Bacaan Ekaristi : Kel. 22:21-27; Mzm. 18:2-3a,3bc-4,47,51ab; 1Tes. 1:5c-10; Mat. 22:34-40.
Seorang
ahli Taurat datang kepada Yesus dengan berdalih, untuk mencobai Dia. Tetapi,
pertanyaan yang ia ajukan adalah pertanyaan yang penting dan bertahan lama,
yang terkadang muncul dalam hati kita dan dalam kehidupan Gereja : “Perintah
manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" (Mat 22:36). Kita juga, yang
tenggelam dalam arus Tradisi yang hidup, dapat bertanya : “Apa hal yang paling
penting? Apa kekuatan pendorongnya?” Prinsip apakah yang lebih penting untuk
dijadikan panduan segala sesuatu? Jawaban Yesus jelas: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal
budimu. Itulah perintah yang terutama dan yang pertama. Perintah yang kedua,
yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
(Mat 22:37-39).
Saudara
para kardinal, para uskup dan para imam, para rohaniwan dan rohaniwati, saudara
dan saudari terkasih, di akhir tahap perjalanan kita ini, penting untuk melihat
“prinsip dan landasan” yang sungguh menjadi awal mula segala sesuatu : dengan
mengasihi. Mengasihi Allah dengan segenap kehidupan kita dan mengasihi sesama
seperti diri kita sendiri. Bukan strategi kita, perhitungan manusiawi kita,
jalan dunia, tetapi kasih kepada Allah dan sesama: itulah inti dari segala sesuatu.
Dan bagaimana kita menyalurkan momentum kasih ini? Saya akan mengusulkan dua
kata kerja, dua gerakan hati, yang ingin saya renungkan: menyembah dan
melayani. Kita mengasihi Allah melalui penyembahan dan pelayanan.
Kata
kerja pertama, menyembah. Mengasihi berarti menyembah. Penyembahan adalah
tanggapan pertama yang dapat kita berikan terhadap kasih Allah yang cuma-cuma
dan menakjubkan. Keheranan penyembahan, keajaiban penyembahan, merupakan
sesuatu yang hakiki dalam kehidupan Gereja, terutama pada zaman kita dewasa ini
di mana kita telah meninggalkan praktek penyembahan. Menyembah Allah berarti
mengakui dalam iman bahwa hanya Dialah Tuhan dan kehidupan kita masing-masing,
perjalanan Gereja dan hasil akhir sejarah semuanya bergantung pada kelembutan kasih-Nya.
Ia memberi makna pada kehidupan kita.
Dalam
menyembah Allah, kita menemukan kembali bahwa kita bebas. Itulah sebabnya Kitab
Suci sering kali mengaitkan mengasihi Allah dengan perjuangan melawan segala
bentuk penyembahan berhala. Mereka yang menyembah Allah menolak berhala-hala
karena justru Allah memerdekakan, berhala-hala memperbudak. Berhala-hala menipu
kita dan tidak pernah mewujudkan apa yang dijanjikannya, karena berhala-hala
adalah “buatan tangan manusia” (Mzm 115:4). Kitab Suci tegas berkaitan dengan
penyembahan berhala, karena berhala-hala dibuat dan dimanipulasi oleh manusia,
sedangkan Allah, Allah yang hidup, hadir dan transenden; Ia “tidak seperti yang
kubayangkan, yang tidak bergantung pada apa yang kuharapkan dari-Nya dan yang
dengan demikian dapat menggagalkan harapanku, justru karena Ia tetap hidup.
Bukti bahwa kita tidak selalu memiliki gagasan yang benar tentang Allah yakni
kadang-kadang kita kecewa: Kita berpikir: 'Aku mengharapkan satu hal, aku
membayangkan Allah akan berperilaku seperti ini, tetapi aku salah'. Tetapi
dengan cara ini, kita kembali ke jalan penyembahan berhala, menginginkan Tuhan
bertindak sesuai dengan gambaran yang kita miliki tentang Dia” (C.M. Martini, I grandi della Bibbia. Esercizi spirituali
con l’Antico Testamento, Fiorentina, 2022, 826-827). Kita selalu berisiko
berpikir bahwa kita bisa “mengendalikan Allah”, bahwa kita bisa membatasi
kasih-Nya pada agenda kita. Sebaliknya, cara Ia bertindak selalu tidak dapat
diduga, melampaui pemikiran kita, dan akibatnya cara bertindak Allah menuntut
keheranan dan penyembahan. Keheranan sangat penting!
Kita
harus terus-menerus berjuang melawan segala jenis penyembahan berhala; bukan
hanya hal-hal duniawi, yang seringkali berasal dari keangkuhan, seperti nafsu
akan kesuksesan, egoisme, keserakahan akan uang – jangan lupa iblis masuk
“melalui kantong”, godaan karirisme; tetapi juga bentuk-bentuk penyembahan
berhala yang disamarkan sebagai spiritualitas – spiritualitasku :
gagasan-gagasan keagamaanku, keterampilan pastoralku ... Marilah kita waspada,
jangan sampai kita menemukan bahwa kita menempatkan diri kita sebagai pusatnya
dan bukan Dia. Dan marilah kita kembali menyembah. Semoga penyembahan menjadi
pusat perhatian kita sebagai para gembala : marilah kita meluangkan waktu
setiap hari untuk menjalin keintiman dengan Yesus Sang Gembala yang baik, dan
menyembah Dia yang ada di dalam tabernakel. Semoga Gereja menyembah : di setiap
keuskupan, di setiap paroki, di setiap komunitas, marilah kita menyembah Tuhan!
Hanya dengan cara inilah kita akan berpaling kepada Yesus dan bukan kepada diri
kita. Karena hanya melalui penyembahan yang teduh Sabda Allah akan hidup dalam
perkataan kita; hanya di hadirat-Nya kita akan dimurnikan, diubah rupa, dan
diperbarui oleh api Roh-Nya. Saudara-saudari, marilah kita menyembah Tuhan
Yesus!
Kata
kerja kedua adalah melayani. Mengasihi berarti melayani. Dalam perintah agung,
Kristus mengikat Allah dan sesama sehingga mereka tidak akan pernah terputus.
Tidak akan ada pengalaman keagamaan sejati yang tuli terhadap jeritan dunia.
Tidak ada kasih kepada Allah tanpa kepedulian dan keprihatinan terhadap sesama
kita; jika tidak, kita berisiko menjadi orang Farisi. Kita mungkin punya banyak
gagasan bagus tentang bagaimana mereformasi Gereja, tetapi marilah kita ingat:
menyembah Allah dan mengasihi saudara-saudari kita dengan kasih-Nya, itulah
reformasi besar dan abadi. Menjadi Gereja yang menyembah dan Gereja yang
melayani, membasuh kaki umat manusia yang terluka, mendampingi mereka yang
rapuh, lemah dan terpinggirkan, pergi keluar dengan penuh kasih menjumpai
orang-orang miskin. Kita mendengar pada Bacaan Pertama bagaimana Allah
memerintahkan hal ini.
Saudara-saudari,
saya memikirkan para korban kekejaman perang; penderitaan para migran,
penderitaan tersembunyi dari mereka yang hidup sendirian dan dalam kemiskinan;
mereka yang tertimpa beban hidup; mereka yang tidak punya air mata lagi untuk
ditumpahkan, mereka yang tidak punya suara. Dan saya juga memikirkan betapa
seringnya, di balik kata-kata manis dan janji-janji menarik, orang
dieksploitasi atau tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mencegah hal
tersebut terjadi. Mengeksploitasi kelompok yang rentan adalah dosa besar, dosa
besar yang merusak persaudaraan dan menghancurkan masyarakat. Sebagai murid Yesus,
kita ingin membawa ke dunia jenis ragi yang berbeda, yaitu ragi Injil.
Mendahulukan Allah dan, bersama-sama Dia, orang-orang yang sangat Ia kasihi:
kaum miskin dan kaum lemah.
Saudara-saudari
sekalian, inilah Gereja yang mana kita dipanggil untuk “memimpikan” : sebuah
Gereja yang menjadi pelayan bagi semua orang, pelayan bagi saudara-saudari kita
yang terkecil. Gereja yang tidak pernah menuntut pengakuan atas “perilaku
baik”, tetapi menerima, melayani, mengasihi, dan mengampuni. Sebuah Gereja
dengan pintu terbuka yang merupakan surga belas kasihan. “Orang yang penuh
belas kasihan”, kata Yohanes Krisostomus, “adalah seperti pelabuhan bagi mereka
yang membutuhkan; dan pelabuhan menerima semua orang yang melarikan diri dari
kapal karam, dan membebaskan mereka dari bahaya, baik mereka yang jahat maupun
yang baik; siapapun mereka yang berada dalam bahaya akan diterima di tempat
perlindungan. Demikian pula, jika kamu melihat seseorang terdampar di darat
karena kemiskinan, janganlah kamu menghakiminya atau menuntut penjelasan,
tetapi singkirkanlah kesusahannya” (In
pauperem Lazarum, II, 5).
Saudara-saudara,
Sidang Umum Sinode kini telah selesai. Dalam “percakapan Roh” ini, kita telah
mengalami kehadiran Tuhan yang penuh kasih dan menemukan indahnya persaudaraan.
Kita telah saling mendengarkan dan yang terpenting, dalam keberagaman latar
belakang dan keprihatinan, kita telah mendengarkan Roh Kudus. Saat ini kita
tidak melihat hasil proses ini sepenuhnya, tetapi dengan pandangan jauh ke
depan kita memandang cakrawala yang terbuka di hadapan kita. Tuhan akan
membimbing kita dan membantu kita menjadi Gereja yang semakin sinodal dan
misioner, Gereja yang menyembah Allah dan melayani orang-orang di zaman kita,
yang berjalan maju untuk membawa sukacita Injil yang menghibur kepada semua
orang.
Saudara-saudari,
saya berterima kasih atas semua yang telah kamu lakukan selama Sinode dan atas
semua yang terus kamu lakukan. Terima kasih atas perjalanan yang telah kita
lalui bersama, atas pendengaran dan dialogmu. Sebagai ungkapan terima kasih,
saya juga ingin memanjatkan doa untuk kita semua: semoga kita bertumbuh dalam
penyembahan kita kepada Allah dan dalam pelayanan kita kepada sesama. Menyembah
dan melayani. Semoga Tuhan menyertai kita. Marilah kita berjalan maju dengan sukacita!
_____
(Peter Suriadi -
Bogor, 29 Oktober 2023)