulah yang dipikirkan oleh hamba yang
malas dalam perumpamaan itu : karena kurangnya inisiatif dan kreativitas, ia
menyerah pada rasa takut yang tidak perlu dan mengubur talenta yang telah ia
terima. Sang tuan sungguh menyebutnya "jahat" (ayat 26). Namun ia
tidak melakukan kesalahan apa pun! Tetapi ia juga tidak melakukan hal yang
baik. Ia lebih suka berbuat dosa karena kelalaian daripada mengambil resiko
membuat kesalahan. Ia tidak setia kepada Allah, yang membelanjakan uangnya
dengan bebas, dan ia membuat kesalahannya semakin parah dengan mengembalikan
karunia yang telah ia terima. "Engkau memberiku ini, dan aku memberikannya
kepada Engkau", tidak lebih. Allah, dari pihak-Nya, meminta kita untuk
bermurah hati, menaklukkan ketakutan dengan keberanian cinta, mengatasi
kepasifan yang menjadi keterlibatan. Hari ini, di masa ketidakpastian ini, di
masa ketidakstabilan ini, janganlah kita menyia-nyiakan hidup kita dengan hanya
memikirkan diri kita sendiri, acuh tak acuh kepada orang lain, atau menipu diri
kita sendiri dengan berpikir : "semuanya damai dan aman!" (1 Tes
5:3). Santo Paulus mengundang kita untuk melihat kenyataan di wajah dan
menghindari berjangkitnya ketidakpedulian.
Lalu bagaimana kita melayani,
sebagaimana diinginkan Allah terhadap diri kita? Sang tuan memberitahu hamba
yang tidak setia : “Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada
orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan
bunganya” (ayat 27). Siapakah “orang yang menjalankan uang” yang bisa memberi
kita bunga jangka panjang? Mereka adalah orang miskin. Jangan lupa : orang
miskin adalah inti dari Injil; kita tidak dapat memahami Injil tanpa orang
miskin. Orang miskin seperti Yesus sendiri, yang, meskipun kaya, mengosongkan
diri-Nya, menjadikan diri-Nya miskin, bahkan menanggung dosa ke atas diri-Nya
sendiri : jenis kemiskinan yang paling buruk. Orang miskin menjamin kita
pendapatan kekal. Bahkan sekarang mereka membantu kita menjadi kaya akan cinta.
Karena jenis kemiskinan terburuk yang perlu diberantas adalah kemiskinan cinta
kita. Jenis kemiskinan terburuk yang perlu diberantas adalah kemiskinan cinta
kita. Kitab Amsal memuji perempuan yang kaya akan cinta, yang nilainya lebih
besar daripada mutiara. Kita diperintahkan untuk meneladan perempuan yang
"mengulurkan tangannya kepada yang miskin" (Ams 31:20): itulah
kekayaan terbesar dari perempuan ini. Ulurkan tanganmu kepada orang miskin,
alih-alih menuntut kekuranganmu. Dengan cara ini, kamu akan melipatgandakan
talenta yang telah kamu terima.
Masa Natal semakin dekat, masa
liburan. Seberapa sering kita mendengar orang bertanya : “Apa yang bisa kubeli?
Apalagi yang bisa kumiliki? Aku harus pergi berbelanja”. Mari kita gunakan
kata-kata yang berbeda : “Apa yang bisa kuberikan kepada orang lain?”, Guna
menjadi seperti Yesus, yang memberikan diri-Nya dan lahir di palungan”.
Sekarang kita sampai pada akhir
perumpamaan. Beberapa orang akan kaya, sementara yang lain, yang punya banyak
dan menyia-nyiakan hidup mereka, akan menjadi miskin (bdk. ayat 29). Di akhir
hidup kita, kebenaran akan terungkap. Kepura-puraan dunia ini akan memudar,
dengan anggapannya bahwa kesuksesan, kekuasaan dan uang memberi makna pada
kehidupan, sedangkan cinta - cinta yang telah kita berikan - akan terungkap
sebagai kekayaan yang sesungguhnya. Hal-hal itu akan runtuh, namun cinta akan
muncul. Seorang Bapa Gereja yang hebat menulis : “Mengenai kehidupan ini,
ketika kematian datang dan teater ditinggalkan, ketika semua melepaskan topeng
kekayaan atau kemiskinan mereka dan pergi karenanya, dinilai hanya oleh
pekerjaan mereka, mereka akan terlihat untuk apa mereka ada : beberapa orang
benar-benar kaya, yang lain miskin” (Santo Yohanes Krisostomus, Homili tentang
Lazarus, Si Orang Miskin, II, 3). Jika kita tidak ingin hidup dengan buruk,
marilah kita memohon rahmat untuk melihat Yesus di dalam diri orang miskin,
melayani Yesus di dalam diri orang miskin.
Saya ingin berterima kasih kepada
semua hamba Allah yang setia yang dengan tenang menghayati cara ini, melayani
sesama. Saya memikirkan, misalnya, Pastor Roberto Malgesini. Imam ini tidak
tertarik pada teori; ia hanya melihat Yesus di dalam diri orang miskin dan
menemukan makna hidup dalam melayani mereka. Ia mengeringkan air mata mereka
dengan kelembutannya, atas nama Allah yang menghibur. Awal harinya adalah doa,
menerima rahmat Allah; pusat harinya adalah amal, membuat cinta yang telah ia
terima menghasilkan buah; akhir harinya adalah kesaksiannya yang gamblang
tentang Injil. Orang ini menyadari bahwa ia harus mengulurkan tangannya kepada
semua orang miskin yang ia temui setiap hari, karena ia melihat Yesus dalam
diri mereka masing-masing. Saudara dan saudari, marilah kita memohon rahmat
untuk menjadi orang Kristiani bukan dalam perkataan, tetapi dalam perbuatan.
Menghasilkan buah, seperti yang dikehendaki Yesus. Semoga hal ini benar-benar
terjadi.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 15 November 2020)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.