Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KRISMA 28 Maret 2024 : PENYESALAN DAN KESETIAKAWANAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

“Mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya” (Luk 4:20). Bagian Injil ini sangat mengejutkan. Bagian Injil ini selalu membuat kita membayangkan saat hening ketika setiap mata tertuju pada Yesus, dalam bauran keheranan dan keragu-raguan. Tetapi, kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Yesus menyingkapkan pengharapan palsu warga kampung asal-Nya, mereka “sangat marah” (Luk. 4:28), lalu bangkit dan menghalau-Nya ke luar kota. Mereka memang telah memandang Yesus, tetapi hati mereka tidak siap untuk berubah mendengar perkataan-Nya. Mereka kehilangan kesempatan seumur hidup.

 

Malam ini, Hari Kamis Putih, akan memberi kita pertukaran pandangan yang sangat berbeda. Pertukaran tersebut melibatkan Petrus, gembala pertama Gereja kita. Petrus juga awalnya menolak untuk menerima kata-kata yang “menyingkap” yang telah dikatakan Tuhan kepadanya: “Engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Mrk 14:30). Akibatnya, ia “kehilangan pandangan” terhadap Yesus dan menyangkal-Nya saat ayam berkokok. Tetapi kemudian, “berpalinglah Tuhan memandang Petrus” dan ia “teringat bahwa Tuhan telah berkata … dan ia pun pergi ke luar dan menangis dengan sedih” (Luk 22:61-62). Matanya dibanjiri air mata yang keluar dari hati yang terluka, membebaskannya dari pemahaman dan keyakinan dirinya yang keliru. Air mata getir tersebut mengubah hidupnya.

 

Perkataan dan perbuatan Yesus selama tahun-tahun tersebut tidak mengubah pengharapan Petrus, begitu pula pengharapan penduduk Nazaret. Ia juga mengharapkan seorang Mesias politis, penuh kuasa, kuat dan tegas. Karena merasa terguncang saat melihat Yesus yang tidak berdaya dan menyerah pasrah ketika Ia ditangkap, Petrus berkata, “Aku tidak kenal Dia!” (Luk 22:57). Hal tersebut sungguh benar: Petrus tidak mengenal Yesus. Ia baru mulai mengenal-Nya ketika, pada saat kelam penyangkalannya, ia mengeluarkan air mata rasa malu dan air mata pertobatan. Dan ia akan sungguh mengenal Yesus ketika, “merasa sedih karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya, ‘Apakah engkau mengasihi Aku?’”, ia sudi memperkenankan tatapan Tuhan menembus segenap dirinya. Kemudian, dari berkata, “Aku tidak kenal Dia”, ia bisa berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu” (Yoh 21:17).


Saudara-saudara para imam yang terkasih, kesembuhan hati Petrus, kesembuhan sang rasul, kesembuhan sang gembala, terjadi ketika, dilanda kesedihan dan pertobatan, ia memperkenankan dirinya diampuni oleh Yesus. Penyembuhan itu terjadi di tengah air mata, tangisan yang getir, dan kesedihan yang menuntun pada pembaharuan kasih. Oleh karena itu, saya merasa perlu berbagi denganmu beberapa pemikiran mengenai aspek kehidupan rohani yang selama ini agak terabaikan, tetap tetap penting. Bahkan kata yang akan saya gunakan hari ini agak kuno, tetapi layak untuk direnungkan. Kata itu adalah penyesalan.


 

Asal usul istilah ini ada hubungannya dengan penikaman. Penyesalan adalah “penikaman hati” yang menyakitkan dan membangkitkan air mata pertobatan. Di sini, kisah lain kehidupan Santo Petrus dapat membantu kita. Hatinya telah tertikam oleh pandangan dan perkataan Yesus, Petrus, yang sekarang disucikan dan dibakar oleh Roh Kudus, menyatakan pada hari Pentakosta kepada penduduk Yerusalem, “Allah telah membuat Yesus, yang kamu disalibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (bdk. Kis 2:36). Menyadari kejahatan yang telah mereka lakukan dan keselamatan yang sedang ditawarkan Tuhan kepada mereka, hati para pendengarnya “tersayat" (Kis 2:37).

 

Itulah yang dimaksud dengan penyesalan: bukan rasa bersalah yang membuat kita putus asa atau terobsesi dengan ketidaklayakan kita, melainkan “penikaman” bermanfaat yang menyucikan dan menyembuhkan hati. Saat kita mengenali dosa kita, hati kita bisa terbuka terhadap karya Roh Kudus, sumber air hidup yang mengalir dalam diri kita dan membuat kita berlinang air mata. Orang-orang yang bersedia “terbuka kedoknya” dan memperkenankan pandangan Allah menikam hati mereka menerima karunia air mata tersebut, air tersuci setelah air baptis.[1] Inilah kerinduan saya padamu, saudara-saudaraku para imam.

 

Tetapi kita perlu memahami dengan jelas apa artinya menangisi diri kita. Menangisi diri kita bukan berarti menangis karena mengasihani diri kita, sebagaimana sering kita lakukan. Seperti misalnya ketika kita kecewa atau kesal karena harapan kita sirna, ketika kita merasa disalahpahami, bahkan mungkin oleh rekan-rekan imam dan atasan kita. Atau saat kita merasakan kesenangan yang aneh dan tidak wajar saat merenungkan kesalahan yang diterima, mengasihani diri kita, yakin bahwa kita tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, atau takut bahwa masa depan akan terus menghadirkan kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan. Hal ini, sebagaimana diajarkan Santo Paulus kepada kita, adalah “kesedihan duniawi”, dan bukan “kesedihan menurut kehendak Allah”.[2]

 

Sebaliknya, menangisi diri sendiri berarti benar-benar bertobat karena telah membuat Allah sedih karena dosa-dosa kita; menyadari bahwa kita selalu berhutang kepada Allah, mengakui bahwa kita telah menyimpang dari jalan kekudusan dan kesetiaan terhadap kasih Yesus yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kita.[3] Itu berarti melihat ke dalam dan bertobat dari rasa tidak berterima kasih dan ketidakteguhan kita, serta dengan sedih mengakui kepalsuan, ketidakjujuran dan kemunafikan kita. Saudara-saudaraku, kemunafikan klerikal adalah sesuatu yang sering kita alami. Kita perlu mewaspadai kenyataan ini. Dan mengarahkan pandangan kita sekali lagi kepada Tuhan yang tersalib serta memperkenankan diri kita dijamah oleh kasih-Nya yang selalu mengampuni dan membangkitkan, tidak pernah mengecewakan kepercayaan orang-orang yang berharap kepada-Nya. Dengan demikian air mata mengalir deras dan membasahi pipi kita, turun untuk menyucikan hati kita.

 

Penyesalan menuntut usaha, tetapi memberi kedamaian. Penyesalan bukan merupakan sumber kekhawatiran tetapi merupakan kesembuhan jiwa, karena bertindak sebagai balsam atas luka dosa, mempersiapkan kita untuk menerima belaian Tuhan, yang mengubah “hati yang remuk redam dan penuh penyesalan” (Mzm 51:19), setelah dilunakkan oleh air mata. Dengan demikian, penyesalan adalah penawar terhadap “sclerocardia”, yaitu kekerasan hati yang sering dikecam oleh Yesus (bdk. Mrk 3:5; 10:5). Sebab tanpa pertobatan dan kesedihan, hati akan menjadi keras: mula-mula, ia menjadi kaku, tidak sabar terhadap masalah-masalah dan acuh tak acuh terhadap orang lain, kemudian menjadi dingin, tidak berperasaan dan tidak dapat ditembus, kemudian akhirnya berubah menjadi batu. Tetapi seperti tetesan air yang dapat mengikis batu, demikian pula air mata secara perlahan dapat melunakkan hati yang keras. Dengan cara ini, “kesedihan yang baik” secara ajaib menghasilkan rasa manis.

 

Di sini kita dapat mulai melihat mengapa para guru kehidupan rohani menekankan pentingnya penyesalan. Santo Benediktus mengatakan bahwa, “dengan menangis dan meratap setiap hari kita hendaknya mengakukan kepada Allah dosa-dosa masa lalu kita dalam doa”,[4] dan mengamati bahwa “bukan berkat banyak kata-kata doa kita didengarkan dengan murah hati, tetapi berkat kemurnian hati dan air mata penyesalan kita”.[5] Santo Yohanes Krisostomus mencatat bahwa setetes air mata dapat memadamkan kobaran api dosa,[6] sementara Meneladan Kristus mengatakan kepada kita, “Serahkan dirimu kepada penyesalan hati”, karena “melalui keteledoran hati dan mengabaikan kekurangan kita, kita tidak merasakan kesedihan jiwa kita”. [7]Penyesalan adalah penyembuh untuk hal ini, karena penyesalan membawa kita kembali pada kebenaran tentang diri kita, sehingga kedalaman diri kita sebagai orang berdosa dapat mengungkapkan kenyataan yang jauh lebih besar tentang pengampunan kita berkat rahmat – yaitu sukacita diampuni. Maka tidak mengherankan bila Ishak dari Niniwe berkata, “Orang yang melupakan besarnya dosa, ia lupa betapa besarnya kerahiman Allah terhadap dirinya”.[8]

 

Yang pasti, saudara dan saudari terkasih, segenap pembaruan batin lahir dari perjumpaan antara kesengsaraan manusiawi kita dan kerahiman Allah, serta berkembang melalui berlaku miskin di hadapan Allah, yang memungkinkan Roh Kudus memperkaya kita. Di sini juga, kita dapat memikirkan ajaran yang jelas dari banyak guru rohani, termasuk, sekali lagi, Santo Ishak: “Orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka… lebih besar daripada orang-orang yang melalui doa mereka membangkitkan orang mati. Orang-orang yang menangisi dosa-dosa mereka selama satu jam lebih besar daripada orang-orang yang melayani seluruh dunia dengan kontemplasi… Orang-orang yang diberkati dengan pengetahuan diri lebih besar daripada orang-orang yang diberkati dengan penglihatan para malaikat”.[9]

 

Saudara-saudara para imam, marilah kita melihat ke dalam diri kita dan menanyakan pada diri kita apa peran penyesalan dan air mata dalam pemeriksaan hati nurani dan doa-doa kita. Marilah kita bertanya apakah, dengan berlalunya waktu, air mata kita semakin bertambah. Secara alami, semakin tua, semakin sedikit kita menangis. Tetapi dalam kehidupan roh, kita diminta untuk menjadi seperti anak-anak (bdk. Mat 18:3): jika kita tidak menangis, batin kita mengalami kemunduran dan menjadi tua, sedangkan orang-orang yang doanya menjadi lebih sederhana dan mendalam, berpijak pada penyembahan, dan keheranan di hadirat Allah, bertumbuh dan menjadi dewasa. Mereka menjadi tidak terikat pada diri mereka dan lebih terikat pada Kristus. Karena miskin di hadapan Allah, mereka mendekatkan diri kepada orang-orang miskin, orang-orang yang paling dikasihi Allah. Sebagaimana ditulis Santo Fransiskus dari Asisi dalam wasiatnya, orang-orang yang dulu kita jaga jaraknya kini menjadi sahabat kita yang terkasih.[10] Jadi, orang-orang yang merasa menyesal semakin merasakan diri mereka menjadi saudara-saudari bagi semua orang berdosa di dunia, mengesampingkan kesan superioritas dan penilaian yang kejam, serta dipenuhi dengan hasrat membara untuk menunjukkan kasih dan melakukan pemulihan.

 

Saudara-saudara terkasih, aspek lain penyesalan adalah kesetiakawanan. Hati yang patuh, terbebaskan berkat semangat Sabda Bahagia, secara alami cenderung melakukan penyesalan terhadap orang lain. Daripada merasa marah dan tersinggung atas kegagalan saudara-saudari kita, kita malah menangisi dosa-dosa mereka. Terjadi semacam pembalikan, di mana kecenderungan alami untuk memanjakan diri dan tidak supel terhadap orang lain dijungkirbalikkan serta, berkat rahmat Allah, kita menjadi tegas terhadap diri sendiri dan berbelas kasihan terhadap orang lain. Tuhan mencari, terutama dalam diri mereka yang dikuduskan bagi-Nya, pria dan wanita yang meratapi dosa-dosa Gereja dan dunia, dan menjadi pengantara bagi semua orang. Berapa banyak saksi-saksi heroik dalam Gereja yang telah menunjukkan hal ini kepada kita! Kita memikirkan para rahib padang gurun, di Timur dan Barat; pengantaraan yang tiada henti, dalam rintihan dan air mata, Santo Gregorius dari Narek; persembahan para Fransiskan untuk Sang Kasih yang tak berbalas; dan banyak imam yang, seperti sang Pastor dari Ars, menjalani kehidupan penebusan dosa demi keselamatan orang lain. Saudara-saudara terkasih, ini bukan puisi, tetapi berkenaan dengan imamat!

 

Saudara-saudara para imam yang terkasih, dari kita, para gembala-Nya, Tuhan tidak menginginkan kekerasan melainkan kasih, dan air mata bagi mereka yang tersesat. Jika hati kita merasa menyesal, maka situasi sulit, penderitaan dan ketiadaan iman yang kita hadapi sehari-hari akan membuat kita menanggapinya bukan dengan penilaian, tetapi dengan ketekunan dan belas kasihan. Betapa besarnya kebutuhan kita untuk dibebaskan dari kekerasan dan saling tuduh, egoisme dan ambisi, kekakuan dan frustrasi, agar dapat mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah, dan menemukan dalam Dia ketenangan yang melindungi kita dari badai yang mengamuk di sekitar kita! Marilah kita berdoa, menjadi pengantara dan menitikkan air mata bagi orang lain; dengan cara ini, kita akan memperkenankan Tuhan melakukan mukjizat-mukjizat-Nya. Dan kita jangan takut karena Ia pasti akan mengejutkan kita!

 

Pelayanan kita akan membantu dalam hal ini. Hari ini, dalam masyarakat sekuler, kita berisiko menjadi hiperaktif seraya merasa tidak mampu, akibatnya kita kehilangan semangat dan tergoda untuk “menarik dayung”, berlindung dalam keluhan dan kita lupa bahwa Allah jauh lebih besar dari segala masalah kita. Ketika hal itu terjadi, kita menjadi getir dan biang kerok, selalu menjelek-jelekkan dan mengeluh tentang berbagai hal. Sedangkan jika kegetiran dan penyesalan diarahkan bukan kepada dunia melainkan kepada hati kita, maka Tuhan tidak akan lalai mengunjungi dan membangkitkan kita. Itulah tepatnya yang diperintahkan oleh Meneladan Kristus kepada kita: “Jangan menyibukkan diri dengan urusan orang lain, dan jangan terlibat dalam urusan atasanmu. Awasilah dirimu terlebih dahulu, dan tegurlah dirimu, bukan sahabatmu. Jika kamu tidak menikmati kemurahan hati manusia, jangan perkenankan hal itu membuatmu sedih; tetapi anggaplah masalah serius jika kamu tidak bersikap sebaik atau secermat yang kamu lakukan”.[11]

 

Yang terakhir, perkenankan saya menekankan hal penting lainnya: penyesalan bukan karya kita melainkan rahmat, dan oleh karena itu, harus diupayakan dalam doa. Pertobatan adalah karunia Allah dan karya Roh Kudus. Sebagai pertolongan untuk membina semangat pertobatan, saya akan membagikan dua nasihat. Pertama, marilah kita berhenti memandang hidup dan panggilan kita dari segi efisiensi dan hasil langsung, serta terjebak dalam kebutuhan dan harapan saat ini; sebaliknya marilah kita memandang segala sesuatu berdasarkan cakrawala masa lalu dan masa depan yang lebih luas. Masa lalu, dengan mengingat kesetiaan Allah – Allah itu setia –, menyadari pengampunan-Nya dan berlabuh kuat pada kasih-Nya. Masa depan, dengan melihat pada tujuan kekal yang menjadi tujuan panggilan kita, tujuan akhir hidup kita. Memperluas wawasan kita, saudara-saudara terkasih, membantu memperluas hati kita, meluangkan waktu bersama Tuhan dan mengalami penyesalan. Nasihat saya yang kedua mengikuti dari yang pertama. Marilah kita menemukan kembali kebutuhan kita untuk membina doa yang tidak bersifat wajib dan fungsional, tetapi dipilih secara bebas, tenang dan berkepanjangan. Saudara-saudaraku, bagaimana kehidupan doamu? Marilah kita kembali kepada penyembahan. Apakah selama ini kamu telah lupa menyembah Tuhan? Marilah kita kembali ke doa hati. Marilah kita ulangi: Yesus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa. Marilah kita merasakan keagungan Allah bahkan ketika kita merenungkan keberdosaan kita, dan membuka hati kita terhadap kuasa penyembuhan tatapan-Nya. Kemudian kita akan menemukan kembali kebijaksanaan Bunda Gereja yang kudus dengan menjadikan doa kita selalu dimulai dengan perkataan orang miskin yang berseru: Allah, datanglah menolongku!

 

Saudara-saudara terkasih, perkenankan saya mengakhiri dengan kembali ke Santo Petrus dan air matanya. Altar yang kita lihat di atas makamnya mengingatkan kita betapa seringnya kita para imam – yang setiap hari berkata, “Terimalah dan makanlah: inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu” – mengalami kekecewaan dan menyedihkan Dia yang sangat mengasihi kita sehingga menjadikan tangan kita sebagai sarana kehadiran-Nya. Maka sebaiknya kita mengulangi doa-doa yang kita ucapkan dalam keheningan: “Tuhan, dengan rendah hati dan jiwa yang menyesal, terimalah kami", dan “Tuhan, basuhlah aku dari kesalahanku, dan sucikanlah aku dari dosaku”. Tetapi dalam segala hal, saudara-saudara, kita terhibur oleh kepastian yang dibicarakan dalam liturgi hari ini: Tuhan, yang dikuduskan oleh pengurapan-Nya (bdk. Luk 4:18), datanglah “merawat orang-orang yang remuk hati” (Yes 61:1). Hati yang remuk pasti bisa diikat dan disembuhkan oleh Yesus. Terima kasih, para imam terkasih, atas hatimu yang terbuka dan patuh. Terima kasih atas seluruh kerja keras dan air matamu. Terima kasih telah menghadirkan mukjizat kerahiman Allah. Selalu mengampuni. Bermurah hatilah. Bawalah kerahiman Allah kepada saudara-saudari kita di dunia dewasa ini. Para imam yang terkasih, semoga Tuhan menghiburmu, menguatkanmu dan memberi ganjaran kepadamu. Terima kasih!

____

 

(Peter Suriadi – Bogor, 28 Maret 2024)



[1]“Gereja memiliki air dan air mata: air: air baptis dan air mata pertobatan (Santo Ambrosius, Epistula extra collectionem, I, 12).

[2]Sebab, kesedihan menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi kesedihan yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).

[3]Bdk. Santo Yohanes Krisostomus, De compunctione, I, 10.

[4]Aturan, IV, 57.

[5]Idem, XX, 3.

[6]Bdk. De poenitentia, VII, 5.

[7]Bab. XXI.

[8] Homili Pertapa (III Kol.), XII.

[9]Homili Pertapa (I kol.), XXXIV (Yunani).

[10]Bdk. FF 110.

[11]Bab. XXI.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.