Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.
Penginjil Matius memberitahu kita
bahwa para Majus, ketika mereka datang ke Betlehem, “melihat Anak itu bersama
Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Menyembah Tuhan tidaklah
mudah; menyembah Tuhan tidak terjadi begitu saja. Menyembah Tuhan membutuhkan
kedewasaan rohani tertentu dan merupakan buah dari perjalanan batin yang
terkadang panjang. Menyembah Tuhan bukanlah sesuatu yang kita lakukan secara
spontan. Memang, manusia memiliki kebutuhan untuk menyembah, tetapi kita dapat
beresiko kehilangan tujuan tersebut. Sungguh, jika kita tidak menyembah Allah,
kita akan menyembah berhala - tidak ada jalan tengah, menyembah Allah atau menyembah
berhala; atau, menggunakan kata-kata dari seorang penulis Prancis :
“Barangsiapa tidak menyembah Allah, ia menyembah iblis” - dan bukannya menjadi
orang percaya, kita akan menjadi para penyembah berhala. Hanya seperti itu,
otomatis.
Di zaman kita, sangatlah penting bagi
kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, mencurahkan lebih banyak
waktu untuk menyembah. Kita perlu belajar lebih baik bagaimana merenungkan
Tuhan. Kita agak kehilangan makna doa adorasi, jadi kita harus
mengembalikannya, baik dalam komunitas kita maupun dalam kehidupan rohani kita
sendiri. Hari ini, marilah kita mempelajari beberapa pelajaran yang bermanfaat
dari para Majus. Seperti mereka, kita ingin sujud menyembah Tuhan.
Menyembah-Nya dengan sungguh-sungguh, tidak seperti yang dikatakan Herodes :
“Kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia". Bukan,
penyembahan itu tidak baik. Penyembahan kita harus sungguh-sungguh!
Liturgi Sabda menawarkan kepada kita
tiga frasa yang dapat membantu kita untuk memahami lebih lengkap apa artinya
menjadi para penyembah Tuhan. Ketiga frasa tersebut adalah : "mengangkat
muka kita", "memulai perjalanan" dan "melihat". Ketiga
frasa ini dapat membantu kita untuk memahami apa artinya menjadi penyembah
Tuhan.
Frasa yang pertama, mengangkat muka
kita, datang kepada kita dari nabi Yesaya. Kepada jemaat Yerusalem, yang baru
saja kembali dari pengasingan dan putus asa karena besarnya tantangan dan
kesulitan, nabi Yesaya menyampaikan kata-kata dorongan yang kuat ini :
“Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling” (60:4). Ia mendesak mereka untuk
menyingkirkan keletihan dan keluhan, melepaskan diri dari kemacetan cara
pandang yang sempit, mengenyahkan kediktatoran diri, godaan terus-menerus untuk
menarik diri ke dalam diri kita sendiri dan perhatian kita sendiri. Menyembah
Tuhan, pertama-tama kita harus “mengangkat muka kita”. Dengan kata lain, jangan
biarkan diri kita terkurung oleh hantu khayalan yang melumpuhkan harapan, jangan
menjadikan masalah dan kesulitan kita sebagai pusat kehidupan kita. Ini tidak
berarti menyangkal kenyataan, atau menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa
semuanya baik-baik saja. Sebaliknya, ini adalah perkara memandang masalah dan
kecemasan dengan cara baru, memahami bahwa Tuhan sadar akan masalah kita,
memperhatikan doa-doa kita dan tidak mengabaikan air mata kita yang tertumpah.
Cara melihat hal-hal ini, yang
terlepas dari segala sesuatu terus memercayai Tuhan, menimbulkan rasa syukur
bakti. Saat ini terjadi, hati kita menjadi terbuka untuk menyembah. Di sisi
lain, ketika kita hanya berfokus pada masalah, dan menolak untuk mengangkat
muka kita kepada Allah, ketakutan dan kebingungan merayap ke dalam hati kita,
menimbulkan kemarahan, kebingungan, kecemasan dan depresi. Kemudian menjadi
sulit untuk menyembah Tuhan. Setelah ini terjadi, kita perlu menemukan
keberanian untuk keluar dari lingkaran kesimpulan kita yang terdahulu dan
menyadari bahwa kenyataan jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Angkat
mukamu, lihat di sekeliling dan lihat. Tuhan meminta kita pertama-tama untuk
percaya kepada-Nya, karena Ia benar-benar peduli pada semua orang. Jika Allah
mendandani rumput di ladang, yang tumbuh hari ini, dan besok dibuang ke dalam
api, berapa banyak lagi yang akan Ia sediakan bagi kita? (bdk. Luk 12:28). Jika
kita mengangkat muka kita kepada Tuhan, dan mempertimbangkan segala sesuatu
dalam terang-Nya, kita akan melihat bahwa Ia tidak pernah meninggalkan kita.
Sabda menjadi manusia (bdk. Yoh 1:14) dan senantiasa tinggal bersama kita,
sepanjang masa (bdk. Mat 28:20). Senantiasa.
Ketika kita mengangkat muka kita
kepada Allah, masalah hidup tidak akan lenyap, tidak; sebaliknya kita merasa
yakin bahwa Tuhan memberi kita kekuatan untuk menghadapinya. Langkah pertama
menuju sikap penyembahan, kemudian, adalah "mengangkat muka kita".
Penyembahan kita yakni penyembahan para murid yang telah menemukan sukacita
baru dan tak terduga di dalam Allah. Sukacita duniawi berlandaskan kekayaan,
kesuksesan atau hal serupa, senantiasa dengan diri kita sendiri sebagai
pusatnya. Sukacita murid-murid Kristus, sebaliknya, berlandaskan kesetiaan
Allah, yang janji-janji-Nya tidak pernah gagal, apapun krisis yang mungkin kita
hadapi. Rasa syukur dan sukacita bakti membangkitkan dalam diri kita keinginan
untuk menyembah Tuhan, yang tetap sungguh setia dan tidak pernah meninggalkan
kita.
Frasa bermanfaat yang kedua adalah
memulai perjalanan. Sebelum mereka bisa menyembah Sang Anak di Betlehem, para
Majus harus menempuh perjalanan yang panjang. Matius memberitahu kita bahwa pada
masa itu "datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan
bertanya-tanya: 'Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?
Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah
Dia'" (Mat 2:1-2). Perjalanan senantiasa melibatkan perubahan rupa,
perubahan. Setelah melakukan perjalanan, kita tidak lagi sama. Senantiasa ada
sesuatu yang baru tentang mereka yang telah melakukan perjalanan : mereka telah
mempelajari hal-hal baru, menemukan orang-orang dan situasi-situasi baru, serta
menemukan kekuatan batin di tengah kesulitan dan resiko yang mereka hadapi di
sepanjang jalan. Tidak ada yang menyembah Tuhan tanpa terlebih dahulu mengalami
pertumbuhan batin yang berasal dari memulai sebuah perjalanan.
Kita menjadi para penyembah Tuhan
melalui proses bertahap. Pengalaman mengajarkan kita, misalnya, bahwa pada usia
lima puluh tahun kita menyembah secara berbeda daripada yang kita lakukan pada
usia tiga puluh tahun. Mereka yang membiarkan diri dibentuk oleh rahmat
biasanya berkembang seiring dengan waktu : secara lahiriah, kita bertambah tua
- demikian Santo Paulus memberitahu kita - sementara kodrat batin kita
diperbarui setiap hari (bdk. 2 Kor 4:16), saat bertumbuhnya pemahaman kita
tentang cara terbaik untuk menyembah Tuhan. Dari sudut pandang ini, kegagalan,
krisis, dan kesalahan kita dapat menjadi pengalaman pembelajaran : sering kali
semuanya itu dapat membantu kita untuk lebih menyadari bahwa hanya Tuhan yang
layak untuk kita sembah, karena hanya Dia yang dapat memuaskan hasrat terdalam
kita akan kehidupan dan kekekalan. Dengan berlalunya waktu, pencobaan dan
kesulitan hidup - dialami dalam iman - membantu memurnikan hati kita, membuat
lebih rendah hati dan dengan demikian semakin terbuka kepada Allah. Bahkan
dosa-dosa kita, kesadaran menjadi orang berdosa, mengalami hal-hal buruk
seperti itu. “Tetapi saya melakukan ini ... saya melakukan ...” : jika kamu
mendekatinya dengan iman dan pertobatan, dengan penyesalan, itu akan membantumu
bertumbuh. Paulus berkata bahwa segala sesuatu dapat membantu kita untuk
bertumbuh secara rohani, bertemu dengan Yesus, bahkan dosa-dosa kita. Dan Santo
Thomas menambahkan : “etiam mortalia”, bahkan dosa-dosa yang buruk, yang
terburuk. Tetapi jika kamu menanggapi dengan pertobatan itu akan membantumu
dalam perjalanan untuk berjumpa Tuhan ini dan menyembah-Nya dengan lebih baik.
Seperti para Majus, kita juga harus
membiarkan diri kita belajar dari perjalanan hidup, yang ditandai dengan
ketidaknyamanan perjalanan yang tak terhindarkan. Kita tidak bisa membiarkan
keletihan kita, kejatuhan kita, dan kegagalan kita mematahkan semangat kita.
Sebaliknya, dengan mengakui semua itu dengan rendah hati, kita seharusnya
menjadikan semuanya itu kesempatan untuk maju menuju Tuhan Yesus. Hidup
bukanlah tentang memamerkan kemampuan kita, tetapi sebuah perjalanan menuju Dia
yang mengasihi kita. Kita tidak boleh memamerkan kebajikan kita dalam setiap
langkah hidup kita; sebaliknya, dengan kerendahan hati kita harus berjalan
menuju Tuhan. Dengan menjaga pandangan kita tetap tertuju pada Tuhan, kita akan
menemukan kekuatan yang dibutuhkan untuk bertahan dengan sukacita yang
diperbarui.
Jadi kita sampai pada frasa yang
ketiga : melihat. Mengangkat muka kita; memulai perjalanan; melihat. Penginjil
mengatakan kepada kita bahwa, "Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan
melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11).
Menyembah adalah tindakan penghormatan yang diperuntukkan bagi penguasa dan
pejabat tinggi. Para Majus menyembah Dia yang mereka tahu adalah raja orang
Yahudi (bdk. Mat 2:2). Tetapi apa yang sebenarnya mereka lihat? Mereka melihat
seorang Anak yang miskin dan ibu-Nya. Namun orang-orang bijak dari negeri nun
jauh ini mampu melihat melampaui lingkungan hina itu dan mengenali dalam diri
Anak itu kehadiran rajawi. Mereka mampu "melihat" melampaui
penampilan. Sambil berlutut di hadapan Sang Bayi Betlehem, mereka mengungkapkan
penyembahan yang terutama berada di dalam di diri mereka : membuka harta yang
mereka bawa sebagai hadiah melambangkan persembahan hati mereka.
Untuk menyembah Tuhan kita perlu
“melihat” di balik tabir hal-hal yang terlihat, yang seringkali terbukti
menipu. Herodes dan warga terkemuka Yerusalem mewakili keduniawian yang
diperbudak oleh penampilan dan atraksi langsung. Mereka melihat, namun mereka
tidak dapat melihat. Bukan karena mereka tidak percaya, tidak; mereka tidak
tahu bagaimana melihat karena mereka budak penampilan dan mencari apa yang
menarik. Mereka hanya menghargai hal-hal yang sensasional, hal-hal yang menarik
perhatian khalayak. Akan tetapi, dalam diri para Majus, kita melihat pendekatan
yang sangat berbeda, yang dapat kita definisikan sebagai realisme teologis –
kata-kata yang sangat "tinggi", namun bermanfaat - cara untuk
memahami kenyataan obyektif dari berbagai hal dan mengarah pada kesadaran bahwa
Allah menghindari segenap kesombongan. Tuhan ada dalam kerendahan hati, Ia
bagaikan seorang anak yang rendah hati itu, yang menghindari kesombongan yang
justru merupakan produk keduniawian. Sebuah cara untuk “melihat” yang melampaui
yang terlihat dan memungkinkan kita untuk menyembah Tuhan yang sering kali
tersembunyi dalam situasi sehari-hari, dalam diri orang-orang miskin dan mereka
yang berada di pinggiran. Cara melihat hal-hal yang tidak dikesankan oleh suara
dan amarah, tetapi mencari dalam setiap situasi perkara yang benar-benar
penting, dan perkara mencari Tuhan. Bersama Santo Paulus, marilah kita “tidak
memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang
kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor
4:18).
Semoga Tuhan Yesus menjadikan kita para penyembah sejati, yang mampu menunjukkan melalui hidup kita rencana kasih-Nya bagi segenap umat manusia. Marilah kita memohon rahmat bagi kita masing-masing dan bagi seluruh Gereja, untuk belajar menyembah, terus menyembah, sering melakukan doa adorasi ini, karena hanya Allah yang harus disembah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.