Bacaan
Ekaristi : Yer. 17:5-8; Mzm. 1:1-2,3,4,6; 1Kor. 15:12,16-20; Luk. 6:17,20-26.
Dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar,
Yesus menyampaikan Sabda Bahagia kepada para murid-Nya dan banyak orang. Kita
telah mendengarnya berkali-kali, namun Sabda Bahagia tidak pernah berhenti
membuat kita takjub: “Berbahagialah, hai Kamu yang miskin, karena kamulah yang
punya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini lapar, karena
kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini menangis, karena
kamu akan tertawa” (Luk 6:20–21). Kata-kata ini menjungkirbalikkan mentalitas
duniawi kita dan mengajak kita untuk melihat kenyataan dengan mata baru, dengan
tatapan Allah, sehingga kita dapat melihat melampaui penampilan dan mengenali
keindahan bahkan di tengah-tengah kelemahan dan penderitaan.
Bagian
kedua Bacaan Injil berisi kata-kata yang keras dan menegur: "Celakalah
kamu, hai Kamu yang kaya, karena kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah
kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang
sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis" (Luk
6:24-25). Kontras antara "berbahagialah kamu" dan "celakalah
kamu" mengingatkan kita tentang pentingnya membedakan di mana kita
menemukan keamanan kita.
Sebagai
seniman dan perwakilan dunia budaya, kamu dipanggil untuk menjadi saksi visi
revolusioner Sabda Bahagia. Perutusanmu bukan hanya untuk menciptakan
keindahan, tetapi mengungkapkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang
tersembunyi di balik lipatan sejarah, menyuarakan orang-orang yang tak
bersuara, mengubah rupa penderitaan menjadi pengharapan.
Kita
hidup di masa krisis finansial dan sosial yang rumit, tetapi krisis kita
terutama adalah krisis spiritual, krisis makna. Marilah kita bertanya kepada
diri kita sendiri tentang waktu dan tujuan. Apakah kita peziarah atau
pengembara? Apakah perjalanan kita memiliki tujuan, atau apakah kita tanpa
arah? Seniman memiliki tugas untuk membantu umat manusia agar tidak tersesat
dan tetap memiliki pandangan yang penuh pengharapan.
Namun,
ketahuilah bahwa pengharapan bukanlah sesuatu yang mudah, dangkal, atau
abstrak. Tidak! Pengharapan sejati terjalin dalam drama keberadaan manusia.
Pengharapan bukanlah tempat berlindung yang nyaman, tetapi api yang membakar
dan memancarkan cahaya, seperti sabda Allah. Itulah sebabnya seni yang autentik
selalu mengungkapkan perjumpaan dengan misteri, dengan keindahan yang melampaui
diri kita, dengan penderitaan yang menantang kita, dengan kebenaran yang
memanggil kita. Jika tidak, "celakalah kita!" Peringatan Tuhan itu
keras.
Sebagaimana
ditulis oleh penyair Gerard Manley Hopkins, “Dunia dipenuhi dengan keagungan
Allah. Dunia akan menyala, seperti kilauan kertas timah yang terkena cahaya”.
Perutusan seniman adalah menemukan keagungan yang tersembunyi ini dan
mengungkapkannya, membuatnya dapat dirasakan oleh mata dan hati kita. Sang
penyair juga merasakan “gema kelam” dan “gema keemasan” dalam dunia. Seniman
peka terhadap resonansi ini, dan melalui karya mereka, mereka terlibat dalam
pembedaan berbagai gema peristiwa di dunia ini dan membantu sesamanya untuk
melakukan hal yang sama. Orang-orang yang mewakili dunia budaya dipanggil untuk
mengevaluasi gema ini, menjelaskannya kepada kita, dan menunjukkan kepada kita
jalan mana yang dituntun oleh gema tersebut: apakah gema tersebut berupa
lagu-lagu sirene yang menggoda atau seruan autentik bagi umat manusia. Kamu
diminta untuk memberikan wawasan guna membantu membedakan antara apa yang
seperti “sekam yang dihamburkan angin” dan apa yang kokoh, “seperti pohon yang
ditanam di tepi aliran air”, yang mampu menghasilkan buah (lihat Mzm 1:3-4).
Para
seniman yang terkasih, saya melihat dalam dirimu para penjaga keindahan yang
bersedia memperhatikan kehancuran dunia kita, mendengarkan jeritan mereka yang
miskin, menderita, terluka, dipenjara, dianiaya, atau menjadi pengungsi. Saya
melihat dalam dirimu para penjaga Sabda Bahagia! Kita hidup di masa ketika
tembok-tembok baru sedang dibangun, ketika perbedaan menjadi dalih untuk
memecah belah daripada kesempatan untuk saling memperkaya. Namun, kamu,
orang-orang di dunia budaya, dipanggil untuk membangun jembatan, menciptakan
ruang bagi perjumpaan dan dialog, mencerahkan pikiran dan menghangatkan hati.
Beberapa
orang mungkin berkata, "Tetapi apa gunanya seni di dunia kita yang terluka
ini? Bukankah ada hal-hal yang lebih mendesak, lebih praktis, dan lebih
mendesak untuk dilakukan?". Namun, seni bukanlah kemewahan, tetapi sesuatu
yang dibutuhkan jiwa. Seni bukanlah pelarian dari kenyataan, tetapi sebuah
tuntutan, panggilan untuk bertindak, seruan, dan jeritan. Mendidik tentang keindahan
sejati berarti mendidik tentang pengharapan. Dan pengharapan tidak pernah
terpisah dari drama kehidupan; pengharapan mengalir melalui perjuangan kita
sehari-hari, kesulitan hidup, dan tantangan zaman kita.
Dalam
Bacaan Injil yang kita dengar hari ini, Yesus menyatakan bahwa mereka yang
miskin, menderita, lemah lembut, dan teraniaya adalah orang-orang yang
berbahagia. Sebuah perubahan mentalitas, revolusi sudut pandang. Seniman
dipanggil untuk ambil bagian dalam revolusi ini. Dunia membutuhkan seniman yang
kenabian, intelektual yang berani, dan pencipta budaya.
Perkenankanlah
Injil Sabda Bahagia membimbingmu, dan semoga senimu menjadi pembawa berita
sebuah dunia yang baru. Perkenankanlah kami melihat puisimu! Jangan pernah
berhenti mencari, mempertanyakan, dan mengambil risiko. Seni sejati tidak
pernah mudah; ia menawarkan kedamaian kegelisahan. Dan jangan lupa bahwa
pengharapan bukanlah khayalan; keindahan bukanlah utopia. Karuniamu tidak acak,
tetapi sebuah panggilan. Maka, tanggapilah dengan kemurahan hati, gairah, dan
cinta.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 16 Februari 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.