Bacaan Liturgi : Yeh. 34:11-12,15-17; Mzm. 23:1-2a,2b-3,5-6; 1Kor. 15:20-26,28; Mat. 25:31-46.
Kita baru saja mendengar perikop
Injil Matius yang terdapat tepat sebelum kisah Sengsara Kristus. Sebelum
mencurahkan kasih-Nya kepada kita di kayu salib, Yesus menyampaikan keinginan-Nya
yang terakhir. Ia memberitahu kita bahwa kebaikan yang kita lakukan untuk salah
seorang dari saudara dan suadari kita yang paling hina kamu - entah lapar atau haus, seorang asing,
membutuhkan, sakit atau di dalam penjara - kita melakukan untuk-Nya (bdk. Mat
25:37-40). Dengan cara ini, Allah memberi kita “daftar karunia” untuk pesta perkawinan
kekal yang akan Ia bagikan kepada kita di surga. Karunia-karunia tersebut
adalah karya belas kasih yang membuat hidup kita kekal. Kita masing-masing
dapat bertanya : Apakah aku melaksanakan karya-karya ini? Apakah aku melakukan
sesuatu untuk seseorang yang membutuhkan? Atau apakah aku berbuat baik hanya
untuk orang-orang yang kucintai dan sahabat-sahabatku? Apakah aku membantu
seseorang yang tidak dapat memberi imbalan apapun kepadaku? Apakah aku sahabat orang
miskin? Dan masih banyak pertanyaan serupa yang bisa kita tanyakan pada diri
kita sendiri. “Di sanalah Aku”, Yesus berkata kepadamu, “Aku sedang menunggumu
di sana, di mana kamu setidaknya berpikir dan bahkan mungkin tidak ingin
melihat : di sana, di dalam diri orang miskin”. Aku ada di sana, di mana
mentalitas yang berlaku, yang menurutnya hidup adalah baik jika hidup tersebut
baik untukku, setidaknya sesuai harapanku. Aku ada di sana. Yesus juga mengucapkan
kata-kata ini kepadamu, kaum muda, saat kamu berusaha untuk mewujudkan impian
hidupmu.
Aku ada di sana. Yesus mengucapkan
kata-kata ini berabad-abad yang lalu, kepada seorang perwira muda. Ia berumur
delapan belas tahun dan belum dibaptis. Suatu hari ia melihat seorang miskin
yang sedang meminta bantuan kepada orang-orang tetapi tidak menerima apa-apa,
karena “semua orang berlalu”. Orang muda itu, “melihat bahwa orang lain tidak
tergerak untuk berbelas kasih, memahami bahwa orang miskin ada untuknya. Namun
ia tidak memiliki apa-apa, hanya seragam. Ia membagi dua jubahnya dan
memberikan setengahnya kepada orang miskin itu, serta disambut dengan gelak tawa
yang mengejek dari beberapa orang yang menyaksikannya. Malam berikutnya ia
bermimpi : ia melihat Yesus, mengenakan setengah jubah yang telah ia lilitkan
pada orang miskin itu, dan ia mendengar-Nya mengatakan : 'Martinus, kamu
menutupi diri-Ku dengan jubah ini'" (bdk. SULPICIUS SEVERUS, Vita Martini,
III). Santo Martinus adalah orang muda itu. Ia memiliki mimpi itu karena, tanpa
menyadarinya, ia telah bertindak seperti orang benar dalam Injil hari ini.
Orang muda yang terkasih, saudara dan
saudari yang terkasih, marilah kita tidak menyerah terhadap impian yang luar
biasa. Marilah kita tidak hanya puas dengan apa yang diperlukan. Tuhan tidak
ingin kita mempersempit wawasan kita atau tetap terparkir di pinggir jalan
kehidupan. Ia ingin kita berlomba dengan berani dan penuh sukacita menuju
tujuan yang luhur. Kita tidak diciptakan untuk bermimpi tentang liburan atau
akhir pekan, tetapi mewujudkan impian Allah di dunia ini. Allah memampukan kita
bermimpi, sehingga kita bisa merangkul keindahan hidup. Karya belas kasih ini adalah
karya terindah dalam hidup. Karya tersebut langsung menuju pokok impian besar
kita. Jika kamu sedang bermimpi tentang kemuliaan sejati, bukan kemuliaan dunia
yang sedang berlalu ini tetapi kemuliaan Allah, inilah jalan yang harus
diikuti. Bacalah lagi perikop Injil hari ini dan renungkanlah. Karena karya
belas kasih memuliakan Allah melebihi apapun. Dengarkan baik-baik : karya belas
kasihan memuliakan Allah melebihi apapun. Pada akhirnya kita akan dihakimi berdasarkan
karya belas kasih.
Namun, bagaimana kita mulai
mewujudkan impian besar? Dengan pilihan-pilihan yang luar biasa. Injil hari ini
berbicara kepada kita tentang hal ini juga. Memang, pada penghakiman terakhir,
Tuhan akan menghakimi kita berdasarkan pilihan-pilihan yang telah kita buat. Ia
tampaknya hampir tidak menghakimi, tetapi hanya memisahkan domba dari kambing,
sedangkan menjadi baik atau jahat tergantung pada kita. Ia hanya mengungkapkan akibat
dari pilihan-pilihan kita, menyorotinya dan menghormatinya. Hidup, kita telaah,
adalah waktu untuk membuat pilihan-pilihan yang masuk akal, menentukan, dan
kekal. Pilihan yang tidak berarti mengarah pada kehidupan yang tidak berarti; pilihan-pilihan
luar biasa untuk hidup yang luar biasa. Memang, kita menjadi apa yang kita
pilih, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Jika kita memilih untuk mencuri,
kita menjadi pencuri. Jika kita memilih untuk memikirkan diri kita sendiri,
kita menjadi egois. Jika kita memilih untuk membenci, kita menjadi pemarah. Jika
kita memilih menghabiskan berjam-jam dengan gawai, kita menjadi kecanduan.
Namun jika kita memilih Allah, setiap hari kita bertumbuh dalam kasih-Nya, dan
jika kita memilih untuk mencintai orang lain, kita menemukan kebahagiaan
sejati. Karena keindahan pilihan kita bergantung pada cinta. Ingatlah hal ini
karena memang benar : keindahan pilihan kita bergantung pada cinta. Yesus tahu
bahwa jika kita egois dan acuh tak acuh, kita tetap lumpuh, tetapi jika kita
memberikan diri kita bagi orang lain, kita menjadi bebas. Tuhan Sang Empunya Kehidupan
menginginkan kita menjadi penuh dengan kehidupan, dan Ia memberitahu kita
rahasia kehidupan : kita bisa memilikinya hanya dengan memberikannya. Inilah
aturan kehidupan : kita sampai pada memiliki kehidupan, sekarang dan dalam
kekekalan, hanya dengan memberikannya.
Memang benar bahwa ada hambatan-hambatan
yang dapat menyulitkan pilihan-pilihan kita : ketakutan, ketidakamanan, begitu
banyak pertanyaan yang tak terjawab … Namun, cinta menuntut kita untuk
melampaui hal ini, dan tidak terus bertanya-tanya mengapa hidup seperti ini,
dan mengharapkan jawaban yang jatuh dari surga. Jawabannya telah tiba : tatapan
Bapa yang mencintai kita dan yang telah mengutus Putra-Nya kepada kita. Tidak,
cinta mendorong kita untuk melampaui mengapa, dan sebaliknya, tidak menanyakan
"Mengapa aku hidup?", tetapi menanyakan kepada diri kita, "Untuk
siapa aku hidup?" Dari "Mengapa hal ini sedang terjadi padaku?" menjadi
"Siapa yang bisa kutolong?" Untuk siapa? Bukan hanya untuk diriku
sendiri! Kehidupan sudah penuh dengan pilihan-pilihan yang kita buat untuk diri
kita sendiri : apa yang harus dipelajari, sahabat manakah yang harus dimiliki,
rumah apa yang akan dibeli, minat atau kegemaran apa yang ingin dikejar. Kita
bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memikirkan diri kita sendiri,
tanpa pernah benar-benar mulai mencintai. Alessandro Manzoni memberikan sepatah
nasihat yang bagus : “Kita harus lebih bertujuan untuk berbuat baik kemudian
menjadi baik: dan dengan demikian, pada akhirnya, kita seharusnya sungguh
sampai menjadi lebih baik” (I Promessi Sposi [Sang Mempelai], Bab
XXXVIII).
Tidak hanya keraguan dan pertanyaan
yang dapat merusak pilihan-pilihan yang luar biasa dan murah hati, tetapi juga
banyak hambatan lainnya setiap hari. Konsumerisme yang mendemam dapat
membanjiri hati kita dengan hal-hal yang tidak berguna. Obsesi dengan
kesenangan mungkin tampak sebagai satu-satunya cara untuk menghindari masalah,
namun itu hanya menundanya. Perasaan mendalam dengan hak-hak kita dapat membuat
kita mengabaikan tanggung jawab kita terhadap orang lain. Kemudian, ada
kesalahpahaman besar tentang cinta, yang lebih dari sekadar emosi yang kuat,
tetapi terutama sebuah karunia, pilihan, dan pengorbanan. Seni memilih dengan
baik, terutama dewasa ini, berarti tidak mengusahakan persetujuan, tidak terjun
ke dalam mentalitas konsumerisme yang menghalangi keaslian, dan tidak mengultuskan
penampilan. Memilih kehidupan berarti menolak "budaya membuang" dan
keinginan untuk memiliki "segalanya sekarang", guna mengarahkan kehidupan
kita menuju tujuan surgawi, menuju impian Allah. Memilih kehidupan adalah hidup,
dan kita dilahirkan untuk hidup, bukan hanya sekadar bertahan. Seorang pemuda
seperti kamu, Beato Pier Giorgio Frassati, mengatakan hal ini : “Aku ingin
hidup, bukan sekadar bertahan”.
Setiap hari, dalam hati kita, kita
menghadapi banyak pilihan. Saya ingin memberimu sepatah nasihat terakhir untuk
membantu melatihmu memilih dengan baik. Jika kita melihat ke dalam diri kita
sendiri, kita dapat melihat munculnya dua pertanyaan yang sangat berbeda. Kita menanyakan,
"Apa yang ingin kulakukan?" Pertanyaan ini sering kali terbukti
menyesatkan, karena menunjukkan bahwa yang sungguh penting adalah memikirkan
diri kita sendiri serta menuruti keinginan dan dorongan kita. Pertanyaan yang
ditanamkan Roh Kudus dalam hati kita adalah pertanyaan yang sangat berbeda :
bukan "Apa yang ingin kamu lakukan?" tetapi "Apa yang terbaik
untukmu?" Itulah pilihan yang harus kita buat setiap hari : apa yang ingin
kulakukan atau apa yang terbaik untukku? Ketajaman batin ini dapat menghasilkan
pilihan yang remeh-temeh atau keputusan yang membentuk hidup kita - tergantung
pada diri kita. Marilah kita memandang Yesus dan memohonkan kepada-Nya
keberanian untuk memilih yang terbaik bagi kita, memampukan kita mengikuti-Nya
di jalan cinta. Dan dengan jalan ini menemukan sukacita. Hidup, dan tidak sekadar
bertahan.
[Pernyataan Bapa Suci pada Akhir Misa
Kudus]
Di akhir perayaan Ekaristi ini, dengan
hangat saya menyapa kalian semua yang hadir dan semua yang bergabung dengan kita
melalui media. Sapaan khusus tertuju kepada kaum muda Panama dan Portugal, yang
diwakili oleh dua delegasi yang akan segera ambil bagian dalam upacara penting serah
terima Salib dan ikon Bunda Maria Salus Populi Romani, lambang Hari Orang
Muda Sedunia. Ini adalah langkah penting dalam peziarahan yang akan membawa
kita ke Lisbon pada tahun 2023.
Dan saat kita mempersiapkan gelaran Hari
Orang Muda Sedunia antarbenua berikutnya, saya juga ingin memperbarui
perayaannya di Gereja-gereja lokal. Tiga puluh lima tahun setelah pencanangan Hari
Orang Muda Sedunia, setelah mendengarkan berbagai pendapat dan bertukar pikiran
dengan Dikasteri untuk Kaum Awam, Keluarga dan Kehidupan, yang bertanggung
jawab atas pelayanan kaum muda, saya telah memutuskan, mulai tahun depan, untuk
memindahkan perayaan Hari Orang Muda Sedunia tingkat keuskupan dari Hari Minggu
Palma ke Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Pusat perayaan
tetap Misteri Yesus Kristus Sang Penebus Manusia, seperti yang selalu
ditekankan oleh Santo Yohanes Paulus II, penggagas dan pelindung Hari Orang Muda
Sedunia.
Orang-orang muda yang terkasih, berteriaklah
dengan hidup kalian bahwa Kristus hidup, Kristus memerintah, Kristus adalah
Tuhan! Jika kalian diam, saya memberitahu kalian, batu-batu akan berteriak"
(bdk. Luk 19:40).
___
(Peter Suriadi - Bogor, 22 November 2020)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.