Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 6 Januari 2021 : MENGANGKAT MUKA, MEMULAI PERJALANAN DAN MELIHAT


Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.

 

Penginjil Matius memberitahu kita bahwa para Majus, ketika mereka datang ke Betlehem, “melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Menyembah Tuhan tidaklah mudah; menyembah Tuhan tidak terjadi begitu saja. Menyembah Tuhan membutuhkan kedewasaan rohani tertentu dan merupakan buah dari perjalanan batin yang terkadang panjang. Menyembah Tuhan bukanlah sesuatu yang kita lakukan secara spontan. Memang, manusia memiliki kebutuhan untuk menyembah, tetapi kita dapat beresiko kehilangan tujuan tersebut. Sungguh, jika kita tidak menyembah Allah, kita akan menyembah berhala - tidak ada jalan tengah, menyembah Allah atau menyembah berhala; atau, menggunakan kata-kata dari seorang penulis Prancis : “Barangsiapa tidak menyembah Allah, ia menyembah iblis” - dan bukannya menjadi orang percaya, kita akan menjadi para penyembah berhala. Hanya seperti itu, otomatis.

 

Di zaman kita, sangatlah penting bagi kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, mencurahkan lebih banyak waktu untuk menyembah. Kita perlu belajar lebih baik bagaimana merenungkan Tuhan. Kita agak kehilangan makna doa adorasi, jadi kita harus mengembalikannya, baik dalam komunitas kita maupun dalam kehidupan rohani kita sendiri. Hari ini, marilah kita mempelajari beberapa pelajaran yang bermanfaat dari para Majus. Seperti mereka, kita ingin sujud menyembah Tuhan. Menyembah-Nya dengan sungguh-sungguh, tidak seperti yang dikatakan Herodes : “Kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia". Bukan, penyembahan itu tidak baik. Penyembahan kita harus sungguh-sungguh!

 

Liturgi Sabda menawarkan kepada kita tiga frasa yang dapat membantu kita untuk memahami lebih lengkap apa artinya menjadi para penyembah Tuhan. Ketiga frasa tersebut adalah : "mengangkat muka kita", "memulai perjalanan" dan "melihat". Ketiga frasa ini dapat membantu kita untuk memahami apa artinya menjadi penyembah Tuhan.

 

Frasa yang pertama, mengangkat muka kita, datang kepada kita dari nabi Yesaya. Kepada jemaat Yerusalem, yang baru saja kembali dari pengasingan dan putus asa karena besarnya tantangan dan kesulitan, nabi Yesaya menyampaikan kata-kata dorongan yang kuat ini : “Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling” (60:4). Ia mendesak mereka untuk menyingkirkan keletihan dan keluhan, melepaskan diri dari kemacetan cara pandang yang sempit, mengenyahkan kediktatoran diri, godaan terus-menerus untuk menarik diri ke dalam diri kita sendiri dan perhatian kita sendiri. Menyembah Tuhan, pertama-tama kita harus “mengangkat muka kita”. Dengan kata lain, jangan biarkan diri kita terkurung oleh hantu khayalan yang melumpuhkan harapan, jangan menjadikan masalah dan kesulitan kita sebagai pusat kehidupan kita. Ini tidak berarti menyangkal kenyataan, atau menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Sebaliknya, ini adalah perkara memandang masalah dan kecemasan dengan cara baru, memahami bahwa Tuhan sadar akan masalah kita, memperhatikan doa-doa kita dan tidak mengabaikan air mata kita yang tertumpah.

 

Cara melihat hal-hal ini, yang terlepas dari segala sesuatu terus memercayai Tuhan, menimbulkan rasa syukur bakti. Saat ini terjadi, hati kita menjadi terbuka untuk menyembah. Di sisi lain, ketika kita hanya berfokus pada masalah, dan menolak untuk mengangkat muka kita kepada Allah, ketakutan dan kebingungan merayap ke dalam hati kita, menimbulkan kemarahan, kebingungan, kecemasan dan depresi. Kemudian menjadi sulit untuk menyembah Tuhan. Setelah ini terjadi, kita perlu menemukan keberanian untuk keluar dari lingkaran kesimpulan kita yang terdahulu dan menyadari bahwa kenyataan jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Angkat mukamu, lihat di sekeliling dan lihat. Tuhan meminta kita pertama-tama untuk percaya kepada-Nya, karena Ia benar-benar peduli pada semua orang. Jika Allah mendandani rumput di ladang, yang tumbuh hari ini, dan besok dibuang ke dalam api, berapa banyak lagi yang akan Ia sediakan bagi kita? (bdk. Luk 12:28). Jika kita mengangkat muka kita kepada Tuhan, dan mempertimbangkan segala sesuatu dalam terang-Nya, kita akan melihat bahwa Ia tidak pernah meninggalkan kita. Sabda menjadi manusia (bdk. Yoh 1:14) dan senantiasa tinggal bersama kita, sepanjang masa (bdk. Mat 28:20). Senantiasa.

 

Ketika kita mengangkat muka kita kepada Allah, masalah hidup tidak akan lenyap, tidak; sebaliknya kita merasa yakin bahwa Tuhan memberi kita kekuatan untuk menghadapinya. Langkah pertama menuju sikap penyembahan, kemudian, adalah "mengangkat muka kita". Penyembahan kita yakni penyembahan para murid yang telah menemukan sukacita baru dan tak terduga di dalam Allah. Sukacita duniawi berlandaskan kekayaan, kesuksesan atau hal serupa, senantiasa dengan diri kita sendiri sebagai pusatnya. Sukacita murid-murid Kristus, sebaliknya, berlandaskan kesetiaan Allah, yang janji-janji-Nya tidak pernah gagal, apapun krisis yang mungkin kita hadapi. Rasa syukur dan sukacita bakti membangkitkan dalam diri kita keinginan untuk menyembah Tuhan, yang tetap sungguh setia dan tidak pernah meninggalkan kita.

 

Frasa bermanfaat yang kedua adalah memulai perjalanan. Sebelum mereka bisa menyembah Sang Anak di Betlehem, para Majus harus menempuh perjalanan yang panjang. Matius memberitahu kita bahwa pada masa itu "datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: 'Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia'" (Mat 2:1-2). Perjalanan senantiasa melibatkan perubahan rupa, perubahan. Setelah melakukan perjalanan, kita tidak lagi sama. Senantiasa ada sesuatu yang baru tentang mereka yang telah melakukan perjalanan : mereka telah mempelajari hal-hal baru, menemukan orang-orang dan situasi-situasi baru, serta menemukan kekuatan batin di tengah kesulitan dan resiko yang mereka hadapi di sepanjang jalan. Tidak ada yang menyembah Tuhan tanpa terlebih dahulu mengalami pertumbuhan batin yang berasal dari memulai sebuah perjalanan.

 

Kita menjadi para penyembah Tuhan melalui proses bertahap. Pengalaman mengajarkan kita, misalnya, bahwa pada usia lima puluh tahun kita menyembah secara berbeda daripada yang kita lakukan pada usia tiga puluh tahun. Mereka yang membiarkan diri dibentuk oleh rahmat biasanya berkembang seiring dengan waktu : secara lahiriah, kita bertambah tua - demikian Santo Paulus memberitahu kita - sementara kodrat batin kita diperbarui setiap hari (bdk. 2 Kor 4:16), saat bertumbuhnya pemahaman kita tentang cara terbaik untuk menyembah Tuhan. Dari sudut pandang ini, kegagalan, krisis, dan kesalahan kita dapat menjadi pengalaman pembelajaran : sering kali semuanya itu dapat membantu kita untuk lebih menyadari bahwa hanya Tuhan yang layak untuk kita sembah, karena hanya Dia yang dapat memuaskan hasrat terdalam kita akan kehidupan dan kekekalan. Dengan berlalunya waktu, pencobaan dan kesulitan hidup - dialami dalam iman - membantu memurnikan hati kita, membuat lebih rendah hati dan dengan demikian semakin terbuka kepada Allah. Bahkan dosa-dosa kita, kesadaran menjadi orang berdosa, mengalami hal-hal buruk seperti itu. “Tetapi saya melakukan ini ... saya melakukan ...” : jika kamu mendekatinya dengan iman dan pertobatan, dengan penyesalan, itu akan membantumu bertumbuh. Paulus berkata bahwa segala sesuatu dapat membantu kita untuk bertumbuh secara rohani, bertemu dengan Yesus, bahkan dosa-dosa kita. Dan Santo Thomas menambahkan : “etiam mortalia”, bahkan dosa-dosa yang buruk, yang terburuk. Tetapi jika kamu menanggapi dengan pertobatan itu akan membantumu dalam perjalanan untuk berjumpa Tuhan ini dan menyembah-Nya dengan lebih baik.

 

Seperti para Majus, kita juga harus membiarkan diri kita belajar dari perjalanan hidup, yang ditandai dengan ketidaknyamanan perjalanan yang tak terhindarkan. Kita tidak bisa membiarkan keletihan kita, kejatuhan kita, dan kegagalan kita mematahkan semangat kita. Sebaliknya, dengan mengakui semua itu dengan rendah hati, kita seharusnya menjadikan semuanya itu kesempatan untuk maju menuju Tuhan Yesus. Hidup bukanlah tentang memamerkan kemampuan kita, tetapi sebuah perjalanan menuju Dia yang mengasihi kita. Kita tidak boleh memamerkan kebajikan kita dalam setiap langkah hidup kita; sebaliknya, dengan kerendahan hati kita harus berjalan menuju Tuhan. Dengan menjaga pandangan kita tetap tertuju pada Tuhan, kita akan menemukan kekuatan yang dibutuhkan untuk bertahan dengan sukacita yang diperbarui.

 

Jadi kita sampai pada frasa yang ketiga : melihat. Mengangkat muka kita; memulai perjalanan; melihat. Penginjil mengatakan kepada kita bahwa, "Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Menyembah adalah tindakan penghormatan yang diperuntukkan bagi penguasa dan pejabat tinggi. Para Majus menyembah Dia yang mereka tahu adalah raja orang Yahudi (bdk. Mat 2:2). Tetapi apa yang sebenarnya mereka lihat? Mereka melihat seorang Anak yang miskin dan ibu-Nya. Namun orang-orang bijak dari negeri nun jauh ini mampu melihat melampaui lingkungan hina itu dan mengenali dalam diri Anak itu kehadiran rajawi. Mereka mampu "melihat" melampaui penampilan. Sambil berlutut di hadapan Sang Bayi Betlehem, mereka mengungkapkan penyembahan yang terutama berada di dalam di diri mereka : membuka harta yang mereka bawa sebagai hadiah melambangkan persembahan hati mereka.

 

Untuk menyembah Tuhan kita perlu “melihat” di balik tabir hal-hal yang terlihat, yang seringkali terbukti menipu. Herodes dan warga terkemuka Yerusalem mewakili keduniawian yang diperbudak oleh penampilan dan atraksi langsung. Mereka melihat, namun mereka tidak dapat melihat. Bukan karena mereka tidak percaya, tidak; mereka tidak tahu bagaimana melihat karena mereka budak penampilan dan mencari apa yang menarik. Mereka hanya menghargai hal-hal yang sensasional, hal-hal yang menarik perhatian khalayak. Akan tetapi, dalam diri para Majus, kita melihat pendekatan yang sangat berbeda, yang dapat kita definisikan sebagai realisme teologis – kata-kata yang sangat "tinggi", namun bermanfaat - cara untuk memahami kenyataan obyektif dari berbagai hal dan mengarah pada kesadaran bahwa Allah menghindari segenap kesombongan. Tuhan ada dalam kerendahan hati, Ia bagaikan seorang anak yang rendah hati itu, yang menghindari kesombongan yang justru merupakan produk keduniawian. Sebuah cara untuk “melihat” yang melampaui yang terlihat dan memungkinkan kita untuk menyembah Tuhan yang sering kali tersembunyi dalam situasi sehari-hari, dalam diri orang-orang miskin dan mereka yang berada di pinggiran. Cara melihat hal-hal yang tidak dikesankan oleh suara dan amarah, tetapi mencari dalam setiap situasi perkara yang benar-benar penting, dan perkara mencari Tuhan. Bersama Santo Paulus, marilah kita “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18).

 

Semoga Tuhan Yesus menjadikan kita para penyembah sejati, yang mampu menunjukkan melalui hidup kita rencana kasih-Nya bagi segenap umat manusia. Marilah kita memohon rahmat bagi kita masing-masing dan bagi seluruh Gereja, untuk belajar menyembah, terus menyembah, sering melakukan doa adorasi ini, karena hanya Allah yang harus disembah.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.