Hari
ini kita merayakan pesta kakek-nenek Yesus. Tuhan telah mengumpulkan kita semua
bersama-sama tepat pada kesempatan ini, sangat sayang kepada kamu dan saya. Di
rumah Yoakim dan Anna inilah kanak Yesus mengenal kerabatnya yang lebih tua dan
mengalami kedekatan, kasih yang lembut, dan kebijaksanaan kakek-neneknya.
Marilah kita berpikir tentang kakek-nenek kita sendiri, dan merenungkan dua hal
penting.
Pertama:
kita adalah anak-anak sejarah yang perlu dilestarikan. Kita bukan individu,
pulau yang terasing. Tidak ada yang datang ke dunia ini terlepas dari orang
lain. Asal-usul kita, kasih yang menanti dan menyambut kita ke dunia, keluarga
tempat kita dibesarkan, adalah bagian dari sejarah unik yang mendahului kita
dan memberi kita kehidupan. Kita tidak memilih sejarah itu; kita menerimanya
sebagai karunia, di mana kita dipanggil untuk menghargainya, karena, seperti
diingatkan oleh Kitab Sirakh, kita adalah “keturunan” dari mereka yang telah
mendahului kita; kita adalah “warisan” mereka (Sir 44:11). Sebuah warisan yang,
terlepas dari klaim atas gengsi atau otoritas, kecerdasan atau kreativitas
dalam lagu atau puisi, berpusat pada kebenaran, pada kesetiaan kepada Allah dan
kehendak-Nya. Inilah yang mereka wariskan kepada kita. Untuk menerima siapa
diri kita sebenarnya, dan betapa berharganya kita, kita perlu menerima sebagai
bagian dari diri kita pria dan wanita yang daripadanya kita berasal. Mereka
tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri, tetapi memberikan kepada kita harta
kehidupan. Kita berada di sini berkat orangtua kita tetapi juga berterima kasih
kepada kakek-nenek kita, yang membantu kita merasa diterima di dunia.
Seringkali mereka adalah orang-orang yang mengasihi kita tanpa syarat, tanpa
mengharapkan balasan apa pun. Mereka memegang tangan kita ketika kita takut,
meyakinkan kita di kegelapan malam, menyemangati kita ketika kita menghadapi
keputusan hidup yang penting di siang hari yang cerah. Terima kasih kepada
kakek-nenek kita, kita menerima belaian dari sejarah yang mendahului kita :
kita belajar bahwa kebaikan, kasih yang lembut, dan kebijaksanaan adalah akar
kemanusiaan yang kokoh. Di rumah kakek-nenek kitalah banyak dari kita menghirup
aroma Injil, kekuatan iman yang membuat kita merasa seperti di rumah sendiri.
Berkat mereka, kita menemukan iman yang “akrab” seperti itu, iman rumah tangga.
Karena begitulah iman secara mendasar diturunkan, di rumah, melalui bahasa ibu,
dengan kasih sayang serta dorongan, perhatian dan kedekatan.
Ini
adalah sejarah kita, di mana kita adalah pewaris dan kita dipanggil untuk
melestarikannya. Kita adalah anak-anak karena kita adalah cucu. Kakek-nenek
kita meninggalkan jejak unik kepada kita dengan cara hidup mereka; mereka
memberi kita martabat dan kepercayaan diri pada diri kita dan orang lain.
Mereka menganugerahkan kepada kita sesuatu yang tidak akan pernah bisa diambil
dari kita dan itu, pada saat yang sama, memungkinkan kita untuk menjadi unik,
tulen, dan bebas. Dari kakek-nenek kita, kita belajar bahwa cinta tidak pernah
dipaksakan; cinta tidak pernah merampas kebebasan batin orang lain. Begitulah
cara Yoakim dan Anna mencintai Maria dan Yesus; dan begitulah Maria mencintai
Yesus, dengan cinta yang tidak pernah mencekik-Nya atau menahan-Nya, tetapi
menemani-Nya dalam merangkul perutusan yang untuk itu Ia datang ke dunia. Marilah
kita mencoba mempelajari hal ini, sebagai individu dan sebagai Gereja. Semoga
kita belajar untuk tidak pernah menekan hati nurani orang lain, tidak pernah
membatasi kebebasan orang-orang di sekitar kita, dan yang terpenting, tidak
pernah gagal dalam mencintai dan menghormati mereka yang mendahului kita dan
dipercayakan kepada kita. Karena mereka adalah harta berharga yang melestarikan
sejarah yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Kitab Sirakh juga memberitahu kita bahwa melestarikan sejarah yang memberi kita
kehidupan tidak berarti mengaburkan “kemuliaan” nenek moyang kita. Kita tidak
boleh kehilangan ingatan mereka, atau melupakan sejarah yang melahirkan
kehidupan kita. Kita harus selalu mengingat mereka yang tangannya membelai kita
dan yang memeluk kita; karena dalam sejarah ini kita dapat menemukan
penghiburan di saat-saat putus asa, cahaya untuk membimbing kita, dan
keberanian untuk menghadapi tantangan hidup. Namun melestarikan sejarah yang
memberi kita kehidupan juga berarti terus-menerus kembali ke sekolah tempat
kita pertama kali belajar bagaimana mencintai. Itu berarti bertanya pada diri
kita sendiri, ketika dihadapkan dengan pilihan sehari-hari, apa yang paling
bijaksana dari para penatua yang kita tahu akan diperbuat di tempat kita, nasihat
apa yang akan diberikan kakek nenek dan kakek buyut kita kepada kita.
Jadi,
saudara-saudara terkasih, marilah kita bertanya pada diri kita : apakah anak
cucu kita mampu menjaga harta yang kita warisi ini? Apakah kita mengingat
ajaran baik yang telah kita terima? Apakah kita berbicara dengan orang yang
lebih tua, dan meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka? Dan, di rumah kita
yang semakin lengkap, modern dan fungsional, apakah kita tahu bagaimana
menyisihkan ruang yang layak untuk melestarikan ingatan mereka, tempat khusus,
ingatan keluarga kecil yang, melalui gambar dan benda berharga, memungkinkan
kita untuk mengingat dalam doa orang-orang yang mendahului kita? Sudahkah kita
menyimpan Alkitab mereka, manik-manik rosario mereka? Dalam kabut kelupaan yang
membayangi masa-masa kita yang bergejolak, saudara-saudara, penting untuk
menjaga akar kita, berdoa untuk dan bersama para nenek moyang kita,
mendedikasikan waktu untuk mengingat dan menjaga warisan mereka. Beginilah cara
pohon keluarga tumbuh; ini adalah bagaimana masa depan dibangun.
Mari kita sekarang memikirkan hal penting kedua. Selain menjadi anak-anak
sejarah yang perlu dilestarikan, kita adalah penulis sejarah yang belum
ditulis. Kita masing-masing dapat mengenali diri kita untuk siapa dan apa diri
kita yang sesungguhnya, ditandai oleh cahaya dan bayangan, dan oleh cinta yang
kita terima atau tidak. Inilah misteri kehidupan manusia : kita semua adalah
anak-anak seseorang, dilahirkan dan dibentuk oleh orang lain, tetapi ketika
kita menjadi dewasa, kita juga dipanggil untuk memberikan kehidupan, untuk
menjadi ayah, ibu atau kakek-nenek bagi orang lain. Memikirkan orang-orang kita
adalah hari ini, apa yang ingin kita lakukan dengan diri kita? Kakek-nenek yang
telah mendahului, orangtua yang memiliki impian dan harapan untuk kita, dan
membuat pengorbanan besar untuk kita, mengajukan pertanyaan penting kepada kita
: masyarakat seperti apa yang ingin kita bangun? Kita menerima begitu banyak
dari tangan mereka yang mendahului kita. Pada gilirannya, apa yang ingin kita
wariskan kepada mereka yang datang setelah kita? “Air mawar”, itu adalah iman
yang menipis, atau iman yang hidup? Sebuah masyarakat yang didirikan atas
keuntungan pribadi atau persaudaraan? Dunia yang sedang berperang atau dunia
yang damai? Ciptaan yang hancur atau rumah yang tetap ramah?
Janganlah kita lupa bahwa getah pemberi kehidupan mengalir dari akar menuju
cabang, menuju daun, menuju bunga, dan kemudian menuju buah pohon. Tradisi
otentik diungkapkan dalam dimensi vertikal ini : dari bawah ke atas. Kita perlu
berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam karikatur tradisi, yang tidak
vertikal – dari akar menuju buah – tetapi horizontal – ke depan dan ke
belakang. Tradisi yang dipahami dengan cara ini hanya membawa kita kepada
semacam “budaya terbelakang”, tempat berlindungnya pemusatan diri, yang hanya
mengepung masa kini, menjebaknya dalam mentalitas yang mengatakan, “Kita selalu
melakukannya dengan cara ini”.
Dalam
Bacaan Injil yang baru saja kita dengar, Yesus memberitahu para murid bahwa
mereka berbahagia karena mereka dapat melihat dan mendengar apa yang hanya bisa
diharapkan oleh begitu banyak nabi dan orang benar (bdk. Mat 13:16-17). Banyak
orang telah percaya pada janji Allah tentang akan datangnya Mesias, telah
mempersiapkan jalan bagi-Nya dan telah mengumumkan kedatangan-Nya. Tetapi
sekarang setelah Mesias tiba, mereka yang dapat melihat dan mendengar-Nya
dipanggil untuk menyambut-Nya dan menyatakan kehadiran-Nya di tengah-tengah
kita.
Saudara-saudari,
ini juga berlaku untuk kita. Mereka yang mendahului kita telah memberikan
kepada kita gairah, kekuatan dan kerinduan, nyala api yang terserah kita untuk
menyalakannya kembali. Ini bukan masalah melestarikan abu, tetapi menyalakan
kembali api yang mereka nyalakan. Kakek-nenek dan orangtua kita ingin melihat
dunia yang semakin adil, bersaudara, dan bersetia kawan, dan mereka berjuang
untuk memberi kita masa depan. Sekarang, terserah kita untuk tidak mengecewakan
mereka. Terserah kita untuk menerima tradisi yang diterima, karena tradisi itu
adalah iman yang hidup dari orang kita yang telah meninggal. Jangan sampai kita
mengubah rupanya menjadi “tradisionalisme”, yang merupakan iman yang mati dari
orang yang hidup, seperti yang pernah dikatakan seorang penulis. Ditopang oleh
mereka yang menjadi asal usul ita, kini giliran kita berbuah. Kita adalah
cabang yang harus mekar dan menyebarkan benih sejarah baru. Marilah kita
bertanya pada diri kita, kemudian, beberapa pertanyaan nyata. Sebagai bagian
dari sejarah keselamatan, dalam terang mereka yang telah mendahuluiku dan
mencintaiku, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku memiliki peran yang unik
dan tak tergantikan dalam sejarah, tetapi tanda apa yang akan kutinggalkan? Apa
yang kusampaikan kepada mereka yang akan datang setelahku? Apa yang kuberikan
dari diriku? Seringkali kita mengukur hidup kita berdasarkan pendapatan kita,
jenis karir kita, tingkat kesuksesan kita dan bagaimana orang lain memandang
kita. Namun ini bukan kriteria yang memberi kehidupan. Pertanyaan sebenarnya
adalah : apakah aku memberi kehidupan? Apakah aku mengantarkan ke dalam sejarah
cinta yang baru dan diperbarui yang tidak ada sebelumnya? Apakah aku mewartakan
Injil di lingkunganku? Apakah aku dengan bebas melayani orang lain, seperti
yang dilakukan orang-orang yang telah mendahuluiku untukku? Apa yang kulakukan
untuk Gereja kita, kota kita, masyarakat kita? Saudara-saudari, mudah untuk
mengkritik, tetapi Tuhan tidak ingin kita hanya menjadi pengkritik sistem, atau
tertutup dan "melihat ke belakang", seperti yang dikatakan penulis
Surat kepada Ibrani (bdk. 10:39). Sebaliknya, ia ingin kita menjadi pengrajin
sejarah baru, penenun harapan, pembangun masa depan, pembawa damai.
Semoga
Yoakim dan Annae menjadi perantara kita. Semoga mereka membantu kita untuk
menghargai sejarah yang memberi kita kehidupan, dan, bagian kita adalaj
membangun sejarah yang memberi kehidupan. Semoga mereka mengingatkan kita akan
tugas rohani kita untuk menghormati kakek-nenek dan orangtua kita, menghargai
kehadiran mereka di antara kita untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Masa depan di mana orangtua tidak dikesampingkan karena, dari sudut pandang
"praktis", mereka "tidak lagi berguna". Masa depan yang
tidak menilai orang hanya dengan apa yang dapat mereka hasilkan. Masa depan
yang tidak acuh dengan kebutuhan para lansia untuk diperhatikan dan
didengarkan. Masa depan di mana sejarah kekerasan dan marginalisasi yang
dialami oleh saudara-saudara pribumi kita tidak pernah terulang. Masa depan itu
mungkin jika, dengan pertolongan Allah, kita tidak memutuskan ikatan yang
menyatukan kita dengan mereka yang telah mendahului kita, dan jika kita
mendorong dialog dengan mereka yang akan datang setelah kita. Tua-muda,
kakek-nenek dan cucu, semuanya bersama-sama. Marilah kita maju bersama-sama,
dan bersama-sama, marilah kita bermimpi. Juga, janganlah kita melupakan nasihat
Paulus kepada muridnya Timotius: Ingatlah ibumu dan nenekmu (bdk. 2 Tim 1:5).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 27 Juli 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.