Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA SANTO YOAKIM DAN SANTA ANNA DI STADION COMMONWEALTH, EDMONTON, KANADA 26 JulI 2022 : KITA ADALAH ANAK SEJARAH DAN PENULIS SEJARAH

Bacaan Ekaristi : Sir. 44:1,10-15; Mzm. 132:11,13-14,17-18; Mat. 13:16-17.

 

Hari ini kita merayakan pesta kakek-nenek Yesus. Tuhan telah mengumpulkan kita semua bersama-sama tepat pada kesempatan ini, sangat sayang kepada kamu dan saya. Di rumah Yoakim dan Anna inilah kanak Yesus mengenal kerabatnya yang lebih tua dan mengalami kedekatan, kasih yang lembut, dan kebijaksanaan kakek-neneknya. Marilah kita berpikir tentang kakek-nenek kita sendiri, dan merenungkan dua hal penting.

 

Pertama: kita adalah anak-anak sejarah yang perlu dilestarikan. Kita bukan individu, pulau yang terasing. Tidak ada yang datang ke dunia ini terlepas dari orang lain. Asal-usul kita, kasih yang menanti dan menyambut kita ke dunia, keluarga tempat kita dibesarkan, adalah bagian dari sejarah unik yang mendahului kita dan memberi kita kehidupan. Kita tidak memilih sejarah itu; kita menerimanya sebagai karunia, di mana kita dipanggil untuk menghargainya, karena, seperti diingatkan oleh Kitab Sirakh, kita adalah “keturunan” dari mereka yang telah mendahului kita; kita adalah “warisan” mereka (Sir 44:11). Sebuah warisan yang, terlepas dari klaim atas gengsi atau otoritas, kecerdasan atau kreativitas dalam lagu atau puisi, berpusat pada kebenaran, pada kesetiaan kepada Allah dan kehendak-Nya. Inilah yang mereka wariskan kepada kita. Untuk menerima siapa diri kita sebenarnya, dan betapa berharganya kita, kita perlu menerima sebagai bagian dari diri kita pria dan wanita yang daripadanya kita berasal. Mereka tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri, tetapi memberikan kepada kita harta kehidupan. Kita berada di sini berkat orangtua kita tetapi juga berterima kasih kepada kakek-nenek kita, yang membantu kita merasa diterima di dunia. Seringkali mereka adalah orang-orang yang mengasihi kita tanpa syarat, tanpa mengharapkan balasan apa pun. Mereka memegang tangan kita ketika kita takut, meyakinkan kita di kegelapan malam, menyemangati kita ketika kita menghadapi keputusan hidup yang penting di siang hari yang cerah. Terima kasih kepada kakek-nenek kita, kita menerima belaian dari sejarah yang mendahului kita : kita belajar bahwa kebaikan, kasih yang lembut, dan kebijaksanaan adalah akar kemanusiaan yang kokoh. Di rumah kakek-nenek kitalah banyak dari kita menghirup aroma Injil, kekuatan iman yang membuat kita merasa seperti di rumah sendiri. Berkat mereka, kita menemukan iman yang “akrab” seperti itu, iman rumah tangga. Karena begitulah iman secara mendasar diturunkan, di rumah, melalui bahasa ibu, dengan kasih sayang serta dorongan, perhatian dan kedekatan.

 

Ini adalah sejarah kita, di mana kita adalah pewaris dan kita dipanggil untuk melestarikannya. Kita adalah anak-anak karena kita adalah cucu. Kakek-nenek kita meninggalkan jejak unik kepada kita dengan cara hidup mereka; mereka memberi kita martabat dan kepercayaan diri pada diri kita dan orang lain. Mereka menganugerahkan kepada kita sesuatu yang tidak akan pernah bisa diambil dari kita dan itu, pada saat yang sama, memungkinkan kita untuk menjadi unik, tulen, dan bebas. Dari kakek-nenek kita, kita belajar bahwa cinta tidak pernah dipaksakan; cinta tidak pernah merampas kebebasan batin orang lain. Begitulah cara Yoakim dan Anna mencintai Maria dan Yesus; dan begitulah Maria mencintai Yesus, dengan cinta yang tidak pernah mencekik-Nya atau menahan-Nya, tetapi menemani-Nya dalam merangkul perutusan yang untuk itu Ia datang ke dunia. Marilah kita mencoba mempelajari hal ini, sebagai individu dan sebagai Gereja. Semoga kita belajar untuk tidak pernah menekan hati nurani orang lain, tidak pernah membatasi kebebasan orang-orang di sekitar kita, dan yang terpenting, tidak pernah gagal dalam mencintai dan menghormati mereka yang mendahului kita dan dipercayakan kepada kita. Karena mereka adalah harta berharga yang melestarikan sejarah yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Kitab Sirakh juga memberitahu kita bahwa melestarikan sejarah yang memberi kita kehidupan tidak berarti mengaburkan “kemuliaan” nenek moyang kita. Kita tidak boleh kehilangan ingatan mereka, atau melupakan sejarah yang melahirkan kehidupan kita. Kita harus selalu mengingat mereka yang tangannya membelai kita dan yang memeluk kita; karena dalam sejarah ini kita dapat menemukan penghiburan di saat-saat putus asa, cahaya untuk membimbing kita, dan keberanian untuk menghadapi tantangan hidup. Namun melestarikan sejarah yang memberi kita kehidupan juga berarti terus-menerus kembali ke sekolah tempat kita pertama kali belajar bagaimana mencintai. Itu berarti bertanya pada diri kita sendiri, ketika dihadapkan dengan pilihan sehari-hari, apa yang paling bijaksana dari para penatua yang kita tahu akan diperbuat di tempat kita, nasihat apa yang akan diberikan kakek nenek dan kakek buyut kita kepada kita.

 

Jadi, saudara-saudara terkasih, marilah kita bertanya pada diri kita : apakah anak cucu kita mampu menjaga harta yang kita warisi ini? Apakah kita mengingat ajaran baik yang telah kita terima? Apakah kita berbicara dengan orang yang lebih tua, dan meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka? Dan, di rumah kita yang semakin lengkap, modern dan fungsional, apakah kita tahu bagaimana menyisihkan ruang yang layak untuk melestarikan ingatan mereka, tempat khusus, ingatan keluarga kecil yang, melalui gambar dan benda berharga, memungkinkan kita untuk mengingat dalam doa orang-orang yang mendahului kita? Sudahkah kita menyimpan Alkitab mereka, manik-manik rosario mereka? Dalam kabut kelupaan yang membayangi masa-masa kita yang bergejolak, saudara-saudara, penting untuk menjaga akar kita, berdoa untuk dan bersama para nenek moyang kita, mendedikasikan waktu untuk mengingat dan menjaga warisan mereka. Beginilah cara pohon keluarga tumbuh; ini adalah bagaimana masa depan dibangun.

Mari kita sekarang memikirkan hal penting kedua. Selain menjadi anak-anak sejarah yang perlu dilestarikan, kita adalah penulis sejarah yang belum ditulis. Kita masing-masing dapat mengenali diri kita untuk siapa dan apa diri kita yang sesungguhnya, ditandai oleh cahaya dan bayangan, dan oleh cinta yang kita terima atau tidak. Inilah misteri kehidupan manusia : kita semua adalah anak-anak seseorang, dilahirkan dan dibentuk oleh orang lain, tetapi ketika kita menjadi dewasa, kita juga dipanggil untuk memberikan kehidupan, untuk menjadi ayah, ibu atau kakek-nenek bagi orang lain. Memikirkan orang-orang kita adalah hari ini, apa yang ingin kita lakukan dengan diri kita? Kakek-nenek yang telah mendahului, orangtua yang memiliki impian dan harapan untuk kita, dan membuat pengorbanan besar untuk kita, mengajukan pertanyaan penting kepada kita : masyarakat seperti apa yang ingin kita bangun? Kita menerima begitu banyak dari tangan mereka yang mendahului kita. Pada gilirannya, apa yang ingin kita wariskan kepada mereka yang datang setelah kita? “Air mawar”, itu adalah iman yang menipis, atau iman yang hidup? Sebuah masyarakat yang didirikan atas keuntungan pribadi atau persaudaraan? Dunia yang sedang berperang atau dunia yang damai? Ciptaan yang hancur atau rumah yang tetap ramah?

Janganlah kita lupa bahwa getah pemberi kehidupan mengalir dari akar menuju cabang, menuju daun, menuju bunga, dan kemudian menuju buah pohon. Tradisi otentik diungkapkan dalam dimensi vertikal ini : dari bawah ke atas. Kita perlu berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam karikatur tradisi, yang tidak vertikal – dari akar menuju buah – tetapi horizontal – ke depan dan ke belakang. Tradisi yang dipahami dengan cara ini hanya membawa kita kepada semacam “budaya terbelakang”, tempat berlindungnya pemusatan diri, yang hanya mengepung masa kini, menjebaknya dalam mentalitas yang mengatakan, “Kita selalu melakukannya dengan cara ini”.

 

Dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar, Yesus memberitahu para murid bahwa mereka berbahagia karena mereka dapat melihat dan mendengar apa yang hanya bisa diharapkan oleh begitu banyak nabi dan orang benar (bdk. Mat 13:16-17). Banyak orang telah percaya pada janji Allah tentang akan datangnya Mesias, telah mempersiapkan jalan bagi-Nya dan telah mengumumkan kedatangan-Nya. Tetapi sekarang setelah Mesias tiba, mereka yang dapat melihat dan mendengar-Nya dipanggil untuk menyambut-Nya dan menyatakan kehadiran-Nya di tengah-tengah kita.

 

Saudara-saudari, ini juga berlaku untuk kita. Mereka yang mendahului kita telah memberikan kepada kita gairah, kekuatan dan kerinduan, nyala api yang terserah kita untuk menyalakannya kembali. Ini bukan masalah melestarikan abu, tetapi menyalakan kembali api yang mereka nyalakan. Kakek-nenek dan orangtua kita ingin melihat dunia yang semakin adil, bersaudara, dan bersetia kawan, dan mereka berjuang untuk memberi kita masa depan. Sekarang, terserah kita untuk tidak mengecewakan mereka. Terserah kita untuk menerima tradisi yang diterima, karena tradisi itu adalah iman yang hidup dari orang kita yang telah meninggal. Jangan sampai kita mengubah rupanya menjadi “tradisionalisme”, yang merupakan iman yang mati dari orang yang hidup, seperti yang pernah dikatakan seorang penulis. Ditopang oleh mereka yang menjadi asal usul ita, kini giliran kita berbuah. Kita adalah cabang yang harus mekar dan menyebarkan benih sejarah baru. Marilah kita bertanya pada diri kita, kemudian, beberapa pertanyaan nyata. Sebagai bagian dari sejarah keselamatan, dalam terang mereka yang telah mendahuluiku dan mencintaiku, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku memiliki peran yang unik dan tak tergantikan dalam sejarah, tetapi tanda apa yang akan kutinggalkan? Apa yang kusampaikan kepada mereka yang akan datang setelahku? Apa yang kuberikan dari diriku? Seringkali kita mengukur hidup kita berdasarkan pendapatan kita, jenis karir kita, tingkat kesuksesan kita dan bagaimana orang lain memandang kita. Namun ini bukan kriteria yang memberi kehidupan. Pertanyaan sebenarnya adalah : apakah aku memberi kehidupan? Apakah aku mengantarkan ke dalam sejarah cinta yang baru dan diperbarui yang tidak ada sebelumnya? Apakah aku mewartakan Injil di lingkunganku? Apakah aku dengan bebas melayani orang lain, seperti yang dilakukan orang-orang yang telah mendahuluiku untukku? Apa yang kulakukan untuk Gereja kita, kota kita, masyarakat kita? Saudara-saudari, mudah untuk mengkritik, tetapi Tuhan tidak ingin kita hanya menjadi pengkritik sistem, atau tertutup dan "melihat ke belakang", seperti yang dikatakan penulis Surat kepada Ibrani (bdk. 10:39). Sebaliknya, ia ingin kita menjadi pengrajin sejarah baru, penenun harapan, pembangun masa depan, pembawa damai.

 

Semoga Yoakim dan Annae menjadi perantara kita. Semoga mereka membantu kita untuk menghargai sejarah yang memberi kita kehidupan, dan, bagian kita adalaj membangun sejarah yang memberi kehidupan. Semoga mereka mengingatkan kita akan tugas rohani kita untuk menghormati kakek-nenek dan orangtua kita, menghargai kehadiran mereka di antara kita untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana orangtua tidak dikesampingkan karena, dari sudut pandang "praktis", mereka "tidak lagi berguna". Masa depan yang tidak menilai orang hanya dengan apa yang dapat mereka hasilkan. Masa depan yang tidak acuh dengan kebutuhan para lansia untuk diperhatikan dan didengarkan. Masa depan di mana sejarah kekerasan dan marginalisasi yang dialami oleh saudara-saudara pribumi kita tidak pernah terulang. Masa depan itu mungkin jika, dengan pertolongan Allah, kita tidak memutuskan ikatan yang menyatukan kita dengan mereka yang telah mendahului kita, dan jika kita mendorong dialog dengan mereka yang akan datang setelah kita. Tua-muda, kakek-nenek dan cucu, semuanya bersama-sama. Marilah kita maju bersama-sama, dan bersama-sama, marilah kita bermimpi. Juga, janganlah kita melupakan nasihat Paulus kepada muridnya Timotius: Ingatlah ibumu dan nenekmu (bdk. 2 Tim 1:5).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Juli 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.