Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XIV DI PIAZZA UNITÀ D'ITALIA (TRIESTE) 7 Juli 2024 : KITA MEMBUTUHKAN SKANDAL IMAN

Bacaan Ekaristi : Yeh. 2:2-5; Mzm. 123:1-2a,2bcd,3-4; 2Kor. 12:7-10; Mrk. 6:1-6.

 

Untuk menghidupkan kembali harapan di dalam hati yang remuk redam dan menopang beban perjalanan, Allah selalu membangkitkan para nabi di antara umat-Nya. Namun, sebagaimana diceritakan dalam Bacaan Pertama hari ini melalui kisah Nabi Yehezkiel, mereka sering kali menjumpai bangsa yang memberontak, “keturunan yang keras kepala dan tegar hati” (Yeh 2:4), dan ditolak.

 

Yesus pun mengalami hal yang sama seperti para nabi. Ia pulang ke Nazaret, kampung halaman-Nya, di antara orang-orang yang sebaya dengan-Nya, namun Ia tidak dikenali dan bahkan ditolak: “Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-orang milik-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:11). Bacaan Injil memberitahu kita bahwa Yesus “menjadi skandal bagi mereka” (Mrk 6:3), namun kata “skandal” tidak mengacu pada sesuatu yang cabul atau tidak senonoh seperti yang kita gunakan saat ini; skandal berarti “batu sandungan”, sebuah hambatan, sesuatu yang menghalangi dan merintangimu untuk melangkah lebih jauh. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: hambatan apa yang menghalangi kita untuk percaya kepada Yesus?

 

Marilah kita bertanya pada diri kita: hambatan apa yang menghalangi kita untuk percaya kepada Yesus?

 

Mendengarkan diskusi orang-orang sekampung-Nya, kita melihat bahwa mereka hanya berhenti pada sejarah duniawi-Nya, pada asal usul keluarga-Nya, sehingga mereka tidak dapat memahami bagaimana hikmah tersebut, dan bahkan kemampuan untuk melakukan mukjizat, dapat datang dari putra Yusuf si tukang kayu; yaitu dari orang biasa. Skandalnya adalah kemanusiaan Yesus. Kendala yang menghalangi orang-orang ini untuk mengenali kehadiran Allah di dalam diri Yesus adalah kenyataan bahwa Ia manusiawi, hanya putra Yusuf si tukang kayu: Bagaimana Allah, Sang Maha Kuasa, menyatakan diri-Nya dalam kerapuhan daging manusiawi? Bagaimana mungkin Allah yang maha kuasa dan kuat, yang menciptakan bumi dan membebaskan umat-Nya dari perbudakan, menjadi cukup lemah datang dalam daging dan merendahkan diri-Nya untuk membasuh kaki para murid-Nya?

 

Saudara-saudara, inilah skandalnya: iman yang berlandaskan Allah yang manusiawi, yang merendahkan diri-Nya terhadap umat manusia, yang peduli terhadapnya, yang tergerak oleh luka-luka kita, yang menanggung keletihan kita, yang laksana roti yang dipecah-pecahkan bagi kita. Allah yang kuat dan berkuasa, yang ada di sampingku dan memuaskanku dalam segala hal adalah hal yang menarik; Allah yang lemah, yang wafat di kayu salib karena mengasihi serta memintaku mengatasi segenap keegoisan dan mempersembahkan hidupku demi keselamatan dunia, adalah Allah yang tidak nyaman.

 

Tetapi, saat kita berdiri di hadapan Tuhan Yesus dan menatap tantangan-tantangan yang menghadang kita, banyaknya isu-isu sosial dan politik yang dibahas bahkan dalam Pekan Sosial ini, kehidupan nyata masyarakat kita dan perjuangan mereka, kita dapat mengatakan bahwa inilah apa yang persisnya kita butuhkan saat ini: skandal iman. Bukan keagamaan yang tertutup, yang menengadah ke surga tanpa mempedulikan apa yang terjadi di bumi dan merayakan liturgi di Bait Suci namun melupakan debu yang beterbangan di jalan-jalan kita. Sebaliknya, kita membutuhkan skandal iman, iman yang berakar pada Allah yang menjadi manusia dan, oleh karena itu, iman yang manusiawi, iman daging, yang memasuki sejarah, yang menyentuh kehidupan orang-orang, yang menyembuhkan hati yang remuk redam, yang menjadi ragi bagi kita semua. harapan dan benih sebuah dunia baru.

 

Iman inilah yang membangunkan hati nurani dari kelesuan, yang meletakkan jarinya dalam luka-luka masyarakat, yang menimbulkan pertanyaan tentang masa depan umat manusia dan sejarah; iman yang gelisah yang membantu kita mengatasi keadaan biasa-biasa saja dan kelambanan hati, yang menjadi duri dalam daging masyarakat yang sering dibius dan dibingungkan oleh konsumerisme. Terutama, iman yang mematahkan perhitungan keegoisan manusiawi, mencela kejahatan, menunjukkan ketidakadilan, mengganggu rencana orang-orang yang, dalam bayang-bayang kekuasaan, mempermainkan kehidupan kaum lemah.

 

Seorang penyair dari kota ini, yang menggambarkan dalam sebuah lirik kepulangannya yang biasa dilakukan pada malam hari, mengatakan bahwa ia melintasi jalan yang agak gelap, sebuah tempat pembusukan di mana orang-orang dan barang-barang di pelabuhan adalah “detritus”, yaitu sisa-sisa umat manusia; tetapi di sini, ia menulis, “saat lewat, aku menemukan kerendahan hati yang tak terbatas,” karena pelacur dan pelaut, perempuan yang suka bertengkar dan tentara, “semuanya adalah makhluk yang hidup dan menderita; di dalam diri mereka, seperti di dalam diriku, Tuhan mencetuskan” (U. SABA, “Città vecchia,” dalam Il canzoniere (1900-1954) Edizione definitiva, Torino, Einaudi, 1961).

 

Dan kita, yang kadang-kadang merasa mengalami skandal karena begitu banyak hal-hal kecil yang tidak perlu, sebaiknya bertanya pada diri kita: Mengapa kita tidak merasa mengalami skandal ketika menghadapi kejahatan yang merajalela, kehidupan yang dipermalukan, masalah perburuhan, dan penderitaan para migran?

 

Janganlah kita lupa: Allah tersembunyi di sudut-sudut kehidupan dan kota-kota kita yang gelap, kehadiran-Nya terungkap tepat di wajah-wajah yang ditandai dengan penderitaan dan di mana kemerosotan tampak merajalela. Ketidakterbatasan Allah tersembunyi dalam kesengsaraan manusia, Allah menggerakkan dan persisnya menjadi kehadiran yang bersahabat dalam daging yang terluka dari orang-orang yang paling hina, yang terlupakan, dan terlantar. Dan kita, yang kadang-kadang merasa mengalami skandal hal-hal kecil yang tidak perlu, sebaiknya bertanya pada diri kita sendiri: Mengapa kita tidak merasa mengalami skandal ketika menghadapi kejahatan yang merajalela, kehidupan yang dipermalukan, masalah perburuhan, dan penderitaan para migran? Mengapa kita tetap acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap ketidakadilan yang terjadi di dunia? Mengapa kita tidak mencamkan situasi para tahanan, yang bahkan dari kota Trieste ini terdengar seperti jeritan kesedihan?

 

Sahabat-sahabat terkasih, Yesus menghidupi nubuat kehidupan sehari-hari dalam daging-Nya, memasuki kehidupan sehari-hari dan kisah orang-orang, mewujudkan belas kasihan Allah di dalam lingkup kemanusiaan yang rapuh dan terluka. Dan oleh karena itu, sebagian orang merasa mengalami skandal oleh-Nya, Ia menjadi penghalang, Ia ditolak bahkan sampai diadili dan dihukum; tetapi, Ia tetap setia pada perutusan-Nya, Ia tidak bersembunyi di balik ambiguitas, tidak berkompromi dengan nalar kekuasaan politik dan agama. Ia menjadikan hidup-Nya sebagai persembahan kasih kepada Bapa. Demikian pula, kita umat Kristiani dipanggil untuk menjadi nabi dan saksi Kerajaan Allah, dalam segala situasi yang kita jalani, di setiap tempat yang kita huni.

 

Dari Kota Trieste ini, menghadap Eropa, sebuah persimpangan bangsa-bangsa dan budaya, sebuah perbatasan, marilah kita memupuk impian peradaban baru yang berlandaskan perdamaian dan persaudaraan; janganlah kita merasa mengalami skandal oleh Yesus tetapi, sebaliknya, marilah kita marah pada segenap situasi di mana kehidupan direndahkan, dilukai, dan dibunuh; marilah kita membawa nubuat Injil ke dalam daging kita, dengan pilihan-pilihan kita bahkan sebelum kata-kata kita. Dan kepada Gereja Trieste ini, saya ingin mengatakan: Majulah! Teruslah berada di garis depan untuk mewartakan Injil pengharapan, terutama kepada mereka yang datang dari jalur Balkan dan kepada semua orang, baik secara jasmani maupun rohani, yang perlu diberi dorongan dan penghiburan. Marilah kita berkomitmen bersama: karena dengan memahami bahwa kita dikasihi oleh Bapa, kita dapat hidup sebagai saudara-saudari bagi semua orang.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Juli 2024)