“Siapa
saja yang menyebabkan salah satu dari yang kecil di antara mereka yang percaya
kepada-Ku ini, berbuat dosa, lebih baik baginya jika sebuah batu giling
diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” (Mrk 9:42). Dengan
kata-kata ini, yang ditujukan kepada para murid-Nya, Yesus memperingatkan
tentang bahaya skandal, yaitu menghalangi jalan dan menyakiti kehidupan
“orang-orang kecil”. Sebuah peringatan keras yang memanggil kita untuk berhenti
sejenak dan merenung. Saya ingin melakukannya bersamamu, dalam terang teks-teks
Kitab Suci lainnya, dengan melihat tiga kata kunci: keterbukaan, persekutuan,
dan kesaksian.
Marilah
kita mulai dengan keterbukaan. Baik Bacaan Pertama (Bil. 11:25-29) maupun
Bacaan Injil (Mrk. 9:38-43,45,47-48) berbicara tentang Roh Kudus bertindak
bebas. Dalam kisah pertama, Roh menganugerahkan karunia bernubuat tidak hanya
kepada para tua-tua yang berkumpul bersama Musa di kemah pertemuan, tetapi juga
kepada dua orang yang masih tinggal di perkemahan.
Peristiwa
ini membuat kita merenung. Awalnya, ketidakhadiran kedua orang itu dari
kelompok orang yang dicatat merupakan penyebab skandal. Namun, setelah Roh
Kudus turun atas mereka, skandalnya adalah melarang mereka menjalankan
perutusan yang telah mereka terima. Musa, seorang yang rendah hati dan
bijaksana, memahami hal ini, serta menanggapi dengan pikiran dan hati yang
terbuka: "Ah, kalau saja seluruh umat TUHAN menjadi nabi, oleh karena
TUHAN memberi Roh-Nya kepada mereka!" (Bil 11:29). Sungguh sebuah wawasan
yang indah!
Kata-kata
bijak ini menggambarkan apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil (bdk. Mrk
9:38-43, 45, 47-48). Kita mendapati para murid di Kapernaum melarang seseorang
mengusir setan demi nama Sang Guru karena — menurut mereka — “ia bukan pengikut
kita” (Mrk 9:38), yang berarti, “ia bukan bagian dari kelompok kita”. Mereka
beralasan seperti ini: “Siapa yang tidak mengikuti kita, ia bukan ‘salah
seorang dari kita’, ia tidak dapat mengadakan mukjizat, sebab ia tidak berhak
melakukannya”. Sekali lagi, mereka terkejut dengan tanggapan Yesus. Yesus
selalu mengejutkan kita. Ia mengejutkan dan menegur mereka serta mengajak
mereka untuk melihat melampaui cara pandang mereka dalam memahami berbagai hal;
Ia mengajak mereka untuk tidak “diskandalisasi” oleh kebebasan Allah. Ia
berkata kepada mereka, “Jangan kamu cegah dia… Siapa tidak melawan kita, ia ada
di pihak kita” (Mrk 9:39-40).
Kita
harus mempertimbangkan dengan saksama kedua kisah tersebut, kisah Musa dan
kisah Yesus karena keduanya berlaku bagi kita dan bagi kehidupan kristiani
kita. Sesungguhnya, berdasarkan pembaptisan, kita semua telah menerima
perutusan dalam Gereja. Perutusan ini adalah karunia dan bukan alasan untuk
bermegah. Komunitas orang percaya bukanlah lingkaran dari beberapa orang
terpilih yang memiliki hak istimewa; komunitas ini adalah keluarga dari
orang-orang yang diselamatkan. Kita telah diutus ke dunia untuk memberitakan
Injil bukan berdasarkan jasa kita, tetapi oleh kasih karunia Allah. Meskipun
kita memiliki keterbatasan dan dosa, Allah terus menunjukkan belas kasihan dan
kesetiaan-Nya kepada kita, sebagai Bapa yang penuh kasih yang melihat dalam
diri kita apa yang tidak dapat kita lihat. Karena itu, Ia memanggil kita,
mengutus kita, dan dengan sabar menyertai kita hari demi hari.
Jika
kita ingin bekerja sama dengan penuh kasih dan penuh perhatian dengan Roh yang
bertinndak bebas tanpa menjadi sumber skandal atau hambatan bagi orang-orang di
sekitar kita melalui kesombongan atau kekakuan kita, kita harus melaksanakan
perutusan kita dengan kerendahan hati, rasa syukur, dan sukacita. Kita
hendaknya tidak menaruh dendam terhadap orang lain karena mampu melakukan apa
yang kita lakukan, tetapi bersukacita bahwa kerajaan Allah dengan demikian
didorong untuk bertumbuh hingga tiba saatnya kita dipersatukan dalam pelukan
Bapa.
Hal
ini membawa kita kepada kata berikutnya: persekutuan. Santo Yakobus berbicara
tentang hal ini dalam Bacaan Kedua (Yak 5:1-6) dengan menggunakan dua gambaran
yang jelas: kekayaan yang merusak (bdk. ayat 3) dan protes para penuai yang
telah sampai ke telinga Tuhan (bdk. ayat 4). Ia mengingatkan kita bahwa
satu-satunya jalan menuju kehidupan adalah jalan penyerahan diri, jalan kasih
yang menyatukan melalui pemberian diri. Jalan keegoisan menghasilkan pikiran tertutup,
tembok dan rintangan — kita dapat menyebutnya “skandal” — yang membelenggu kita
pada hal-hal materi serta memisahkan kita dari Allah dan saudara-saudari kita.
Keegoisan,
seperti segala sesuatu yang menghalangi kasih, adalah “skandal” karena ia meremukkan
orang-orang kecil. Ia merendahkan martabat orang-orang dan menekan jeritan
orang-orang yang tertindas (bdk. Mzm 9:12). Ini adalah masalah pada zaman Santo
Paulus dan masih terjadi hingga saat ini. Apa yang akan terjadi jika kita
meletakkan kepentingan pribadi dan mentalitas pasar sebagai satu-satunya
landasan bagi komunitas dan individu (bdk. Evangelii Gaudium, 54-58)? Tidak
akan ada lagi ruang bagi orang-orang yang membutuhkan, tidak ada belas kasihan
bagi orang-orang yang melakukan kesalahan, tidak ada bela rasa bagi orang-orang
yang menderita dan yang hidupnya tidak dapat berkembang. Hal-hal ini tidak akan
mungkin bagi mereka. Mari kita pikirkan apa yang terjadi pada "anak-anak
kecil" yang menjadi korban skandal, terluka, dilecehkan oleh mereka yang
seharusnya merawat mereka. Marilah kita pikirkan luka-luka yang menyakitkan dan
ketidakberdayaan yang dirasakan terutama oleh para korban, tetapi juga keluarga
dan komunitas mereka. Dengan hati dan pikiran, saya memikirkan kisah beberapa
"anak-anak kecil" yang saya temui beberapa hari yang lalu. Saya
mendengarkan mereka. Saya merasakan penderitaan mereka berasal dari pelecehan.
Saya ingin mengulanginya di sini: ada ruang untuk semua orang, semua orang,
semua orang dalam Gereja tetapi kita semua akan dihakimi. Tidak ada ruang untuk
pelecehan. Tidak ada ruang untuk menutupi pelecehan. Saya mohon kepada semua
orang: jangan tutupi pelecehan! Saya mohon kepada para uskup: jangan tutupi
pelecehan! Mintalah pertanggungjawaban kepada para pelaku pelecehan, tetapi
bantulah mereka mengatasi penyakit ini. Kita tidak boleh menyembunyikan hal-hal
buruk yang terjadi. Hal-hal itu harus diungkapkan agar kita mengetahuinya.
Beberapa orang yang dilecehkan melakukannya dengan berani. Kita harus
mengetahuinya. Para pelaku pelecehan harus dimintai pertanggungjawaban terlepas
dari status mereka: awam, imam, atau uskup. Mereka harus dimintai
pertanggungjawaban.
Sabda
Allah jelas. Protes para pemanen dan jeritan orang-orang yang menderita tidak
dapat diabaikan. Kita tidak dapat begitu saja meniadakannya, seolah-olah nada
yang tidak selaras dalam sebuah konser yang sempurna yang dimainkan di dunia
yang sempurna. Kita tidak dapat meredam jeritan mereka melalui upaya bantuan
sosial yang dangkal. Mereka adalah suara Roh yang hidup karena mereka
mengingatkan kita bahwa kita semua adalah orang berdosa yang malang – saya yang
pertama di antara mereka. Mereka yang telah dilecehkan adalah jeritan yang naik
ke surga, jeritan yang menyentuh jiwa kita dan membuat kita merasa malu sambil
memanggil kita untuk bertobat. Kita tidak boleh mencekik suara kenabian ini
atau membungkamnya dengan ketidakpedulian kita. Marilah kita mendengarkan apa
yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil: Cungkillah matamu yang menyesatkan
yang memalingkan muka dari orang-orang yang membutuhkan! Penggallah tanganmu
yang menyesatkan karena terkepal untuk menyembunyikan hartamu dan menyimpannya
di dalam sakumu! Nenek saya selalu berkata: "Iblis masuk melalui
saku". Juga tangan yang melakukan pelecehan seksual, penyalahgunaan
kekuasaan, penyalahgunaan hati nurani terhadap orang-orang yang lemah. Betapa
banyak kasus pelecehan yang terjadi dalam sejarah kita, dalam masyarakat kita!
Enyahlah dari hadapan-Ku, kaki-kaki yang berlari cepat yang memalukan itu,
bukannya mendekati orang-orang yang menderita, malahan menghindari mereka dan
menjauh! Kita harus meninggalkan mentalitas ini! Tidak ada yang baik atau kokoh
yang dapat dibangun di atasnya! Ada sebuah pertanyaan yang suka saya tanyakan
kepada umat: "Apakah kamu memberi sedekah?" - "Ya, Bapa,
ya" - "Jadi katakan kepadaku, ketika kamu memberi sedekah, apakah
kamu menyentuh tangan orang-orang yang membutuhkan atau apakah kamu
melemparkannya kepada mereka dan menjaga jarak? Apakah kamu menatap mata
orang-orang yang menderita?". Marilah kita pikirkan hal ini.
Jika
kita ingin menabur benih untuk masa depan, juga terkait isu sosial dan ekonomi,
akan sangat membantu jika kita meletakkan Injil belas kasih sebagai dasar
pilihan kita. Yesus adalah belas kasihan. Kita semua adalah penerima manfaat
dari belas kasihan-Nya. Jika tidak, monumen-monumen kemewahan kita, betapa pun
tampak mengesankan, tidak akan lebih dari sekadar raksasa berkaki tanah liat
(bdk. Dan 2:31-45). Janganlah kita menipu diri sendiri: tanpa kasih, tidak ada
yang bertahan lama. Segala sesuatu lenyap dan hancur, dan kita dibiarkan
sebagai tawanan kehidupan yang fana, kosong, dan tidak berarti di dunia yang
munafik. Dunia ini tidak memiliki kredibilitas apa pun meskipun tampak depannya
demikian. Mengapa? Karena dunia ini telah membuat orang-orang kecil
terskandalisasi.
Sampailah
kita pada kata yang ketiga: kesaksian. Sejarah Gereja Belgia kaya akan teladan
kekudusan. Marilah kita memikirkan Santo Gudula, santo pelindung negara ini
(650-712), Santo Guy dari Anderlecht, peziarah dan sahabat orang miskin
(+1012), Santo Damien de Veuster, yang lebih dikenal sebagai Damien dari
Molokai, rasul bagi orang kusta (1840-1889), dan banyak misionaris Belgia yang
telah mewartakan Injil di berbagai belahan dunia selama berabad-abad, terkadang
sampai mengorbankan nyawa mereka.
Kesaksian
seorang biarawati Karmelit juga berkembang di negeri yang subur ini: Anna dari
Jesus, Anna de Lobera, yang beatifikasinya kita rayakan hari ini. Dalam Gereja
pada masanya, perempuan ini merupakan salah satu tokoh utama gerakan reformasi
besar. Ia mengikuti jejak seorang "raksasa jiwa", Teresa dari Avila,
dan membantu menyebarkan cita-citanya ke seluruh Spanyol, Prancis, di sini, di
Brussels, dan di tempat yang saat itu disebut Belanda Spanyol.
Di
masa yang ditandai oleh skandal yang menyakitkan, di dalam dan di luar
komunitas kristiani, ia dan para sahabatnya membawa banyak orang kembali kepada
iman melalui kehidupan sederhana mereka dalam kemiskinan, doa, kerja, dan amal.
Beberapa orang menyebut yayasan mereka di kota ini sebagai "magnet
rohani".
Ia
sengaja tidak meninggalkan tulisan apa pun untuk generasi mendatang.
Sebaliknya, ia berkomitmen untuk mempraktikkan apa yang telah ia pelajari (bdk.
1 Kor 15:3), dan melalui cara hidupnya ia membantu mengangkat Gereja di masa
yang penuh kesulitan.
Marilah
kita dengan penuh syukur menyambut teladan yang telah diberikannya kepada kita
tentang "corak feminin kekudusan" (bdk. Gaudete et Exsultate, 12),
yang lembut tetapi kuat. Kesaksiannya, bersama dengan kesaksian dari begitu
banyak saudara dan saudari yang telah mendahului kita, sahabat-sahabat kita dan
sesama peziarah, tidak jauh dari kita: kesaksian yang dekat dengan kita ini,
sesungguhnya, dipercayakan kepada kita agar kita juga dapat menjadikannya
kesaksian kita, dengan memperbarui komitmen kita untuk berjalan bersama
mengikuti jejak langkah Tuhan.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 29 September 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.