Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN WAJIB PARA MALAIKAT PELINDUNG (PEMBUKAAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 2 Oktober 2024 : SUARA, PERLINDUNGAN DAN SEORANG ANAK KECIL

Bacaan Ekaristi: Kel 23:20-23a; Mzm 91:1-2.3-4.5-6.10-11; Mat 18:1-5.10.

 

Hari ini kita merayakan Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung, dan kita membuka kembali Sidang Paripurna Sinode Para Uskup. Setelah mendengarkan Sabda Allah, marilah kita mengambil tiga gambaran sebagai titik awal pertimbangan kita: suara, perlindungan dan seorang anak kecil.

 

Pertama, suara. Dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji, Allah menasihati umat-Nya untuk mendengarkan "suara malaikat" yang telah Ia utus (bdk. Kel 23:20-22). Sebuah gambaran yang relevan bagi kita. Ketika kita berjalan di jalan Sinode ini, Tuhan meletakkan di tangan kita sejarah, impian dan harapan dari suatu umat yang luar biasa. Mereka adalah saudara-saudari kita yang tersebar di seluruh dunia, diilhami oleh iman yang sama, digerakkan oleh keinginan yang sama untuk kekudusan. Bersama mereka dan untuk mereka, marilah kita berusaha untuk memahami jalan yang harus kita ikuti untuk mencapai tujuan yang dikehendaki Tuhan bagi kita. Tetapi bagaimana kita dapat mendengarkan "suara malaikat"?

 

Salah satu caranya adalah dengan menerima semua sumbangan yang terkumpul selama tiga tahun ini dengan rasa hormat dan perhatian, dalam doa dan terang Sabda Allah. Inilah tahun-tahun kerja, terlibat dan berdiskusi, yang dilakukan dengan upaya terus-menerus untuk memurnikan pikiran dan hati kita. Dengan bantuan Roh Kudus, kita harus mendengarkan dan memahami suara ini — yaitu, gagasan, harapan, usulan — untuk bersama-sama mengenali suara Allah yang berbicara kepada Gereja (bdk. Renato Corti, Quale prete?, Appunti inediti). Sebagaimana telah berulang kali kami tegaskan, Gereja kita bukan sidang parlementer, melainkan tempat mendengarkan dalam persekutuan, di mana, sebagaimana dikatakan Santo Gregorius Agung, apa yang dimiliki seseorang dalam dirinya sebagian dimiliki sepenuhnya oleh orang lain, dan meskipun beberapa orang memiliki karunia khusus, seluruhnya adalah milik setiap orang dalam “amal kasih Roh” (bdk. Homili tentang Keempat Injil, XXXIV).

 

Agar hal ini terjadi, ada syaratnya: kita harus membebaskan diri dari segala sesuatu yang menghalangi “amal kasih Roh” untuk menciptakan kerukunan dalam keberagaman di dalam diri kita dan di antara kita. Orang-orang yang dengan sombong mengklaim memiliki hak eksklusif untuk mendengar suara Tuhan, tidak dapat mendengarnya (bdk. Mrk 9:38-39). Setiap perkataan harus diterima dengan rasa syukur dan kesederhanaan serta dapat menjadi gema dari apa yang telah diberikan Allah demi kebaikan saudara-saudari kita (bdk. Mat 10:7-8). Marilah kita berhati-hati untuk tidak melihat kontribusi kita sebagai poin yang harus dipertahankan dengan segala cara atau agenda yang harus dipaksakan. Saya berharap kita masing-masing dapat memberikan kontribusi kita sebagai hadiah untuk dibagikan, bahkan siap untuk mengorbankan sudut pandang kita untuk memberi kehidupan pada sesuatu yang baru, semuanya sesuai dengan rencana Allah. Jika tidak, kita akan berakhir dengan mengunci diri dalam dialog di antara orang-orang tuli, di mana para peserta berusaha untuk memajukan tujuan atau agenda mereka sendiri tanpa mendengarkan orang lain dan, terutama, tanpa mendengarkan suara Tuhan.

 

Kita tidak memiliki solusi untuk masalah yang kita hadapi, tetapi Tuhan memilikinya (bdk. Yoh 14:6). Ingatlah bahwa kamu tidak boleh kehilangan fokus di padang gurun. Jika kamu tidak memperhatikan pemandu, jika kamu merasa cukup, kamu mungkin mati kelaparan atau kehausan dan membawa orang lain bersamamu. Karena itu, marilah kita mendengarkan suara Allah dan malaikat-Nya agar kita dapat melanjutkan perjalanan kita dengan aman, mengatasi keterbatasan dan kesulitan kita (bdk. Mzm 23:4).

 

Hal ini membawa kita pada gambaran berikutnya: perlindungan, yang dapat dilambangkan dengan sayap yang melindungi kita – “di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mzm 91:4). Sayap adalah sarana yang kuat, yang mampu mengangkat tubuh dari tanah melalui gerakan yang kuat. Meskipun sayap melambangkan kekuatan yang besar, sayap juga dapat diturunkan untuk berkumpul, menjadi perisai dan sarang yang ramah bagi burung-burung muda yang membutuhkan kehangatan dan perlindungan.

 

Ini adalah lambang dari apa yang dilakukan Allah bagi kita, dan juga merupakan model yang harus kita ikuti, terutama saat kita berkumpul bersama hari-hari ini. Di antara kita, saudara-saudari terkasih, ada banyak orang yang kuat dan dipersiapkan dengan baik, yang mampu bangkit menuju ketinggian dengan gerakan refleksi yang intens dan wawasan yang cemerlang. Semua ini merupakan keuntungan besar kita. Merangsang, menantang, dan terkadang memaksa kita untuk berpikir lebih terbuka dan bergerak maju dengan lebih tegas. Juga membantu kita untuk tetap teguh dalam iman bahkan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Kita harus memiliki hati yang terbuka, hati yang berdialog. Hati yang tertutup dalam keyakinan pribadi tidak sesuai dengan Roh Tuhan. Bukan berasal dari Tuhan. Membuka diri kita adalah karunia, dan karunia ini harus dipadukan, bila perlu, dengan kemampuan untuk mengendurkan otot-otot kita dan membungkuk untuk saling menawarkan pelukan hangat dan tempat berlindung. Dengan cara itu kita akan menjadi, seperti yang dikatakan Santo Paulus VI, “sebuah rumah [...] saudara-saudari, sebuah lokakarya kegiatan yang intens, sebuah ruang atas spiritualitas yang bersemangat” (Pidato kepada Dewan Presiden C.E.I., 9 Mei 1974).

 

Semakin kita menyadari bahwa kita dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mencintai, menghormati, dan menghargai kita, sahabat-sahabat yang mau mendengarkan apa yang kita katakan, semakin kita akan merasa bebas untuk mengungkapkan diri secara spontan dan terbuka.

 

Pendekatan ini bukan sekadar teknik untuk “memfasilitasi” dialog dan dinamika komunikasi kelompok. Dalam Sinode ada “fasilitator”, tetapi mereka ada di sini untuk membantu kita bergerak maju dengan lebih baik. Merangkul, melindungi, dan peduli sebenarnya merupakan salah satu hakikat Gereja. Merangkul, melindungi, dan peduli. Gereja, berdasarkan panggilannya, adalah tempat berkumpul yang ramah, di mana “amal kasih kolegial menuntut keselarasan sempurna, yang mengarah pada kekuatan moral, keindahan spiritual, dan ungkapan ideal” (idem.). Keselarasan: sebuah kata yang sangat penting. Keselarasan bukan tentang mayoritas dan minoritas; keselarasan bisa menjadi langkah pertama. Keselarasan penting mendasar, dan hanya dapat dicapai oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah pemilik keselarasan dan mampu menciptakan satu suara di antara beraneka macam suara. Renungkanlah bagaimana Roh Kudus menciptakan keselarasan di antara perbedaan pada pagi Pentakosta. Gereja perlu menciptakan "tempat yang penuh kedamaian dan terbuka" pertama-tama di dalam hati kita, tempat setiap orang merasa diterima, seperti bayi dalam pelukan ibunya (bdk. Yes 49:15; 66:13) dan seperti anak kecil yang diangkat ke pipi ayahnya (bdk. Hos 11:4; Mzm 103:13).

 

Hal ini membawa kita kepada gambaran ketiga: seorang anak kecil. Yesus sendiri yang, dalam Bacaan Injil, “menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka”, memperlihatkannya kepada para murid, mengundang mereka untuk bertobat dan menjadi kecil seperti Dia. Mereka telah bertanya kepada-Nya siapa yang terbesar dalam Kerajaan Surga dan Ia menjawab dengan mendorong mereka untuk menjadi seperti seorang anak kecil. Namun tidak hanya itu, Yesus juga menambahkan bahwa dengan menyambut seorang anak dalam nama-Nya, kita menyambut Dia (bdk. Mat 18:1-5).

 

Paradoks ini hakiki bagi kita. Mengingat pentingnya Sinode, dalam arti tertentu kita harus berusaha untuk menjadi “besar” dalam roh, hati, dan pandangan, karena persoalan yang harus kita hadapi “besar” dan tidak kasat mata, serta situasinya luas dan universal. Namun justru karena alasan inilah kita tidak boleh melupakan anak kecil, yang terus ditempatkan Yesus di pusat pertemuan dan meja kerja kita. Ia melakukannya untuk mengingatkan kita bahwa satu-satunya cara untuk menjadi layak atas tugas yang dipercayakan kepada kita adalah dengan merendahkan diri kita, membuat diri kita kecil dan saling menerima dengan rendah hati. Orang yang terbesar dalam Gereja adalah orang yang paling menunduk.

 

Justru dengan membuat diri-Nya kecil, Allah “menunjukkan kepada kita apa sesungguhnya kebesaran sejati, apa artinya menjadi Allah” (BENEDIKTUS XVI, Homili Hari Raya Pembaptisan Tuhan, 11 Januari 2009). Bukanlah suatu kebetulan bahwa Yesus mengatakan bahwa malaikat anak-anak kecil “selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga” (Mat 18:10). Dengan kata lain, mereka bagaikan “teleskop” kasih Bapa.

 

Saudara-saudari, kita memulai kembali perjalanan sinode kita dengan pandangan ke arah dunia, karena komunitas Kristiani selalu melayani umat manusia untuk mewartakan sukacita Injil. Dalam masa yang begitu dramatis dalam sejarah kita, ketika angin perang dan kobaran api kekerasan terus menghancurkan seluruh bangsa dan negara, ada kebutuhan untuk pesan ini.

 

Guna memohon perantaraan Santa Maria demi karunia perdamaian, saya akan mendaraskan doa Rosario Suci dan menyampaikan permohonan sepenuh hati kepada Perawan Maria di Basilika Santa Maria Maggiore pada hari Minggu mendatang. Jika memungkinkan, saya meminta semua anggota Sinode untuk bergabung dengan saya pada kesempatan ini.

 

Keesokan harinya, 7 Oktober, saya memohon kepada semua orang untuk ikut serta dalam hari doa dan puasa demi perdamaian dunia.

 

Marilah kita berjalan bersama. Marilah kita mendengarkan Tuhan dan memperkenankan Dia membimbing kita melalui "hembusan" Roh.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Oktober 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.