Bacaan
Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9;
Yoh. 18:1-19:42.
Dalam Kisah
Sengsaranya, Penginjil Yohanes secara khusus mementingkan dialog Yesus dengan
Pilatus, dan di sinilah kita ingin bercermin beberapa saat sebelum melanjutkan
lebih jauh dengan liturgi kita.
Seluruhnya
dimulai dengan pertanyaan Pilatus : "Engkau inikah raja orang
Yahudi?" (Yoh 18:33). Yesus ingin membuat Pilatus mengerti bahwa
pertanyaan-Nya jauh lebih sungguh-sungguh daripada yang ia pikirkan, dan hanya
berarti jika ia tidak mengulangi tuduhan orang-orang. Oleh karena itu, pada
gilirannya Ia bertanya : "Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu
sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?"
Ia berusaha
menuntun Pilatus menuju tataran yang lebih tinggi. Ia berbicara kepadanya
tentang kerajaan-Nya, sebuah kerajaan yang "bukan dari dunia ini".
Pilatus hanya mengerti satu hal : persoalannya bukan mengenai kerajaan politik.
Jika terdakwa ingin berbicara tentang agama, ia tidak ingin terlibat dalam
masalah seperti ini. Oleh karena itu ia bertanya dengan sentuhan ironi :
"Jadi Engkau adalah raja?". Yesus menjawab : “Engkau mengatakan,
bahwa Aku adalah raja" (Yoh 18:37).
Dengan
mengaku sebagai raja, Yesus menghadapkan diri-Nya pada bahaya kematian; tetapi
alih-alih membersihkan diri-Nya dengan menyangkalnya, Ia dengan lantang
menegaskannya. Ia menyatakan asal-usul ilahi-Nya kepadanya : "Aku datang
ke dalam dunia ...". Oleh karena itu, Ia mengatakan, secara misterius,
bahwa Ia ada sebelum kehidupan duniawi-Nya, Ia berasal dari dunia lain. Ia
datang ke bumi untuk menjadi saksi kebenaran.
Yesus
memperlakukan Pilatus sebagai jiwa yang membutuhkan terang dan kebenaran, dan
bukan sebagai hakim. Ia lebih tertarik pada nasib seorang bernama Pilatus
daripada nasib-Nya sendiri. Dengan ketertarikannya untuk menerima kebenaran, Ia
ingin mendorongnya untuk menyadari, melihat hal-hal dengan mata yang berbeda,
menempatkan dirinya di atas perselisihan sesaat dengan orang-orang Yahudi.
Wakil
penguasa Romawi tersebut memahami undangan Yesus kepadanya, tetapi ia skeptis
dan acuh tak acuh terhadap spekulasi yang lebih tinggi semacam ini. Misteri
yang ia lihat sekilas dalam kata-kata Yesus membuatnya takut dan ia lebih
memilih untuk mengakhiri percakapan. Bergumam pada dirinya sendiri "Apakah
kebenaran itu?", Ia meninggalkan ruang pengadilan.
***
Sungguh
perikop Injil yang relevan untuk hari ini! Bahkan hari ini, seperti di masa
lalu, manusia bertanya pada dirinya sendiri : “Apakah kebenaran itu?” Tetapi,
seperti yang dilakukan Pilatus, ia dengan santainya memunggungi Dia yang
berkata, “Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang
kebenaran”. "Aku adalah kebenaran!" (Yoh 14:6).
Melalui
internet, saya telah mengikuti debat yang tak terhitung jumlahnya tentang agama
dan ilmu pengetahuan serta tentang iman dan ateisme. Satu hal yang mengejutkan
saya : berjam-jam berdialog, tanpa pernah menyebut nama Yesus. Dan jika pihak
orang beriman terkadang berani menyebut nama dan kebangkitan ketimbang
wafat-Nya, mereka langsung berusaha menutup pembicaraan sebagai penyimpangan
yang tidak relevan. Semuanya terjadi “etsi Christus non daretur”:
seolah-olah di dunia ini belum pernah ada manusia bernama Yesus Kristus.
Apa hasilnya?
Kata “Allah” menjadi wadah kosong yang diisi setiap orang sesuka hati. Tetapi
justru karena alasan inilah Allah berhati-hati untuk memberikan kepuasan atas
nama-Nya. “Sabda telah menjadi daging”. Kebenaran telah menjadi daging! Karena
itu usaha yang gigih untuk meninggalkan Yesus dari wacana tentang Allah; ia
menyingkirkan dari kesombongan manusiawi dalih apa pun untuk memutuskan sendiri
seperti apa Allah itu seharusnya!
“Tentu saja :
Yesus dari Nazaret!” beberapa orang mungkin mengatakan. "Tetapi jika orang
bahkan meragukan bahwa Ia pernah ada!". Seorang penulis Inggris terkenal
abad terakhir — dikenal masyarakat umum sebagai penulis seri novel yang
kemudian menjadi film, “The Lord of the Rings”, J.R.R. Tolkien — dalam
sebuah surat, memberikan jawaban ini kepada putranya yang menyebutkan keberatan
yang sama kepadanya:
“Dibutuhkan
kemauan yang luar biasa untuk menjadi tidak percaya dengan menganggap Yesus
tidak pernah benar-benar 'terjadi', dan terlebih lagi menganggap Ia tidak
mengatakan seluruh hal yang dicatat tentang diri-Nya - sehingga tidak mampu
'ditemukan' oleh siapa pun di dunia pada masa itu : 'sesungguhnya sebelum
Abraham jadi, Aku telah ada' (Yoh 8:58). 'Barangsiapa telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa' (Yoh 14:9).
Satu-satunya
alternatif untuk kebenaran Kristus, tambah sang penulis, yaitu "ia adalah
seorang penipu" dan Injil "kisah pemutarbalikkan tentang seorang
megalomaniak gila". Namun, dapatkah kasus seperti itu bertahan terhadap
kritik historis dan filosofis selama dua puluh abad dan menghasilkan buah yang
telah dihasilkannya?
Hari ini,
kita melampaui skeptisisme Pilatus. Ada orang yang berpikir bahwakita
seharusnya tidak mengajukan pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” karena kebenaran
sama sekali tidak ada! “Semuanya relatif, tidak ada yang pasti! Berpikir
sebaliknya adalah anggapan yang tidak dapat ditoleransi!” Tidak ada lagi tempat
untuk “narasi besar tentang dunia dan kenyataan”, termasuk tentang Allah dan
Kristus.
Saudara-saudara
yang terkasih ateis, agnostik, atau mereka yang masih mencari kebenaran (jika
ada yang sedang mendengarkan) : kata-kata yang akan saya tujukan kepadamu
bukanlah kata-kata pengkhotbah yang papa seperti saya; mereka berasal dari
salah satu dari kamu, salah satu dari kamu yang banyak dikagumi, yang banyak
ditulis dan tentang dirinya, mungkin, banyak juga yang menganggap diri mereka,
dalam beberapa hal, murid dan pengikut : Søren Kierkegaard, penggagas filsafat
keberadaan!
“Begitu
banyak yang dikatakan”, tulisnya, “tentang penderitaan manusia dan kemiskinan…
Begitu banyak yang dikatakan tentang kehidupan yang tercampakkan. Tetapi hanya
nyawa manusia yang tercampakkan yang… tidak pernah disadari, karena ia tidak
pernah, dalam pengertian yang paling dalam, merasakan bahwa ada Allah, dan ia,
ia sendiri, dirinya sendiri, berdiri di hadirat Allah ini”.
Beberapa
orang mengatakan : terlalu banyak ketidakadilan, terlalu banyak penderitaan di
dunia untuk percaya kepada Allah! Itu benar, tetapi marilah kita berpikir
sejenak betapa lebih mustahil dan putus asanya kejahatan yang mengelilingi kita
menjadi tanpa iman akan kemenangan akhir kebenaran dan kebaikan. Kebangkitan
Yesus dari antara orang mati, yang akan kita rayakan lusa, adalah janji dan
jaminan yang pasti bahwa inilah yang akan terjadi karena sudah dimulai dengan
diri-Nya.
Jika saya
memiliki keberanian Santo Paulus, pada saat ini saya juga harus berseru :
“Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu : berilah dirimu didamaikan dengan
Allah” (2Kor 5:20). Jangan sia-siakan hidupmu! Jangan tinggalkan dunia ini saat
Pilatus meninggalkan ruang pengadilan, dengan pertanyaan yang belum terjawab :
“Apakah kebenaran itu?”. Sangat penting : pertanyaan untuk mengetahui apakah
kita hidup untuk sesuatu, atau dalam kesia-siaan!
Tetapi,
dialog Yesus dengan Pilatus juga menawarkan kesempatan untuk cerminan lain,
kali ini ditujukan kepada kita orang percaya dan umat Gereja, bukan orang luar.
“Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau
kepadaku”, kata Pilatus : Gens tua et pontifices tradiderunt te mihi (Yoh
18:35). Umat Gereja-Mu, para imam-Mu telah meninggalkan Engkau, mereka telah
menjelekkan nama-Mu dengan perbuatan buruk yang mengerikan! Dan apakah kami
masih harus percaya kepada-Mu?
Juga,
terhadap keberatan yang mengerikan ini saya ingin menanggapi dengan kata-kata
yang ditujukan Tolkien kepada putranya :
“Kasih kita
mungkin menjadi dingin dan keinginan kita terkikis oleh tontonan kekurangan,
kebodohan, dan bahkan dosa-dosa Gereja dan para pejabatnya, tetapi saya tidak
berpikir bahwa orang yang pernah memiliki iman akan kembali melewati batas
karena alasan ini (apalagi siapa pun yang memiliki pengetahuan sejarah)… Karena
berkecenderungan mengalihkan mata kita dari diri kita dan kesalahan kita untuk
mencari kambing hitam sangat nyaman … Saya pikir saya sama pekanya denganmu
(atau umat Kristiani lainnya) terhadap skandal, baik klerus maupun awam. Saya
telah sangat menderita dalam hidup saya karena para imam yang bodoh, letih,
redup, dan bahkan buruk”.
Apalagi hasil
yang buruk seperti itu sudah bisa diduga. Diawali sebelum Paskah perdana dengan
pengkhianatan Yudas, penyangkalan Simon Petrus, pelarian para Rasul ...
Menangislah, kalau begitu? Ya — Tolkien menganjurkan kepada putranya — bahkan
kepada Yesus, untuk apa yang harus Ia tanggung, sebelumnya demi kita. Menangis
— kita harus menambahkan hari ini — untuk para korban dan bersama para korban
dosa-dosa kita.
***
Kesimpulan
untuk semua orang, baik orang beriman maupun yang tidak beriman. Tahun ini kita
merayakan Paskah bukan dengan suara lonceng yang penuh sukacita, tetapi dengan
suara bom dan ledakan di telinga tidak jauh dari sini. Marilah kita ingat
bagaimana pada suatu hari Yesus menanggapi kabar tentang orang-orang Galilea
yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan,
dan para korban runtuhnya Menara Siloam : “Jikalau kamu tidak bertobat, kamu
semua akan binasa atas cara demikian!” (Luk 13:5). Jika kamu tidak menempa
pedangmu menjadi mata bajak, tombakmu menjadi pisau pemangkas (Yes 2:4), dan
peluru kendalimu menjadi pabrik dan rumah, kamu akan binasa atas cara demikian!
Satu hal yang
tiba-tiba diingatkan peristiwa-peristiwa ini kepada kita. Tatanan dunia dapat
berubah hari demi hari. Semuanya berlalu, semuanya menua ; semuanya — tidak
hanya “kebahagiaan masa muda” — menurun. Hanya ada satu cara untuk melarikan
diri dari arus waktu yang menyeret segalanya bersamanya : melewati apa yang
tidak berlalu! Meletakkan kaki kita di tanah yang kokoh! Paskah, Tuhan lewat,
berarti perjalanan : marilah kita semua bertujuan untuk mengalami Paskah yang
sesungguhnya tahun ini, para Bapa, saudara-saudari yang terhormat : marilah
kita melewati Dia yang tidak berlalu. Marilah kita lewati sekarang dengan hati
kita, sebelum suatu hari melewati-Nya dengan tubuh kita.
____
(Peter
Suriadi - Bogor, 15 April 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.