Liturgical Calendar

KHOTBAH RANIERO KARDINAL CANTALAMESSA DALAM IBADAT JUMAT AGUNG 15 April 2022 : PASKAH ADALAH KESEMPATAN UNTUK BERPEGANG TEGUH PADA YESUS YANG TIDAK PERNAH MENGECEWAKAN KITA

Bacaan Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42.

 

Dalam Kisah Sengsaranya, Penginjil Yohanes secara khusus mementingkan dialog Yesus dengan Pilatus, dan di sinilah kita ingin bercermin beberapa saat sebelum melanjutkan lebih jauh dengan liturgi kita.

 

Seluruhnya dimulai dengan pertanyaan Pilatus : "Engkau inikah raja orang Yahudi?" (Yoh 18:33). Yesus ingin membuat Pilatus mengerti bahwa pertanyaan-Nya jauh lebih sungguh-sungguh daripada yang ia pikirkan, dan hanya berarti jika ia tidak mengulangi tuduhan orang-orang. Oleh karena itu, pada gilirannya Ia bertanya : "Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?"

 

Ia berusaha menuntun Pilatus menuju tataran yang lebih tinggi. Ia berbicara kepadanya tentang kerajaan-Nya, sebuah kerajaan yang "bukan dari dunia ini". Pilatus hanya mengerti satu hal : persoalannya bukan mengenai kerajaan politik. Jika terdakwa ingin berbicara tentang agama, ia tidak ingin terlibat dalam masalah seperti ini. Oleh karena itu ia bertanya dengan sentuhan ironi : "Jadi Engkau adalah raja?". Yesus menjawab : “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja" (Yoh 18:37).

 

Dengan mengaku sebagai raja, Yesus menghadapkan diri-Nya pada bahaya kematian; tetapi alih-alih membersihkan diri-Nya dengan menyangkalnya, Ia dengan lantang menegaskannya. Ia menyatakan asal-usul ilahi-Nya kepadanya : "Aku datang ke dalam dunia ...". Oleh karena itu, Ia mengatakan, secara misterius, bahwa Ia ada sebelum kehidupan duniawi-Nya, Ia berasal dari dunia lain. Ia datang ke bumi untuk menjadi saksi kebenaran.

 

Yesus memperlakukan Pilatus sebagai jiwa yang membutuhkan terang dan kebenaran, dan bukan sebagai hakim. Ia lebih tertarik pada nasib seorang bernama Pilatus daripada nasib-Nya sendiri. Dengan ketertarikannya untuk menerima kebenaran, Ia ingin mendorongnya untuk menyadari, melihat hal-hal dengan mata yang berbeda, menempatkan dirinya di atas perselisihan sesaat dengan orang-orang Yahudi.

 

Wakil penguasa Romawi tersebut memahami undangan Yesus kepadanya, tetapi ia skeptis dan acuh tak acuh terhadap spekulasi yang lebih tinggi semacam ini. Misteri yang ia lihat sekilas dalam kata-kata Yesus membuatnya takut dan ia lebih memilih untuk mengakhiri percakapan. Bergumam pada dirinya sendiri "Apakah kebenaran itu?", Ia meninggalkan ruang pengadilan.

 

***

 

Sungguh perikop Injil yang relevan untuk hari ini! Bahkan hari ini, seperti di masa lalu, manusia bertanya pada dirinya sendiri : “Apakah kebenaran itu?” Tetapi, seperti yang dilakukan Pilatus, ia dengan santainya memunggungi Dia yang berkata, “Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran”. "Aku adalah kebenaran!" (Yoh 14:6).

 

Melalui internet, saya telah mengikuti debat yang tak terhitung jumlahnya tentang agama dan ilmu pengetahuan serta tentang iman dan ateisme. Satu hal yang mengejutkan saya : berjam-jam berdialog, tanpa pernah menyebut nama Yesus. Dan jika pihak orang beriman terkadang berani menyebut nama dan kebangkitan ketimbang wafat-Nya, mereka langsung berusaha menutup pembicaraan sebagai penyimpangan yang tidak relevan. Semuanya terjadi “etsi Christus non daretur”: seolah-olah di dunia ini belum pernah ada manusia bernama Yesus Kristus.

 

Apa hasilnya? Kata “Allah” menjadi wadah kosong yang diisi setiap orang sesuka hati. Tetapi justru karena alasan inilah Allah berhati-hati untuk memberikan kepuasan atas nama-Nya. “Sabda telah menjadi daging”. Kebenaran telah menjadi daging! Karena itu usaha yang gigih untuk meninggalkan Yesus dari wacana tentang Allah; ia menyingkirkan dari kesombongan manusiawi dalih apa pun untuk memutuskan sendiri seperti apa Allah itu seharusnya!

 

“Tentu saja : Yesus dari Nazaret!” beberapa orang mungkin mengatakan. "Tetapi jika orang bahkan meragukan bahwa Ia pernah ada!". Seorang penulis Inggris terkenal abad terakhir — dikenal masyarakat umum sebagai penulis seri novel yang kemudian menjadi film, “The Lord of the Rings”, J.R.R. Tolkien — dalam sebuah surat, memberikan jawaban ini kepada putranya yang menyebutkan keberatan yang sama kepadanya:

 

“Dibutuhkan kemauan yang luar biasa untuk menjadi tidak percaya dengan menganggap Yesus tidak pernah benar-benar 'terjadi', dan terlebih lagi menganggap Ia tidak mengatakan seluruh hal yang dicatat tentang diri-Nya - sehingga tidak mampu 'ditemukan' oleh siapa pun di dunia pada masa itu : 'sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada' (Yoh 8:58). 'Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa' (Yoh 14:9).

 

Satu-satunya alternatif untuk kebenaran Kristus, tambah sang penulis, yaitu "ia adalah seorang penipu" dan Injil "kisah pemutarbalikkan tentang seorang megalomaniak gila". Namun, dapatkah kasus seperti itu bertahan terhadap kritik historis dan filosofis selama dua puluh abad dan menghasilkan buah yang telah dihasilkannya?

 

Hari ini, kita melampaui skeptisisme Pilatus. Ada orang yang berpikir bahwakita seharusnya tidak mengajukan pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” karena kebenaran sama sekali tidak ada! “Semuanya relatif, tidak ada yang pasti! Berpikir sebaliknya adalah anggapan yang tidak dapat ditoleransi!” Tidak ada lagi tempat untuk “narasi besar tentang dunia dan kenyataan”, termasuk tentang Allah dan Kristus.

 

Saudara-saudara yang terkasih ateis, agnostik, atau mereka yang masih mencari kebenaran (jika ada yang sedang mendengarkan) : kata-kata yang akan saya tujukan kepadamu bukanlah kata-kata pengkhotbah yang papa seperti saya; mereka berasal dari salah satu dari kamu, salah satu dari kamu yang banyak dikagumi, yang banyak ditulis dan tentang dirinya, mungkin, banyak juga yang menganggap diri mereka, dalam beberapa hal, murid dan pengikut : Søren Kierkegaard, penggagas filsafat keberadaan!

 

“Begitu banyak yang dikatakan”, tulisnya, “tentang penderitaan manusia dan kemiskinan… Begitu banyak yang dikatakan tentang kehidupan yang tercampakkan. Tetapi hanya nyawa manusia yang tercampakkan yang… tidak pernah disadari, karena ia tidak pernah, dalam pengertian yang paling dalam, merasakan bahwa ada Allah, dan ia, ia sendiri, dirinya sendiri, berdiri di hadirat Allah ini”.

 

Beberapa orang mengatakan : terlalu banyak ketidakadilan, terlalu banyak penderitaan di dunia untuk percaya kepada Allah! Itu benar, tetapi marilah kita berpikir sejenak betapa lebih mustahil dan putus asanya kejahatan yang mengelilingi kita menjadi tanpa iman akan kemenangan akhir kebenaran dan kebaikan. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati, yang akan kita rayakan lusa, adalah janji dan jaminan yang pasti bahwa inilah yang akan terjadi karena sudah dimulai dengan diri-Nya.

 

Jika saya memiliki keberanian Santo Paulus, pada saat ini saya juga harus berseru : “Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu : berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor 5:20). Jangan sia-siakan hidupmu! Jangan tinggalkan dunia ini saat Pilatus meninggalkan ruang pengadilan, dengan pertanyaan yang belum terjawab : “Apakah kebenaran itu?”. Sangat penting : pertanyaan untuk mengetahui apakah kita hidup untuk sesuatu, atau dalam kesia-siaan!

 

Tetapi, dialog Yesus dengan Pilatus juga menawarkan kesempatan untuk cerminan lain, kali ini ditujukan kepada kita orang percaya dan umat Gereja, bukan orang luar. “Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku”, kata Pilatus : Gens tua et pontifices tradiderunt te mihi (Yoh 18:35). Umat Gereja-Mu, para imam-Mu telah meninggalkan Engkau, mereka telah menjelekkan nama-Mu dengan perbuatan buruk yang mengerikan! Dan apakah kami masih harus percaya kepada-Mu?

 

Juga, terhadap keberatan yang mengerikan ini saya ingin menanggapi dengan kata-kata yang ditujukan Tolkien kepada putranya :

 

“Kasih kita mungkin menjadi dingin dan keinginan kita terkikis oleh tontonan kekurangan, kebodohan, dan bahkan dosa-dosa Gereja dan para pejabatnya, tetapi saya tidak berpikir bahwa orang yang pernah memiliki iman akan kembali melewati batas karena alasan ini (apalagi siapa pun yang memiliki pengetahuan sejarah)… Karena berkecenderungan mengalihkan mata kita dari diri kita dan kesalahan kita untuk mencari kambing hitam sangat nyaman … Saya pikir saya sama pekanya denganmu (atau umat Kristiani lainnya) terhadap skandal, baik klerus maupun awam. Saya telah sangat menderita dalam hidup saya karena para imam yang bodoh, letih, redup, dan bahkan buruk”.

 

Apalagi hasil yang buruk seperti itu sudah bisa diduga. Diawali sebelum Paskah perdana dengan pengkhianatan Yudas, penyangkalan Simon Petrus, pelarian para Rasul ... Menangislah, kalau begitu? Ya — Tolkien menganjurkan kepada putranya — bahkan kepada Yesus, untuk apa yang harus Ia tanggung, sebelumnya demi kita. Menangis — kita harus menambahkan hari ini — untuk para korban dan bersama para korban dosa-dosa kita.

 

***

 

Kesimpulan untuk semua orang, baik orang beriman maupun yang tidak beriman. Tahun ini kita merayakan Paskah bukan dengan suara lonceng yang penuh sukacita, tetapi dengan suara bom dan ledakan di telinga tidak jauh dari sini. Marilah kita ingat bagaimana pada suatu hari Yesus menanggapi kabar tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan, dan para korban runtuhnya Menara Siloam : “Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian!” (Luk 13:5). Jika kamu tidak menempa pedangmu menjadi mata bajak, tombakmu menjadi pisau pemangkas (Yes 2:4), dan peluru kendalimu menjadi pabrik dan rumah, kamu akan binasa atas cara demikian!

 

Satu hal yang tiba-tiba diingatkan peristiwa-peristiwa ini kepada kita. Tatanan dunia dapat berubah hari demi hari. Semuanya berlalu, semuanya menua ; semuanya — tidak hanya “kebahagiaan masa muda” — menurun. Hanya ada satu cara untuk melarikan diri dari arus waktu yang menyeret segalanya bersamanya : melewati apa yang tidak berlalu! Meletakkan kaki kita di tanah yang kokoh! Paskah, Tuhan lewat, berarti perjalanan : marilah kita semua bertujuan untuk mengalami Paskah yang sesungguhnya tahun ini, para Bapa, saudara-saudari yang terhormat : marilah kita melewati Dia yang tidak berlalu. Marilah kita lewati sekarang dengan hati kita, sebelum suatu hari melewati-Nya dengan tubuh kita.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 April 2022)

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.