[Homili dibacakan oleh Uskup Agung Rino Fisichella yang memimpin Misa karena Paus Fransiskus menderita sakit linu panggul]
Bacaan Ekaristi : Yun. 3:1-5,10; Mzm.
25:4bc-5ab,6-7bc,8-9; 1Kor. 7:29-31; Mrk. 1:14-20.
Pada Hari Minggu Sabda Allah ini,
marilah kita mendengarkan Yesus saat Ia memberitakan Kerajaan Allah. Marilah
kita perhatikan apa yang Ia katakan dan kepada siapa Ia mengatakannya.
Apa yang Ia katakan? Yesus memulai
khotbahnya dengan kata-kata ini : “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah
dekat” (Mrk 1:15). Allah sudah dekat, itulah pesan pertama. Kerajaan-Nya telah
turun ke bumi. Allah tidak, sebagaimana kita sering tergoda untuk berpikir,
jauh, di surga, terlepas dari kondisi manusiawi. Tidak, Ia ada di tengah-tengah
kita. Waktu berjarak-Nya berakhir ketika, di dalam Yesus, Ia menjadi manusia.
Sejak saat itu, Allah sangat dekat dengan kita; Ia tidak akan pernah menarik
diri dari kondisi manusiawi kita atau bosan karenanya. Kedekatan ini adalah
pesan pokok Injil yang sesungguhnya; bacaan hari ini memberitahu kita bahwa
Yesus "mengucapkan" (ayat 15) kata-kata itu : Ia terus mengulanginya.
“Allah sudah dekat” adalah motif utama dari khotbah-Nya, inti pesan-Nya. Jika
hal ini adalah tema pembuka dan pengulangan dari seluruh khotbah Yesus, maka
harus menjadi satu-satunya yang berkesinambungan dalam kehidupan dan pesan
Kristiani. Sebelum semuanya, kita harus percaya dan menyatakan bahwa Allah
telah mendekat kepada kita, kita telah diampuni dan ditunjukkan belas kasihan.
Sebelum setiap perkataan kita tentang Allah, ada sabda-Nya kepada kita,
sabda-Nya yang terus memberitahu kita : “Jangan takut, Aku menyertai kamu. Aku
ada di sampingmu dan Aku akan selalu ada”.
Sabda Allah Tuhan memampukan kita
untuk menyentuh kedekatan ini, karena - seperti yang dikatakan dalam Kitab
Ulangan - sabda Allah tidak jauh dari kita, sabda Allah dekat dengan hati kita
(bdk. 30:14). Sabda AlIah adalah penawar rasa takut ketika kita harus
menghadapi hidup sendirian. Sungguh, dengan sabda-Nya Allah menghibur kita,
yaitu, Ia berdiri “bersama” (con-) orang-orang yang “sendirian” (soli).
Saat berbicara kepada kita, Ia mengingatkan kita bahwa Ia telah mengambil hati
kita, kita berharga di mata-Nya, dan Ia menggenggam kita. Sabda Allah Tuhan
menanamkan kedamaian ini, tetapi tidak meninggalkan kita dalam kedamaian. Sabda
Allah adalah sabda penghiburan tetapi juga panggilan untuk bertobat.
“Bertobatlah”, kata Yesus, segera setelah menyatakan kedekatan Allah. Karena,
berkat kedekatan-Nya, kita tidak bisa lagi menjauhkan diri dari Allah dan
sesama. Waktu di mana kita hidup hanya memikirkan diri kita sendiri sekarang
sudah berakhir. Melakukannya tidak Kristiani, karena mereka yang mengalami
kedekatan Allah tidak dapat mengabaikan sesama mereka atau memperlakukan mereka
dengan ketidakpedulian. Mereka yang mendengar sabda Allah terus menerus
diingatkan bahwa hidup bukanlah tentang melindungi diri kita dari orang lain,
tetapi tentang berjumpa mereka dalam nama Allah yang dekat. Sabda yang ditaburkan
di tanah hati kita, pada gilirannya menuntun kita untuk menaburkan harapan
melalui kedekatan dengan sesama. Bahkan seperti yang telah dilakukan Allah
dengan kita.
Sekarang marilah kita memikirkan
kepada siapa Yesus berbicara. Kata-kata pertama-Nya ditujukan kepada para
nelayan Galilea, rakyat sederhana yang hidup dengan kerja kasar, siang dan
malam. Mereka bukanlah pakar Kitab Suci atau orang-orang dengan pengetahuan dan
budaya yang hebat. Mereka tinggal di wilayah yang terdiri dari berbagai bangsa,
kelompok etnis, dan kultus : wilayah yang sangat jauh dari kemurnian agama
Yerusalem, jantung negeri. Namun di situlah Yesus memulai, bukan dari pusat
tetapi dari pinggiran, dan Ia melakukannya untuk memberitahu kita juga bahwa
tidak ada seorang pun yang jauh dari hati Allah. Setiap orang dapat menerima
sabda-Nya dan menjumpai-Nya secara langsung. Injil menawarkan rincian yang
bagus dalam hal ini, ketika mengatakan kepada kita bahwa pemberitaan Yesus
datang "setelah" pemberitaan Yohanes (Mrk 1:14). Kata "setelah"
tersebut menentukan : kata itu menunjuk pada sebuah perbedaan. Yohanes menerima
orang-orang di padang gurun, di mana hanya orang-orang yang bisa meninggalkan
rumah yang bisa pergi. Yesus, sebaliknya, berbicara tentang Allah di jantung
masyarakat, kepada semua orang, di mana pun mereka berada. Ia tidak berbicara
pada waktu atau tempat tertentu, tetapi “berjalan menyusur pantai”, kepada para
nelayan yang “sedang menebarkan jala mereka” (ayat 16). Ia berbicara kepada
orang-orang di waktu dan tempat yang paling biasa. Di sini kita melihat
kekuatan universal dari sabda Allah untuk menjangkau setiap orang dan setiap
ranah kehidupan.
Namun Sabda Allah juga memiliki
kekuatan tertentu, yaitu dapat menyentuh setiap orang secara langsung.
Murid-murid tidak akan pernah melupakan kata-kata yang mereka dengar hari itu
di tepi danau, di perahu mereka, ditemani anggota keluarga dan rekan kerja
mereka : kata-kata yang menandai kehidupan mereka selamanya. Yesus berkata
kepada mereka : "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia" (ayat 17). Ia tidak menarik mereka menggunakan kata-kata dan
gagasan yang luhur, tetapi berbicara tentang kehidupan mereka. Ia memberitahu
para nelayan bahwa mereka akan menjadi penjala manusia. Jika Ia memberitahu
mereka : “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia, engkau
akan diutus ke dunia untuk mewartakan Injil dengan kuasa Roh; engkau akan
dibunuh, tetapi engkau akan menjadi orang-orang kudus", kita yakin bahwa
Petrus dan Andreas akan menjawab : "Terima kasih, tetapi kami akan tetap
berpegang pada jala dan perahu kami!" Tetapi Yesus berbicara kepada mereka
dalam konteks mata pencaharian mereka : “Engkau adalah penjala ikan, dan engkau
akan menjadi penjala manusia”. Terpesona oleh kata-kata itu, mereka menyadari
bahwa menebarkan jala mereka untuk menangkap ikan terlalu kecil, sedangkan
bertolak ke tempat yang dalam sebagai jawaban atas sabda Yesus adalah rahasia
sukacita sejati. Tuhan melakukan hal yang sama dengan kita : Ia mencari kita di
mana pun kita berada, Ia mengasihi kita apa adanya, dan Ia dengan sabar
berjalan di samping kita. Seperti yang dilakukan-Nya dengan para nelayan itu,
Ia menunggu kita di tepi kehidupan kita. Dengan sabda-Nya, Ia ingin mengubah
kita, mengundang kita untuk menjalani kehidupan yang lebih utuh dan bertolak ke
tempat yang dalam bersama-Nya.
Jadi saudara dan saudari terkasih, marilah kita tidak mengabaikan sabda Allah. Sabda Allah adalah surat cinta, ditulis untuk kita oleh Dia yang paling mengenal kita. Saat membacanya, kita mendengar lagi suara-Nya, memandang wajah-Nya dan menerima Roh-Nya. Sabda itu membawa kita dekat dengan Allah. Janganlah kita menjauhkannya, tetapi selalu membawanya, dalam saku, dalam gawai. Marilah kita memberinya tempat yang layak di rumah kita. Marilah kita meletakkan Injil di tempat di mana kita dapat ingat untuk membukanya setiap hari, mungkin di awal dan di akhir hari, sehingga di tengah semua perkataan yang terngiang di telinga kita, mungkin juga ada beberapa ayat dari Sabda Allah yang bisa menyentuh hati kita. Untuk dapat melakukan hal ini, marilah kita memohonkan kepada Tuhan kekuatan untuk mematikan televisi dan membuka Kitab Suci, mematikan gawai kita dan membuka Injil. Selama tahun liturgi ini, kita membaca Santo Markus, Injil yang paling sederhana dan paling pendek. Mengapa tidak membacanya di rumah juga, bahkan satu perikop singkat setiap hari. Itu akan membuat kita merasakan kedekatan Allah dengan kita dan memenuhi diri kita dengan keberanian saat kita menjalani kehidupan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.