Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA III (HARI MINGGU SABDA ALLAH) 23 Januari 2022 : SABDA MENYATAKAN ALLAH DAN MENUNTUN KITA KEPADA SESAMA MANUSIA

Bacaan Ekaristi : Neh. 8:3-5a,6-7,9-11; Mzm. 19:8,9,10,15; 1Kor. 12:12-30; Luk. 1:1-4; 4:14-21.

 

Dalam Bacaan Pertama dan Bacaan Injil, kita menemukan dua tindakan sejajar. Imam Ezra mengangkat kitab hukum Allah, membukanya dan membacanya keras-keras di depan orang banyak. Yesus, di rumah ibadat Nazaret, membuka gulungan Kitab Suci dan membaca sebuah nas kitab nabi Yesaya di hadapan semua orang. Kedua adegan itu berbicara kepada kita tentang kenyataan dasariah : pokok kehidupan umat Allah yang kudus dan perjalanan iman kita bukanlah diri kita dan kata-kata kita. Allah dan sabda-Nya adalah pokoknya.

 

Segalanya dimulai dengan sabda yang diucapkan Allah kepada kita. Di dalam Kristus, Sang Sabda-Nya yang kekal, Bapa “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (Ef 1:4). Dengan Sabda itu, Ia menciptakan alam semesta : “Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (Mzm 33:9). Sejak dahulu kala, Ia berbicara kepada kita melalui para nabi (bdk. Ibr 1:1), dan akhirnya, dalam kegenapan waktu (bdk. Gal 4:4), Ia mengutus kepada kita Sabda yang sama, Putra-Nya yang tunggal. Itulah sebabnya, dalam Bacaan Injil, setelah membaca kitab nabi Yesaya, Yesus mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak terduga : “Pada hari ini genaplah nas ini” (Luk 4:21). Digenapi : sabda Allah bukan lagi sebuah janji, tetapi sekarang digenapi. Di dalam Yesus, sabda Allah telah menjadi daging. Dengan kuasa Roh Kudus, sabda Allah telah tinggal di antara kita dan ingin terus tinggal di tengah-tengah kita, untuk menggenapi pengharapan kita dan menyembuhkan luka-luka kita.

 

Saudari-saudara, marilah kita tetap tertuju kepada Yesus, seperti orang-orang yang ada di rumah ibadat Nazaret (bdk. ayat 20). Mereka terus tertuju kepada-Nya, karena Ia adalah salah seorang dari mereka, dan bertanya, “Apa kebaruan ini? Apa yang akan Ia perbuat, yang ini, tentang Dia yang dibicarakan semua orang?” Dan marilah kita merangkul sabda-Nya. Hari ini marilah kita bercermin pada dua aspek yang saling berhubungan ini : sabda menyatakan Allah dan sabda menuntun kita kepada sesama manusia. Pusatnya adalah Sabda : Sabda menyatakan Allah dan membawa kita kepada sesama manusia.

 

Pertama, sabda menyatakan Allah. Yesus, pada awal perutusan-Nya, mengulas kata-kata nabi Yesaya, mengumumkan keputusan yang jelas : Ia datang untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas (bdk. ayat 18). Dengan cara ini, tepatnya melalui Kitab Suci, Ia menyatakan wajah Allah sebagai Pribadi yang peduli terhadap kemiskinan kita dan iba terhadap nasib kita. Allah bukanlah seorang penguasa (padrone), menyendiri dan berada di atas – gambaran Allah yang buruk bahkan tidak benar – justru seorang Bapa (Padre) yang mengikuti setiap langkah kita. Ia bukan pengamat yang dingin, terpisah dan tidak dapat dilewati, seorang "Dewa matematika". Ia adalah Allah beserta kita, dengan penuh semangat memperhatikan kehidupan kita dan terlibat di dalamnya, bahkan ambil bagian dalam air mata kita. Ia bukan allah yang netral dan acuh tak acuh, tetapi Roh, pecinta umat manusia, yang membela kita, menasihati kita, menjaga kita, menopang kita dan ambil bagian dalam penderitaan kita. Ia selalu hadir. Inlah “kabar baik” (ayat 18) yang diberitakan Yesus yang mengherankan semua orang : Allah sudah dekat, dan Ia ingin peduli terhadapku dan terhadapmu, terhadap semua orang. Demikianlah Allah itu : dekat. Ia bahkan mendefinisikan diri-Nya sebagai kedekatan. Dalam Kitab Ulangan, Ia berkata kepada orang Israel : "Bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang sedekat Aku kepadamu?" (bdk. Ul 4:7). Allah kedekatan, kedekatan yang penuh kasih dan kelembutan. Ia ingin meringankan beban yang menghancurkanmu, menghangatkan dinginnya musim dinginmu, mencerahkan kesuramanmu sehari-hari dan mendukung langkahmu yang sedang goyah. Ini Ia perbuat dengan sabda-Nya, dengan sabda yang Ia ucapkan untuk menyalakan kembali harapan di tengah abu ketakutanmu, membantumu menemukan kembali sukacita dalam labirin dukacitamu, memenuhi dengan harapan perasaan kesendirianmu. Ia membuatmu bergerak maju, bukan dalam labirin, tetapi dalam perjalanan sehari-hari untuk menemukan-Nya.

 

Saudara-saudari : marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah kita menyimpan di dalam hati kita gambaran Allah yang membebaskan ini, Allah kedekatan, kasih sayang dan kelembutan, atau apakah kita menganggap Dia sebagai hakim yang tanpa ampun, seorang akuntan yang mencatat setiap saat kehidupan kita? Apakah iman kita adalah iman yang membangkitkan harapan dan sukacita, atau, di antara kita, iman yang masih terbebani oleh rasa takut, iman yang penuh ketakutan? Wajah Allah apakah yang kita wartakan dalam Gereja? Sang Juruselamat yang membebaskan dan menyembuhkan, atau Allah yang mengerikan yang membebani kita dengan perasaan bersalah? Agar kita bertobat kepada Allah yang benar, Yesus menunjukkan kepada kita di manakah harus memulai : dari sabda-Nya. Sabda itu, dengan menceritakan kisah kasih Allah kepada kita, membebaskan kita dari ketakutan dan prasangka tentang Dia yang melumpuhkan sukacita iman. Sabda itu menggulingkan berhala-berhala palsu, membuka kedok rencana kita, menghancurkan seluruh gambaran kita yang terlalu manusiawi tentang Allah dan membawa kita kembali untuk melihat wajah-Nya yang sesungguhnya, belas kasihan-Nya. Sabda Allah memelihara dan memperbaharui iman : marilah kita meletakkannya kembali di pusat doa dan kehidupan rohani kita! Marilah kita menempatkan di pusat sabda yang menyatakan kepada kita seperti apa Allah itu. Sabda yang mendekatkan kita kepada Allah.

 

Sekarang aspek kedua : sabda menuntun kita kepada sesama manusia. Kepada Allah dan sesama manusia. Tepatnya ketika kita menemukan bahwa Allah adalah kasih yang berbelas kasih, kita mengatasi godaan untuk mengurung diri dalam keagamaan yang direduksi menjadi ibadat lahiriah, yang gagal menyentuh dan mengubah rupa hidup kita. Ini adalah penyembahan berhala, tersembunyi dan tidak kasat mata, tetapi sama saja penyembahan berhala. Sabda Allah mendorong kita untuk keluar dari diri kita dan berjumpa saudara-saudari kita hanya dengan kekuatan kasih Allah yang membebaskan. Itulah tepatnya yang ditunjukkan Yesus kepada kita di rumah ibadat Nazaret : Ia telah diutus kepada kaum miskin – kita semua – untuk membebaskan mereka. Ia tidak datang untuk menyampaikan seperangkat peraturan atau memimpin suatu upacara keagamaan; sebaliknya, Ia telah turun ke jalan-jalan dunia kita untuk menjumpai kemanusiaan kita yang terluka, membelai wajah yang berkerut oleh penderitaan, membalut hati yang remuk-redam dan membebaskan kita dari rantai yang memenjarakan jiwa. Dengan cara ini, Ia menunjukkan kepada kita ibadat yang paling berkenan kepada Allah : peduli terhadap sesama kita. Kita harus kembali kepada hal ini. Kapan pun dalam Gereja ada godaan untuk menjadi kaku, yang merupakan penyimpangan, kapan pun kita berpikir bahwa menemukan Allah berarti menjadi semakin kaku, dengan semakin banyak aturan, hal-hal yang benar, hal-hal yang jelas… itu bukan caranya. Ketika kita melihat tawaran kekakuan, marilah kita segera berpikir : ini adalah berhala, bukan Allah. Allah kita tidak seperti itu.

 

Saudara-saudari, sabda Allah mengubah kita. Kekakuan tidak mengubah kita, kekakuan menyembunyikan kita; sabda Allah mengubah kita. Sabda Allah menembus jiwa kita seperti pedang (bdk. Ibr 4:12). Di satu sisi, sabda Allah menghibur kita dengan menunjukkan wajah Allah, di sisi lain, sabda Allah menantang dan mengganggu kita, mengingatkan kita akan ketidakmantapan kita. Sabda Allah mengguncang kita. Sabda Allah tidak memberi kita kedamaian seharga sewa yang diterima dunia akibat ketidakadilan dan kelaparan, di mana harga selalu dibayar oleh pihak yang paling lemah. Mereka akhirnya yang selalu membayar. Sabda Allah menantang pembenaran diri yang membuat kita menyalahkan segala sesuatu yang salah pada diri orang lain dan situasi. Betapa sakitnya perasaan kita melihat saudara-saudari kita sekarat di laut karena tidak ada yang sudi membiarkan mereka datang ke darat! Dan beberapa orang melakukan hal ini atas nama Allah. Sabda Allah mengundang kita untuk terbuka, tidak bersembunyi di balik rumitnya masalah, di balik alasan bahwa “tidak ada yang dapat dilakukan untuk itu” atau “itu adalah masalah orang lain”, atau “apa yang dapat kulakukan?” , "tinggalkan mereka di sana". Sabda Allah mendesak kita untuk bertindak, menggabungkan penyembahan kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama manusia. Karena Kitab Suci tidak diberikan kepada kita sebagai hiburan kita, memanjakan kita dengan spiritualitas malaikat, tetapi untuk membuat kita berangkat dan berjumpa orang lain, mendekati luka-luka mereka. Saya berbicara tentang kekakuan, pelagianisme modern yang merupakan salah satu godaan Gereja. Dan godaan lain ini, yaitu mencari spiritualitas malaikat, sampai batas tertentu adalah godaan lain hari ini : gerakan gnostik, gnostisisme, yang mengusulkan Sabda Allah yang menempatkanmu "di orbit" dan tidak membuatmu menyentuh kenyataan. Sabda yang menjadi daging (bdk. Yoh 1:14) ingin menjadi daging di dalam diri kita. Sabda-Nya tidak menyingkirkan kita dari kehidupan, tetapi menjerumuskan kita ke dalam kehidupan, ke dalam kehidupan sehari-hari, ke dalam mendengarkan penderitaan orang lain dan jeritan kaum miskin, ke dalam kekerasan dan ketidakadilan yang melukai masyarakat dan dunia kita. Sabda-Nya menantang kita, sebagai umat Kristiani, untuk tidak acuh tak acuh, bahkan umat Kristiani yang aktif dan kreatif, umat Kristiani kenabian.

 

“Hari ini” – kata Yesus – “genaplah nas ini" (Luk 4:21). Sabda ingin menjadi daging hari ini, di masa di mana kita hidup, bukan di masa depan yang ideal. Seorang mistikus Prancis abad terakhir, yang memilih untuk mengalami Injil di pinggiran, menulis bahwa sabda Allah bukanlah “sebuah ‘surat mati’; sabda Allah adalah roh dan kehidupan… Mendengarkan yang dituntut sabda Allah dari kita adalah ‘hari ini’ kita : keadaan kehidupan kita sehari-hari dan kebutuhan sesama kita” (Madeleine DelbrĂȘl, La joie de croire, Paris, 1968). Maka, marilah kita bertanya : apakah kita ingin meneladan Yesus, menjadi pelayan pembebasan dan penghiburan bagi orang lain, mewujudkan sabda ke dalam tindakan? Apakah kita Gereja yang taat pada sabda? Sebuah Gereja cenderung untuk mendengarkan orang lain, terlibat dalam menjangkau untuk membangkitkan saudara dan saudari kita dari segala yang menindas mereka, melepaskan ikatan ketakutan, membebaskan mereka yang paling rentan dari penjara kemiskinan, dari kebosanan batin dan kesedihan yang menghambat kehidupan? Bukankah itu yang kita inginkan?

 

Dalam perayaan ini, beberapa saudara dan saudari kita akan dilantik sebagai lektor dan katekis. Mereka dipanggil untuk pekerjaan penting melayani Injil Yesus, mewartakan-Nya, sehingga penghiburan, sukacita dan pembebasan-Nya dapat menjangkau semua orang. Itu juga perutusan kita masing-masing : menjadi utusan yang dapat dipercaya, nabi sabda Allah di dunia. Oleh karena itu, marilah kita tumbuh bergairah akan Kitab Suci, marilah kita rela menggali jauh ke dalam sabda yang mengungkapkan kebaruan Allah dan menuntun kita tanpa lelah untuk mengasihi sesama. Marilah kita menempatkan sabda Allah sebagai pusat kehidupan dan kegiatan pastoral Gereja! Dengan cara ini, kita akan terbebas dari segala kekakuan pelagianisme, dari segala kekakuan, terbebas dari khayalan spiritualitas yang menempatkanmu “di orbit”, tidak peduli untuk memperhatikan saudara-saudara kita. Marilah kita menempatkan sabda Allah sebagai pusat kehidupan dan kegiatan pastoral Gereja. Marilah kita mendengarkan sabda itu, berdoa dengannya, dan melaksanakannya.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 23 Januari 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.