Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH II (HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI) DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 24 April 2022 : DAMAI SEJAHTERA BAGI KAMU!

Bacaan Ekaristi : Kis. 5:12-16; Mzm. 118:2-4,22-24,25-27a; Why. 1:9-11a,12-13,17-19; Yoh. 20:19-31.

 

NB : Berhubungan Paus Fransiskus masih mengalami cedera lutut, Misa dipersembahkan oleh Uskup Agung Rino Fisichella dan Paus Fransiskus menyampaikan homilinya dalam posisi duduk.

 

Hari ini Tuhan yang bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya. Kepada mereka yang telah meninggalkan-Nya, Ia menawarkan kerahiman-Nya dan menunjukkan luka-luka-Nya. Kata-kata yang diucapkannya kepada mereka diselingi dengan salam yang kita dengar tiga kali dalam Bacaan Injil : “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19.21.26). Damai sejahtera senantiasa besertamu! Inilah kata-kata Yesus yang bangkit ketika Ia menjumpai setiap kelemahan dan kekeliruan manusiawi. Marilah kita bercermin pada kata-kata yang tiga kali diucapkan Yesus tersebut. Di dalamnya, kita akan menemukan tiga aspek kerahiman Allah kepada kita. Kata-kata itu pertama-tama memberikan sukacita, kemudian menganugerahkan pengampunan dan akhirnya menawarkan pelipur dalam setiap kesulitan.

 

Pertama, kerahiman Allah memberikan sukacita, sukacita khusus, sukacita karena mengetahui bahwa kita telah diampuni secara cuma-cuma. Ketika, pada malam Paskah, para murid melihat Yesus dan mendengar-Nya mengatakan untuk pertama kalinya, “Damai sejahtera bagi kamu”, mereka bersukacita (ayat 20). Mereka mengunci diri di balik pintu-pintu tertutup karena takut; tetapi mereka juga menutup diri, terbebani perasaan gagal. Mereka adalah murid-murid yang telah meninggalkan Guru mereka; pada saat Ia ditangkap, mereka telah melarikan diri. Petrus bahkan menyangkal-Nya tiga kali, dan salah seorang dari mereka – salah seorang di antara mereka! - telah mengkhianati-Nya. Mereka memiliki alasan yang tepat untuk merasa tidak hanya takut, tetapi juga tidak berguna; mereka telah gagal. Di masa lalu, tentu saja, mereka telah membuat pilihan yang berani. Mereka telah mengikuti Sang Guru dengan antusias, berketetapan hati dan bermurah hati. Namun pada akhirnya, semuanya terjadi begitu cepat. Ketakutan merajalela dan mereka melakukan dosa besar: mereka meninggalkan Yesus sendirian pada saat-Nya yang paling tragis. Sebelum Paskah, mereka mengira bahwa mereka ditakdirkan untuk kebesaran; mereka berdebat tentang siapa yang akan menjadi yang terbesar di antara mereka… Sekarang mereka telah mencapai titik terendah.

 

Dalam suasana ini, mereka mendengar untuk pertama kalinya, “Damai sejahtera bagi kamu!” Para murid seharusnya merasa malu, namun mereka bersukacita. Mengapa? Karena melihat wajah-Nya dan mendengar salam-Nya mengalihkan perhatian mereka dari diri mereka sendiri dan kepada Yesus. Sebagaimana dikatakan Bacaan Injil kepada kita, “Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan” (ayat 20). Mereka teralihkan dari diri mereka sendiri dan kegagalan mereka serta tertarik oleh tatapan-Nya, yang tidak dipenuhi dengan kekerasan tetapi dengan kerahiman. Kristus tidak mencela mereka atas apa yang telah mereka lakukan, tetapi menunjukkan kepada mereka kebaikan-Nya yang lazim. Dan ini menghidupkan mereka, memenuhi hati mereka dengan damai sejahtera yang telah lenyap dan menjadikan mereka pribadi-pribadi baru, yang dimurnikan oleh pengampunan yang sama sekali tidak layak.

 

Itulah sukacita yang dibawa Yesus. Sukacita itulah yang juga kita rasakan setiap kali kita mengalami pengampunan-Nya. Kita sendiri tahu apa yang sedang dirasakan para murid itu pada Paskah, oleh karena kesalahan, dosa, dan kegagalan kita. Pada saat seperti itu, kita mungkin berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan. Namun justru saat itulah Tuhan melakukan segalanya. Ia memberi kita damai sejahtera, melalui Pengakuan Dosa yang baik, melalui kata-kata seseorang yang mendekati kita, melalui penghiburan batin dari Roh, atau melalui beberapa peristiwa yang tak terduga dan mengejutkan… Dengan beberapa cara, Allah menunjukkan bahwa Ia ingin membuat kita merasakan dekapan rahmat-Nya, sukacita yang lahir dari menerima “pengampunan dan damai sejahtera”. Sukacita yang diberikan Allah memang lahir dari pengampunan. Sukacita itu memberikan damai sejahtera. Sebuah sukacita yang mengangkat kita tanpa mempermalukan kita. Seolah-olah Tuhan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Saudara-saudari, marilah kita mengingat saat-saat ketika kita menerima pengampunan dan damai sejahtera Yesus. Kita masing-masing telah menerimanya; kita masing-masing memiliki pengalaman itu. Ada baiknya kita mengingat saat-saat tersebut. Marilah kita menempatkan kenangan akan kehangatan pelukan Allah di atas ingatan akan kesalahan dan kegagalan kita. Dengan cara ini, kita akan bertumbuh dalam sukacita. Karena tidak ada yang akan pernah sama bagi siapa pun yang telah mengalami sukacita Allah! Sebuah sukacita yang mengubah rupa kita.

 

Damai sejahtera bagi kamu! Tuhan mengucapkan kata-kata ini untuk kedua kalinya dan menambahkan, "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (ayat 21). Ia kemudian mengembusi para murid-Nya Roh Kudus untuk menjadikan mereka penyalur kerahiman : “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni” (ayat 23). Para murid tidak hanya menerima kerahiman; mereka menjadi penyalur kerahiman yang telah mereka terima. Mereka menerima kuasa ini bukan karena jasa atau studi mereka, tetapi semata-mata sebagai karunia rahmat, berdasarkan pengalaman mereka sendiri telah diampuni. Saya sekarang sedang berbicara kepadamu, para misionaris kerahiman : jika kamu tidak merasa diampuni, jangan lakukan pelayananmu sebagai misionaris kerahiman sampai kamu merasakan pengampunan itu. Kerahiman yang telah kita terima memungkinkan kita untuk menyalurkan berlimpah-limpahnya kerahiman dan pengampunan. Hari ini dan setiap hari, dalam Gereja pengampunan harus diterima dengan cara yang sama, melalui kebaikan yang rendah hati dari bapa pengakuan yang penuh kerahiman yang melihat dirinya bukan sebagai pemegang kekuasaan tetapi sebagai saluran kerahiman, yang mencurahkan pengampunan, yang terlebih dulu ia terima, kepada orang lain. Dari sinilah muncul kemampuan untuk mengampuni segalanya karena Allah senantiasa mengampuni segalanya. Kitalah yang lelah memohon pengampunan tetapi Ia senantiasa mengampuni. Kamu harus menjadi saluran pengampunan tersebut melalui pengalaman pengampunanmu. Tidak perlu menyiksa umat beriman ketika mereka datang untuk mengaku dosa. Pentingnya memahami situasi mereka, mendengarkan, mengampuni, dan memberikan nasihat yang baik agar mereka dapat bergerak maju. Allah mengampuni segalanya dan kita tidak boleh menutup pintu itu bagi orang-orang.

 

“Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni”. Kata-kata ini merupakan asal mula Sakramen Tobat, tetapi bukan hanya itu. Yesus telah menjadikan seluruh Gereja suatu komunitas yang menyalurkan kerahiman, suatu tanda dan sarana pendamaian bagi seluruh umat manusia. Saudara-saudari, kita masing-masing, dalam pembaptisan, menerima karunia Roh Kudus untuk menjadi manusia pendamaian. Kapan pun kita mengalami sukacita karena dibebaskan dari beban dosa dan kegagalan kita; setiap kali kita mengetahui secara langsung apa artinya dilahirkan kembali setelah situasi yang tampaknya tanpa harapan, kita merasa perlu untuk membagikan roti kerahiman kepada orang-orang di sekitar kita. Marilah kita merasa terpanggil untuk hal ini. Dan marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : di rumah, dalam keluarga saya, di tempat kerja, dalam komunitas saya, apakah saya membina persekutuan, apakah saya penjalin pendamaian? Apakah saya berketetapan hati untuk meredakan pertikaian, membawa pengampunan sebagai ganti kebencian, dan perdamaian sebagai ganti kebencian? Apakah saya menghindari menyakiti orang lain dengan tidak bergunjing? Yesus ingin kita menjadi saksi-saksi-Nya di hadapan dunia dengan kata-kata : Damai sejahtera bagi kamu!

 

Damai sejahtera bagi kamu! Tuhan mengucapkan kata-kata ini untuk ketiga kalinya ketika, delapan hari kemudian, Ia menampakkan diri kepada para murid dan memperkuat iman Thomas yang lesu. Thomas ingin melihat dan menjamah. Tuhan tidak tersinggung oleh ketidakpercayaan Thomas, tetapi datang membantunya : "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku" (ayat 27). Ini bukan kata-kata tantangan tetapi kata-kata kerahiman. Yesus memahami kesulitan Tomas. Ia tidak memperlakukan Tomas dengan kasar, dan sang rasul sangat tersentuh oleh kebaikan ini. Dari seorang yang tidak percaya, ia menjadi seorang yang percaya, dan membuat pengakuan iman yang paling sederhana dan terbaik : “Ya Tuhanku dan Allahku!” (ayat 28). Ini adalah kata-kata yang indah. Kita dapat menjadikannya kata-kata kita dan mengulanginya sepanjang hari, terutama ketika, seperti Thomas, kita mengalami keraguan dan kesulitan.

 

Karena kisah Tomas sebenarnya adalah kisah setiap orang percaya. Ada saat-saat sulit ketika hidup tampaknya mendustakan iman, saat-saat krisis ketika kita perlu menjamah dan melihat. Seperti Thomas, justru pada saat-saat itulah kita menemukan kembali hati Kristus, kerahiman Tuhan. Dalam situasi itu, Yesus tidak mendekati kita dengan kemenangan dan dengan banyak bukti. Ia tidak melakukan mukjizat yang menghancurkan bumi, tetapi malah menawarkan kepada kita tanda-tanda kerahiman-Nya yang menghangatkan hati. Ia menghibur kita dengan cara yang sama seperti Ia lakukan dalam Injil hari ini : Ia memberi kita luka-luka-Nya. Kita tidak boleh melupakan fakta ini. Sebagai tanggapan atas dosa kita, Tuhan senantiasa hadir menawarkan luka-luka-Nya kepada kita. Dalam pelayanan kita sebagai bapa pengakuan, kita harus membiarkan umat melihat bahwa di tengah dosa mereka, Tuhan menawarkan luka-luka-Nya kepada mereka. Luka-luka Tuhan lebih kuat daripada dosa.

 

Yesus membuat kita melihat luka-luka saudara-saudari kita. Di tengah krisis dan kesulitan kita, kerahiman ilahi sering membuat kita sadar akan penderitaan sesama kita. Kita berpikir bahwa kita mengalami kepedihan yang tak tertahankan dan situasi penderitaan, dan kita tiba-tiba menemukan bahwa orang lain di sekitar kita diam-diam menanggung hal-hal yang lebih buruk. Jika kita merawat luka-luka sesama kita dan menuangkan minyak urapan kerahiman kepada mereka, kita menemukan bahwa terlahir kembali di dalam diri kita sebuah harapan yang menghibur kita dalam keletihan kita. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah akhir-akhir ini kita telah membantu seseorang yang sedang menderita dalam pikiran atau tubuh; apakah kita telah membawa damai sejahtera bagi seseorang yang sedang menderita secara fisik atau spiritual; apakah kita telah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk mendengarkan, hadir, atau membawa pelipur bagi orang lain. Karena setiap kali kita melakukan hal-hal ini, kita berjumpa Yesus. Dari mata semua orang yang terbebani oleh cobaan hidup, Ia memandang kita dengan kerahiman dan berkata : Damai sejahtera bagi kamu! Dalam hal ini, saya memikirkan kehadiran Bunda Maria bersama para Rasul. Saya juga mengingatkan bahwa kita memperingatinya sebagai Bunda Gereja sehari setelah Pentakosta dan sebagai Bunda Kerahiman pada hari Senin setelah Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Semoga ia membantu kita bergerak maju dalam pelayanan kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 24 April 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.