Yesus
akan memasuki kota Nain; para murid dan “orang banyak yang
berbondong-bondong" pergi bersama Dia (bdk. Luk 7:11). Saat Ia mendekati
pintu gerbang kota, arak-arakan lain sedang dilakukan, tetapi dengan arah
berlawanan : arak-arakan tersebut akan menguburkan anak tunggal seorang ibu
yang sudah menjanda. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa, “Ketika Tuhan melihat
janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan” (Luk 7:13). Yesus melihat
apa yang terjadi dan hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Benediktus XVI, yang
kita peringati hari ini, bersama dengan para kardinal dan para uskup yang
meninggal dalam setahun terakhir, menulis dalam dnsiklik pertamanya bahwa
program Yesus adalah “hati yang melihat” (Deus
Caritas Est, 31). Berapa kali beliau mengingatkan kita iman pada dasarnya
bukanlah sebuah gagasan yang harus dipahami atau sebuah aturan moral yang harus
diikuti, tetapi sesosok pribadi yang harus dijumpai. Pribadi tersebut adalah
Yesus Kristus, yang hati-Nya berdebar karena mengasihi kita, yang mata-Nya
memandang iba penderitaan kita.
Tuhan
berhenti di hadapan tragedi kematian. Penting untuk dicatat bahwa inilah
pertama kalinya Injil Lukas menyebut Yesus “Tuhan” : “tergeraklah hati Tuhan
oleh belas kasihan”. Ia disebut Tuhan – Allah yang menjalankan kekuasaan atas
segala sesuatu – karena Ia menunjukkan belas kasihan kepada seorang ibu yang
menjanda yang kehilangan, bersamaan dengan putra tunggalnya, alasan untuk
hidup. Di sini kita melihat Allah kita, yang keilahiannya bersinar saat kita
merasakan duka dan duka, karena hati-Nya penuh belas kasihan. Kebangkitan
pemuda itu, karunia kehidupan yang mengalahkan kematian, bersumber tepat di
sana, dalam belas kasihan Tuhan, yang tergerak oleh kematian, penyebab terbesar
penderitaan kita. Betapa pentingnya menyampaikan juga rasa belas kasih kepada
semua orang yang berduka atas kematian orang-orang yang mereka cintai!
Belas
kasihan Yesus nyata. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa “sambil menghampiri
usungan itu Ia menyentuhnya” (bdk. Luk 7:14). Ia tidak perlu melakukan hal itu,
dan bagaimanapun juga, pada masa itu, menyentuh jenazah orang yang sudah
meninggal dianggap najis, menajiskan orang yang melakukannya. Tetapi Yesus
tidak peduli akan hal itu; belas kasihan-Nya membuat-Nya menjangkau semua orang
yang menderita. Itulah “gaya” Allah, "gaya" kedekatan, kasih sayang,
dan kelembutan. Dan satu dari sedikit kata. Kristus tidak mulai berkhotbah
tentang kematian, tetapi sekadar memberitahu ibu pemuda tersebut : “Jangan
menangis!” (Luk 7:13). Mengapa? Apakah menangis itu salah? Tidak, Yesus sendiri
menangis dalam keempat Injil. Ia berkata kepada ibunya, “Jangan menangis”,
karena bersama Tuhan air mata tidak bertahan selamanya; air mata memiliki
kesudahan. Yesus adalah Allah yang, seperti dinubuatkan Kitab Suci, akan “menelan
maut” dan “menghapuskan air mata dari semua muka” (Yes 25:8; bdk. Why 21:4). Ia
telah menghapuskan air mata kita dengan menjadikan air mata-Nya.
Di
sini, kita melihat belas kasihan Tuhan, yang menuntun-Nya untuk membangkitkan
anak laki-laki itu. Tetapi di sini, tidak seperti mukjizat lain yang
dilakukan-Nya, Yesus tidak terlebih dahulu meminta sang ibu untuk beriman.
Mengapa mukjizat yang luar biasa dan tidak biasa ini terjadi? Karena mukjizat
tersebut ada hubungannya dengan anak yatim dan janda, mereka yang menurut Kitab
Suci, dan juga orang asing, dianggap paling kesepian dan terlantar, tidak punya
siapa pun yang bisa dipercaya selain Allah. Janda, anak yatim, orang asing :
inilah orang-orang yang paling dekat dan berkenan kepada Allah. Kita tidak bisa
dekat dan berkenan kepada Allah jika kita mengabaikan mereka yang menikmati
perlindungan dan kasih-Nya yang istimewa, karena suatu hari nanti merekalah
yang akan menyambut kita di surga : janda, anak yatim, orang asing.
Dengan
juga mempertimbangkan hal-hal tersebut, kita menemukan poin penting lainnya,
yang akan saya rangkum menjadi kata kedua hari ini : kerendahan hati. Sebab
anak yatim dan janda adalah orang-orang yang “rendah hati” yang paling unggul :
mereka yang meletakkan seluruh pengharapan mereka pada Tuhan dan bukan pada
diri mereka, telah menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan mereka. Mereka
tidak lagi mengandalkan kekuatan mereka sendiri, tetapi Dia dan perhatian-Nya
yang tiada henti. Dengan menolak segala anggapan bahwa mereka bisa mencukupi
diri sendiri, mereka menyadari membutuhkan Allah dan meletakkan kepercayaan
mereka kepada-Nya. Orang-orang yang rendah hati, yang miskin di hadapan Allah,
yang mengungkapkan kepada kita “kekecilan” yang sangat berkenan kepada Tuhan,
jalan yang menuntun ke surga. Allah mencari orang-orang yang rendah hati, yaitu
orang-orang yang berharap kepada-Nya serta bukan pada diri dan rencana mereka.
Saudara-saudari terkasih, inilah kerendahan hati Kristiani, yang bukan sekadar
keutamaan di antara keutamaan-keutamaan lain, tetapi sifat dasar kehidupan :
meyakini diri kita membutuhkan Allah, memberikan ruang bagi-Nya dan meletakkan
segenap kepercayaan kita pada-Nya. Inilah kerendahan hati Kristiani.
Allah
berkenan terhadap kerendahan hati karena kerendahan hati memungkinkan-Nya
berinteraksi dengan kita. Terlebih lagi, Allah berkenan terhadap kerendahan
hati karena Ia sendiri rendah hati. Ia datang kepada kita; Ia merendahkan
diri-Nya; Ia tidak memaksakan diri-Nya; Ia memberi ruang kepada kita. Allah
tidak hanya rendah hati; Ia adalah kerendahan hati itu sendiri. “Tuhan,
Engkaulah kerendahan hati” adalah doa Santo Fransiskus dari Asisi (bdk. Lodi:
FF 261). Kita berpikir tentang Bapa, yang nama-Nya sepenuhnya mengacu pada
Putra, bukan pada diri-Nya sendiri, dan tentang Putra, yang nama-Nya sepenuhnya
berhubungan dengan Bapa. Allah mengasihi mereka yang tidak menempatkan diri
mereka sebagai pusat: orang yang rendah hati, yang paling mirip dengan-Nya.
Itulah sebabnya, sebagaimana dikatakan Yesus, “Sebab siapa yang meninggikan
diri, akan direndahkan” (Luk 14:11). Saya ingin mengingat kata-kata pertama
yang diucapkan Paus Benediktus tentang dirinya setelah beliau terpilih :
“seorang pekerja yang rendah hati di kebun anggur Tuhan”. Memang benar, umat
Kristiani, khususnya Paus, para kardinal dan para uskup, dipanggil untuk
menjadi pekerja yang rendah hati: melayani, bukan dilayani dan mengutamakan
hasil kebun anggur Tuhan di atas keuntungan pribadi mereka. Menyerahkan diri
kita demi Gereja Yesus sungguh merupakan suatu hal yang baik!
Saudara-saudari,
marilah kita memohon kepada Allah agar memberi kita tatapan penuh kasih dan
kerendahan hati. Semoga kita tidak pernah bosan mengajukan hal ini, karena
melalui belas kasihan dan kerendahan hati Tuhan memberikan kepada kita nyawa-Nya,
yang mengatasi maut. Marilah kita mendoakan saudara-saudara kita tercinta yang
telah meninggal dunia. Hati mereka bersifat pastoral, penuh kasih sayang dan
rendah hati, karena Tuhan adalah pusat kehidupan mereka. Di dalam Dia semoga
mereka menemukan kedamaian abadi. Semoga mereka bersukacita bersama Maria, yang
ditinggikan Tuhan yang melihat kerendahan hatinya (bdk. Luk 1:48).
____
(Peter
Suriadi - Bogor, 3 November 2023)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.