Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KRISMA 6 April 2023 : DUA PENGURAPAN ROH KUDUS

Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

“Roh Tuhan ada pada-Ku” (Luk 4:18). Yesus memulai khotbah-Nya dengan ayat ini, yang juga mengawali Bacaan Pertama hari ini (bdk. Yes 61:1). Jadi, pada mulanya Roh Tuhan hadir.

 

Saudara-saudara terkasih dalam jenjang imamat, hari ini saya ingin merenungkan bersamamu tentang Roh Kudus. Karena tanpa Roh Tuhan, tidak akan ada kehidupan Kristiani; tanpa pengurapan-Nya, tidak akan ada kekudusan. Ia pusatnya dan selayaknya hari ini, pada hari ulang tahun imamat, kita mengakui kehadiran-Nya pada asal mula pelayanan kita, serta asal mula kehidupan dan daya hidup setiap imam. Gereja Bunda yang kudus mengajarkan kita untuk mengakui bahwa Roh Kudus adalah “pemberi kehidupan”.[1] Yesus memberitahu kita : “Rohlah yang memberi hidup” (Yoh 6:63). Ajaran-Nya diambil oleh rasul Paulus, yang menulis bahwa “hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Kor 3:6) dan berbicara tentang “hukum Roh kehidupan dalam Kristus Yesus” (Rm 8:2). Tanpa Roh Kudus, Gereja tidak akan menjadi Mempelai Kristus yang hidup, tetapi, setidaknya, sebuah perkumpulan keagamaan. Bukan Tubuh Kristus, tetapi bait suci yang dibangun oleh tangan manusia. Lalu bagaimana kita membangun Gereja, jika tidak dimulai dengan kenyataan bahwa kita adalah “bait Roh Kudus” yang “diam di dalam kita” (bdk. 1 Kor 6:19; 3:16)? Kita tidak dapat mengunci Roh di luar rumah, atau memarkirnya di dalam beberapa zona devosional. Setiap hari kita perlu mengatakan : “Datanglah, karena tanpa kekuatan-Mu, kami tersesat”.[2]

 

Roh Tuhan ada padaku. Kita masing-masing dapat mengatakan ini, bukan karena anggapan, tetapi sebagai kenyataan. Segenap umat Kristiani, dan para imam khususnya, dapat menerapkan pada diri mereka sendiri kata-kata berikut : "Oleh karena TUHAN telah mengurapi aku" (Yes 61:1). Saudara-saudara terkasih, terlepas dari segala jasa kita, dan dengan rahmat semata, kita telah menerima pengurapan yang menjadikan kita bapa dan gembala di antara Umat Allah yang kudus. Maka, marilah kita renungkan aspek Roh ini : pengurapan-Nya.

 

Setelah pengurapan awal-Nya, yang terjadi di dalam rahim Maria, Roh Kudus turun ke atas Yesus di sungai Yordan. Setelah itu, seperti dijelaskan oleh Santo Basilius, “setiap tindakan [Kristus] dilakukan dengan kehadiran bersama Roh Kudus”.[3] Dalam kuasa pengurapan yang terakhir itu, Yesus berkhotbah dan mengerjakan tanda-tanda; berkat pengurapan itu, “ada kuasa yang keluar daripada-Nya dan semua orang disembuhkan-Nya” (Luk 6:19). Yesus dan Roh Kudus selalu bekerja sama, bagaikan dua tangan Bapa[4] yang menjangkau untuk merangkul dan mengangkat kita. Dengan tangan itu, tangan kita sendiri dimeteraikan, diurapi oleh Roh Kristus. Ya, saudara-saudaraku, Tuhan tidak hanya memilih kita dan memanggil kita : Ia telah mencurahkan ke atas diri kita pengurapan Roh Kudus, Roh Kudus juga turun ke atas para rasul.

 

Sekarang marilah kita mengalihkan perhatian kita kepada mereka, kepada para rasul. Yesus memilih mereka dan atas panggilan-Nya, mereka meninggalkan perahu, jala, dan rumah mereka. Pengurapan Sabda mengubah hidup mereka. Dengan sangat antusias, mereka mengikuti Sang Guru dan mulai berkhotbah, yakin bahwa mereka akan terus mencapai hal-hal yang lebih besar. Kemudian datanglah Paskah. Semuanya tampak terhenti: mereka bahkan menyangkal dan meninggalkan Guru mereka. Mereka menyadari kegagalan mereka; mereka menyadari bahwa mereka tidak memahami-Nya. Kata-kata yang diucapkan Petrus di halaman imam besar setelah Perjamuan Terakhir - "Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut ini!" (Mrk 14:71) - bukan hanya upaya seturut kata hati untuk membela diri, tetapi pengakuan ketidaktahuan rohani. Ia dan murid-murid yang lain mungkin mengharapkan kehidupan kemenangan di balik Mesias yang menarik banyak orang dan melakukan berbagai mukjizat, tetapi mereka gagal memahami skandal salib, yang menyebabkan kepastian mereka runtuh. Yesus tahu bahwa, dengan sendirinya, mereka tidak akan berhasil, jadi Ia berjanji untuk mengutus Sang Penolong kepada mereka. Tepatnya “pengurapan kedua”, pada hari Pentakosta, yang mengubah para murid dan menuntun mereka untuk tidak lagi menggembalakan diri mereka sendiri tetapi menggembalakan kawanan domba Tuhan. Pengurapan dengan api itulah yang memadamkan "kesalehan" yang berfokus pada diri dan kemampuan mereka sendiri. Setelah menerima Roh Kudus, ketakutan dan kebimbangan Petrus sirna; Yakobus dan Yohanes, dengan hasrat membara untuk memberikan hidup mereka, tidak lagi mencari tempat terhormat (bdk. Mrk 10:35-45); murid-murid lain yang meringkuk ketakutan di Ruang Atas, pergi ke dunia sebagai rasul.

 

Saudara-saudara terkasih, hal serupa terjadi dalam kehidupan imamat dan kerasulan kita. Kita juga mengalami pengurapan awal, yang dimulai dengan panggilan penuh kasih yang memikat hati kita dan membawa kita dalam perjalanan; kuasa Roh Kudus turun ke atas antusiasme kita yang tulus dan menguduskan kita. Kemudian, pada saat Allah yang baik, kita masing-masing mengalami Paskah, yang melambangkan momen kebenaran. Masa krisis mengambil berbagai bentuk. Cepat atau lambat, kita semua mengalami kekecewaan, frustrasi, dan kelemahan; cita-cita kita tampaknya surut di hadapan kenyataan tersebut, kekuatan kebiasaan tertentu mengambil alih, dan kesulitan yang dulunya tampak tak terbayangkan tampaknya menantang kesetiaan kita. Bagi kaum terurapi, tahapan ini adalah daerah aliran sungai. Kita bisa keluar daripadanya dengan buruk, hanyut ke arah biasa-biasa saja dan memilih rutinitas yang suram, di mana tiga godaan berbahaya bisa muncul. Godaan kompromi, di mana kita puas hanya dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukan; godaan pengganti, di mana untuk menemukan kepuasan kita tidak melihat pengurapan kita, tetapi di tempat lain; dan godaan keputusasaan, di mana ketidakpuasan menyebabkan kelambanan. Ini adalah bahaya besar : seraya penampilan lahiriah tetap utuh, kita menutup diri dan puas hanya dengan bertahan. Keharuman pengurapan kita tidak lagi tercium dalam hidup kita; hati kita tidak lagi mengembang tetapi mengerut, kecewa dan tidak terpesona.

 

Namun krisis ini juga berpotensi menjadi titik balik dalam keimamatan kita, “tahap kehidupan rohani yang menentukan, di mana pilihan terakhir harus dibuat antara Yesus dan dunia, antara amal heroik dan biasa-biasa saja, antara salib dan kenyamanan, antara kekudusan dan ketaatan pada kewajiban agama kita”.[5] Momen yang dipenuhi rahmat ketika, seperti para murid pada Paskah, kita dipanggil untuk “dengan cukup rendah hati mengakui bahwa kita telah dimenangkan oleh Kristus yang menderita dan disalibkan, serta memulai perjalanan baru, yaitu perjalanan Kristus. Roh Kudus, iman dan cinta yang kuat, namun tanpa khayalan”.[6] Saat yang tepat menyadarkan kita bahwa “tidaklah cukup meninggalkan perahu dan jala untuk mengikuti Yesus selama waktu tertentu; saat yang tepat juga menuntut pergi ke Kalvari, mempelajari pelajarannya dan menerima buahnya, serta bertekun dengan pertolongan Roh Kudus sampai akhir hidup yang dimaksudkan untuk diakhiri dalam kesempurnaan kasih ilahi”.[7] Dengan pertolongan Roh Kudus : bagi kita seperti bagi para rasul, ini adalah waktu “pengurapan kedua”, di mana Roh Kudus dicurahkan tidak lagi pada antusiasme harapan dan impian kita, tetapi pada kebebasan situasi nyata kita. Pengurapan yang menembus ke kedalaman kenyataan kita, di mana Roh Kudus mengurapi kelemahan, keletihan dan kemiskinan batin kita. Pengurapan yang membawa keharuman baru : pengurapan Roh Kudus, bukan pengurapan diri kita.

 

Hal ini terjadi ketika kita mengakui kenyataan kelemahan kita. Itulah yang “dikatakan oleh Roh kebenaran (Yoh 16:13) kepada kita untuk dilakukan; Ia mendorong kita untuk melihat jauh ke dalam dan bertanya : Apakah pemenuhanku bergantung pada kemampuanku, posisiku, pujian yang kuterima, promosiku, rasa hormat dari atasan atau rekan kerjaku, kenyamanan yang mengelilingi diriku? Atau pengurapan yang menyebarkan keharumannya di mana-mana dalam hidupku? Saudara-saudara terkasih, kedewasaan imamat datang dari Roh Kudus dan dicapai ketika Ia menjadi pelaku utama dalam hidup kita. Begitu hal itu terjadi, semuanya berbalik, bahkan kekecewaan dan pengalaman pahit, karena kita tidak lagi berusaha menemukan kebahagiaan dengan menyesuaikan rinciannya, tetapi dengan memberikan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan yang mengurapi kita dan yang menginginkan pengurapan itu menembus kedalaman keberadaan kita. Kita menemukan bahwa kehidupan rohani menjadi membebaskan dan menyenangkan, sekali kita tidak lagi peduli untuk memelihara penampilan dan membuat perbaikan cepat, tetapi menyerahkan prakarsa kepada Roh Kudus dan, dalam keterbukaan rencana-Nya, menunjukkan kesediaan kita untuk melayani di manapun dan bagaimanapun kita diminta. Imamat kita tidak tumbuh dengan perbaikan cepat tetapi dengan limpahan rahmat!

 

Jika kita membiarkan Roh Kebenaran bertindak di dalam diri kita, kita akan memelihara pengurapan-Nya, karena berbagai ketidakbenaran yang dengannya kehidupan kita dicobai akan terungkap. Dan Roh Kudus yang "membersihkan apa yang najis", tanpa lelah akan menyarankan kepada kita "untuk tidak menajiskan pengurapan kita", bahkan sedikit pun. Kita memikirkan ungkapan Pengkhotbah, yang mengatakan bahwa “lalat yang mati menyebabkan urapan dari pembuat urapan berbau busuk” (10:1). Memang benar, setiap bentuk kepalsuan yang menyindir dirinya berbahaya : tidak boleh ditoleransi, tetapi dibawa ke dalam terang Roh Kudus. Karena “betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yer 17:9). Roh Kudus, hanya Dia, memulihkan penyelewengan kita (bdk. Hos 14:4). Bagi kita, ini adalah perjuangan yang tak terhindarkan : sangat diperlukan, seperti ditulis Santo Gregorius Agung, bahwa “mereka yang mewartakan sabda Allah, pertama-tama harus memperhatikan cara hidup mereka; kemudian, berdasarkan kehidupannya, ia dapat belajar apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya... Janganlah ada orang yang berani mengatakan lebih dari apa yang pertama kali ia dengar di dalam hatinya”.[8] Roh Kudus adalah guru batin yang harus kita dengarkan, sadari bahwa Ia ingin mengurapi setiap bagian diri kita. Saudara-saudara, marilah kita menjaga pengurapan kita, memohon Roh Kudus bukan sebagai tindakan kesalehan sesekali, tetapi sebagai nafas setiap hari. Ditahbiskan oleh-Nya, aku dipanggil untuk membenamkan diri di dalam Dia, membuat kehidupan-Nya menembus kegelapanku, sehingga aku dapat menemukan kembali kebenaran tentang siapa dan apa diriku. Marilah kita membiarkan diri kita didorong oleh-Nya untuk memerangi ketidakbenaran yang bergumul di dalam diri kita. Dan marilah kita membiarkan diri kita dilahirkan kembali daripada-Nya melalui penyembahan, karena ketika kita menyembah Tuhan, Ia mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati kita.

 

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku; Ia telah mengutus Aku”, demikian nas itu selanjutnya, untuk menyampaikan kabar baik, kebebasan, kesembuhan dan rahmat (bdk. Yes 61:1-2; Luk 4:18-19): singkatnya, menyampaikan keselarasan di mana pun juga. Setelah berbicara kepadamu tentang pengurapan, saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu tentang keselarasan yang merupakan akibatnya. Karena Roh Kudus adalah keselarasan. Terutama di surga: Santo Basilius mencatat bahwa "seluruh keselarasan yang luar biasa dan tak terkatakan dalam pelayanan kepada Allah dan dalam simfoni timbal balik kekuatan adikosmik, tidak mungkin dipertahankan, jika bukan karena otoritas Roh".[9] Seperti halnya di bumi: di dalam Gereja, Roh Kudus adalah “keselarasan ilahi dan musikal”[10] yang menyatukan semuanya. Ia membangkitkan keragaman karisma dan menyatukannya; Ia menciptakan keselarasan bukan berdasarkan keseragaman, melainkan daya cipta amal. Dengan cara ini, Ia menciptakan keselarasan dari keragaman. Pada saat Konsili Vatikan II, yang merupakan karunia Roh Kudus, seorang teolog menerbitkan sebuah penelitian di mana ia berbicara tentang Roh Kudus bukan sebagai bentuk tunggal, tetapi sebagai bentuk jamak. Beliau menyarankan memikirkan Roh Kudus sebagai pribadi ilahi yang tidak hanya dalam bentuk tunggal tetapi dalam bentuk "jamak", sebagai "Kita Allah", "Kita" Bapa dan Putra, karena Ia adalah ikatan mereka. Roh Kudus dalam dirinya adalah kerukunan, persekutuan dan keselarasan.[11]

 

Menciptakan keselarasan adalah apa yang diinginkan Roh Kudus, terutama melalui orang-orang yang diurapi-Nya. Saudara-saudara, membangun keselarasan di antara kita bukan sekadar cara yang baik untuk meningkatkan berfungsinya tatanan gerejawi, atau masalah strategi atau kesantunan : menciptakan keselarasan merupakan tuntutan intrinsik kehidupan Roh Kudus. Kita berdosa terhadap Roh Kudus yang adalah persekutuan setiap kali kita menjadi, bahkan secara tidak sengaja, sarana perpecahan; dan setiap kali kita memainkan permainan musuh, yang tidak pernah terbuka, yang menyukai gosip dan sindiran, memicu pesta dan kelompok, mengobarkan nostalgia masa lalu, ketidakpercayaan, pesimisme, dan ketakutan. Tolong, marilah kita berhati-hati, untuk tidak mencemarkan pengurapan Roh Kudus dan jubah Gereja Induk dengan perpecahan, pengutuban atau ketiadaan kasih dan persekutuan. Marilah kita ingat bahwa Roh Kudus, sebagai "Kita Allah", lebih memilih "bentuk" komunitas : kesediaan untuk kebutuhan kita, kepatuhan untuk selera kita, kerendahan hati untuk klaim kita.

 

Keselarasan bukanlah satu keutamaan di antara yang lainnya; keselarasan adalah sesuatu yang lebih. Seperti ditulis Santo Gregorius Agung: “nilai keselarasan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa tanpanya, keutamaan lainnya tidak memiliki nilai apa pun”.[12] Marilah kita saling membantu, saudara-saudara, untuk menjaga keselarasan, tidak dimulai dari orang lain tetapi dari diri kita masing-masing. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : Dalam perkataanku, dalam komentarku, dalam apa yang kukatakan dan tulis, apakah ada meterai Roh Kudus atau meterai dunia? Apakah aku berpikir tentang kebaikan imam : jika umat melihat, dalam diri kita juga, umat yang tidak puas dan tidak berkenan, yang mengkritik dan menuding, di mana lagi mereka akan menemukan keselarasan? Berapa banyak orang yang gagal mendekati kita, atau menjaga jarak, karena dalam Gereja mereka merasa tidak diterima dan tidak dikasihi, dipandang dengan kecurigaan dan dihakimi? Dalam nama Allah, marilah kita menyambut dan mengampuni, selalu! Dan marilah kita ingat bahwa mudah tersinggung dan penuh keluhan tidak menghasilkan buah yang baik, tetapi merusak pewartaan kita, karena merupakan kesaksian tandingan bagi Allah, yang merupakan persekutuan yang selaras. Terutama, tidak berkenan bagi Roh Kudus, sehingga rasul Paulus mendesak agar jangan mendukakan-Nya (bdk. Ef 4:30).

 

Saudara-saudara terkasih, saya meninggalkanmu dengan pemikiran yang saya sayangi ini, dan saya menyimpulkan dengan dua kata sederhana dan penting : Terima kasih. Terima kasih atas kesaksian dan pelayananmu. Terima kasih atas kebaikan tersembunyi yang kamu lakukan, serta atas pengampunan dan penghiburan yang kamu berikan atas nama Allah. Terima kasih atas pelayananmu, yang sering dilakukan dengan usaha keras dan sedikit pengakuan. Semoga Roh Allah, yang tidak mengecewakan orang-orang yang percaya kepada-Nya, memenuhimu dengan kedamaian dan menyelesaikan pekerjaan baik yang telah Ia mulai di dalam dirimu, sehingga kamu dapat menjadi saksi kenabian pengurapan-Nya dan para rasul keselarasan.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2023)



[1]Syahadat Nicea-Konstantinopel.

[2]Bdk. Sekuensia Hari Raya Pentakosta.

[3]De Spiritu Sancto, 16.39.

[4]Bdk. Ireneus, Melawan Bidaah IV, 20, 1.

[5]R. VOILLAUME, “La seconda chiamata”, dalam S. STEVEN, ed. La seconda chiama. Il coraggio della fragilità, Bologna. 2018, 15.

[6]idem, 24.

[7]idem, 16.

[8]Homili tentang Yehezkiel, I, X, 13-14.

[9]De Spiritu Sancto, XVI, 38.

[10]Dalam Mzm. 29.1.

[11]Bdk. H. MÜHLEN, Der Heilige Gest als Person. Ich-Du-Wir, Münster in W., 1963.

[12]Homili tentang Yehezkiel, I, VIII, 8.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.