Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XX DI TEMPAT KUDUS SANTA MARIA DELLA ROTONDA (ALBANO) 17 Agustus 2025

Bacaan Liturgi : Yer. 38:4-6,8-10; Mzm. 39:2-4.18; Ibr. 12:1-4; Luk. 12:49-53.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sukacita dapat berkumpul bersama merayakan Ekaristi hari Minggu memberi kita sukacita yang lebih mendalam. Sungguh, jika kedekatan hari ini saja sudah merupakan anugerah dan mengatasi jarak dengan saling memandang, sebagai saudara-saudari sejati, anugerah yang lebih besar adalah penaklukkan maut di dalam Tuhan. Yesus telah menaklukkan maut — Hari Minggu adalah hari-Nya, hari Kebangkitan — dan kita sudah mulai menaklukkannya bersama-Nya. Beginilah adanya: kita masing-masing datang ke gereja dengan sedikit rasa lelah dan takut — terkadang kecil, terkadang besar — dan seketika kita tidak lagi sendirian, kita bersama dan kita menemukan sabda dan tubuh Kristus. Dengan demikian, hati kita menerima kehidupan yang melampaui maut. Roh Kudus, Roh Yesus yang Bangkit, yang melakukan hal ini di antara kita dan di dalam diri kita, secara diam-diam, hari Minggu demi hari Minggu, hari demi hari.

 

Kita menemukan diri kita di sebuah tempat suci kuno yang dindingnya merangkul kita. Tempat itu disebut "Rotonda", dan bentuknya yang melingkar, seperti Lapangan Santo Petrus dan gereja-gereja lain, baik yang lama maupun yang baru, membuat kita merasa disambut dalam pangkuan Tuhan. Dari luar, Gereja, seperti setiap realitas manusia, mungkin tampak kasar. Namun, realitas ilahinya terungkap ketika kita melewati ambang pintunya dan menemukan penerimaan. Maka kemiskinan kita, kerentanan kita, dan terutama, kegagalan yang karenanya kita mungkin dihina dan dihakimi — dan terkadang kita membenci dan menghakimi diri kita sendiri — akhirnya disambut dalam kekuatan Tuhan yang lembut, kasih tanpa batas, kasih tanpa syarat. Maria, ibu Yesus, bagi kita adalah tanda dan antisipasi akan keibuan Tuhan. Di dalam dirinya, kita menjadi Gereja induk, yang melahirkan dan meregenerasi bukan berdasarkan kekuatan duniawi, melainkan dengan kebajikan kasih.

 

Barangkali apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil yang baru saja kita baca mengejutkan kita. Kita mencari kedamaian, tetapi kita telah mendengar: "Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan damai, kata-Ku kepadamu, melainkan pertentangan" (Luk. 12:51). Dan kita hampir menjawab: "Tetapi bagaimana mungkin, Tuhan? Engkau juga? Kita sudah terlalu banyak mengalami pertentangan. Bukankah Engkau yang berkata pada Perjamuan Terakhir: 'Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu'?" "Ya," jawab Tuhan, "Akulah ini." Namun, ingatlah bahwa pada malam itu, malam terakhir-Ku, Aku langsung menambahkan tentang damai sejahtera: "Aku memberi kepadamu tidak seperti dunia memberi. Janganlah gelisah dan gentar hatimu" (bdk. Yoh. 14:27).

 

Sahabat-sahabat terkasih, dunia membiasakan kita menukar kedamaian dengan kenyamanan, kebaikan dengan ketenangan. Oleh karena itu, agar damai-Nya, shalom Allah, dapat hadir di antara kita, Yesus harus berkata, "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala!" (Luk. 12:49). Mungkin keluarga kita, sebagaimana dinubuatkan Injil, dan bahkan sahabat-sahabat kita, akan terbagi pendapatnya mengenai hal ini. Dan beberapa orang akan menasihati kita untuk tidak mengambil risiko, melindungi diri kita, karena penting untuk tetap tenang dan orang lain tidak pantas untuk dikasihi. Namun, Yesus dengan berani membenamkan diri-Nya dalam kemanusiaan kita. Inilah "baptisan" yang Ia bicarakan (ayat 50): baptisan salib, pembenaman total dalam risiko yang ditimbulkan oleh kasih. Dan ketika kita, seperti kata mereka, "mengambil komuni," kita dipupuk oleh karunia-Nya yang berani ini. Misa memelihara keputusan ini. Itulah keputusan untuk tidak lagi hidup bagi diri kita sendiri, untuk membawa api ke dunia. Bukan api senjata, bahkan bukan kata-kata yang membakar orang lain. Bukan, bukan itu. Melainkan api kasih, yang merendahkan diri dan melayani, yang melawan ketidakpedulian dengan kepedulian dan kesombongan dengan kelembutan; api kebaikan, yang tidak semahal persenjataan, melainkan memperbarui dunia dengan cuma-cuma. Mungkin saja ia harus menanggung kesalahpahaman, cemoohan, bahkan penganiayaan, tetapi tak ada kedamaian yang lebih besar daripada memiliki api di dalam dirinya sendiri.

 

Oleh karena itu, hari ini saya ingin mengucapkan terima kasih, bersama Uskupmu, Vincenzo, kepada kamu semua yang di Keuskupan Albano berkomitmen untuk membawa api kasih. Dan saya mendorongmu untuk tidak membeda-bedakan di antara mereka yang membantu dan mereka yang dibantu, antara mereka yang tampak memberi dan mereka yang tampak menerima, antara mereka yang tampak miskin dan mereka yang merasa menyumbangkan waktu, keterampilan, dan bantuan. Kita adalah Gereja Tuhan, Gereja kaum miskin, semua berharga, semua subjek, masing-masing pembawa Sabda Allah yang unik. Masing-masing adalah anugerah bagi sesama. Marilah kita meruntuhkan tembok pemisah. Saya berterima kasih kepada mereka yang bekerja di setiap komunitas kristiani untuk memfasilitasi perjumpaan antara orang-orang dari berbagai latar belakang, situasi ekonomi, psikologis, dan emosional: hanya bersama-sama, hanya dengan menjadi satu Tubuh di mana bahkan yang paling rapuh pun berpartisipasi dengan penuh martabat, kitalah Tubuh Kristus, Gereja Allah. Hal ini terjadi ketika api yang dibawa Yesus yang datang membakar habis prasangka, kehati-hatian, dan ketakutan yang masih meminggirkan mereka yang menanggung kemiskinan Kristus yang tertulis dalam sejarah mereka. Janganlah kita mengecualikan Tuhan dari gereja-gereja kita, rumah-rumah kita, dan kehidupan kita. Sebaliknya, marilah kita membiarkan-Nya masuk ke dalam diri orang-orang miskin, dan dengan demikian kita juga akan berdamai dengan kemiskinan kita sendiri, kemiskinan yang kita takuti dan sangkal ketika kita mencari ketenangan dan rasa aman dengan segala cara.

 

Semoga Perawan Maria, yang mendengar Simeon, penatua suci, mengacu Putranya, Yesus, sebagai "tanda perbantahan" (Lukas 2:34), berdoa bagi kita. Semoga pikiran hati kita terungkap, dan semoga api Roh Kudus mengubahnya dari hati batu menjadi hati yang taat.

 

Santa Maria dari Rotonda, doakanlah kami!

_______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA DI PAROKI SANTO THOMAS DARI VILLANOVA (CASTEL GANDOLFO) 15 Agustus 2025

Bacaan Liturgi : Why. 11:19a;12:1,3-6a,10ab; Mzm. 45:10c-12,16; 1Kor. 15:20-26; Luk. 1:39-56.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini bukan hari Minggu, namun kita merayakan secara lain misteri Paskah Yesus, yang mengubah jalannya sejarah. Dalam diri Maria dari Nazaret, kita mengenali sejarah kita: sejarah Gereja, yang terbenam dalam nasib bersama umat manusia. Dengan mengambil rupa daging dalam diri Maria, Allah kehidupan — Allah kebebasan — telah menaklukkan maut. Ya, hari ini kita merenungkan bagaimana Allah mengalahkan maut — namun tak pernah tanpa kita. Ia meraja, tetapi "ya" kita terhadap kasih-Nya dapat mengubah segalanya. Di kayu salib, Yesus dengan bebas mengucapkan "ya" yang akan melucuti kuasa maut — maut yang masih menjalar di mana pun tangan kita tersalib dan hati kita tetap terpenjara oleh rasa takut dan ketidakpercayaan. Di kayu salib, kepercayaan menang; demikian pula kasih, yang melihat apa yang akan datang; dan pengampunan menang.

 

Maria hadir di sana, bersatu dengan Putranya. Di zaman kita, kita seperti Maria setiap kali kita tidak melarikan diri, setiap kali kita menjadikan "ya" Yesus sebagai "ya" kita. "Ya" itu masih hidup dan menolak maut dalam diri para martir zaman kita, dalam kesaksian iman dan keadilan, kelembutan dan perdamaian. Maka, hari sukacita ini juga menjadi hari yang memanggil kita untuk memilih – bagaimana dan untuk siapa kita akan hidup.

 

Perayaan liturgi Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga menawarkan kita Bacaan Injil tentang kunjungan Maria. Santo Lukas mencatat dalam bacaan ini sebuah momen yang menentukan dalam panggilan Maria. Sungguh indah mengenang hari itu, saat kita merayakan momen puncak kehidupannya. Setiap kisah manusia, bahkan kisah Bunda Allah, singkat di bumi ini dan akan berakhir. Namun tidak ada yang hilang. Ketika sebuah kehidupan berakhir, keunikannya bahkan bersinar lebih jelas. Magnificat, yang dalam Bacaan Injil ditempatkan di bibir Maria yang masih belia, sekarang memancarkan terang seluruh harinya. Satu hari saja — hari ia bertemu sepupunya Elisabet — mengandung benih dari setiap hari lainnya, dari setiap musim lainnya. Dan kata-kata saja tidak cukup; sebuah kidung dibutuhkan, kidung yang terus dinyanyikan dalam Gereja “turun-temurun” (Luk 1:50), di setiap penghujung hari. Kesuburan yang mengejutkan dari Elisabet yang mandul meneguhkan kepercayaan Maria; mengantisipasi kesuburan jawaban "ya"-nya, yang juga mencakup kesuburan Gereja dan seluruh umat manusia setiap kali Sabda Allah yang memperbarui disambut. Hari itu, dua perempuan bertemu dalam iman, lalu tinggal bersama selama tiga bulan untuk saling mendukung, bukan hanya dalam hal-hal praktis tetapi juga cara baru dalam membaca sejarah.

 

Maka, saudara-saudari terkasih, kebangkitan memasuki dunia kita bahkan hingga hari ini. Kata-kata dan pilihan kematian mungkin tampak menang, tetapi kehidupan Allah menerobos keputusasaan kita melalui pengalaman nyata persaudaraan dan gestur solidaritas yang baru. Sebelum menjadi takdir akhir kita, kebangkitan mengubah rupa — dalam jiwa dan raga — tempat tinggal kita di bumi. Kidung Maria, Magnificat, menguatkan pengharapan orang-orang yang rendah hati, lapar, dan hamba-hamba Allah yang setia. Mereka adalah para pria dan wanita Sabda Bahagia yang, bahkan dalam kesengsaraan, sudah melihat yang tak terlihat: orang-orang berkuasa diturunkan dari takhta mereka, orang-orang kaya diusir dengan tangan hampa, janji-janji Allah digenapi. Pengalaman-pengalaman semacam itu seharusnya ditemukan dalam setiap komunitas kristiani. Pengalaman-pengalaman itu mungkin tampak mustahil, tetapi Sabda Allah terus dinyatakan. Ketika ikatan lahir, yang dengannya kita menghadapi kejahatan dengan kebaikan dan kematian dengan kehidupan, kita melihat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah (bdk. Luk 1:37).

 

Terkadang, sayangnya, ketika kecukupan diri manusia merajalela, ketika kenyamanan materi dan rasa puas diri menumpulkan hati nurani, iman ini dapat menjadi usang. Kemudian kematian datang dalam bentuk kepasrahan dan keluhan, nostalgia dan ketakutan. Alih-alih membiarkan dunia lama berlalu, kita masih berpegang teguh padanya, mencari pertolongan orang kaya dan berkuasa, yang seringkali disertai dengan penghinaan terhadap orang miskin dan kecil. Namun, Gereja hidup dalam anggota-anggotanya yang rapuh, dan diperbarui oleh Magnificat mereka. Bahkan di zaman kita, komunitas-komunitas kristiani yang miskin dan teraniaya, para saksi kelembutan dan pengampunan di tempat-tempat pertikaian, dan para pembawa damai serta pembangun jembatan di dunia yang hancur, adalah sukacita Gereja. Mereka adalah kesuburannya yang abadi, buah-buah sulung Kerajaan yang akan datang. Banyak dari mereka adalah perempuan, seperti Elisabet yang lanjut usia dan Maria yang masih belia — perempuan-perempuan Paskah, para rasul kebangkitan. Marilah kita ditobatkan oleh kesaksian mereka!

 

Saudara-saudari, ketika dalam kehidupan ini kita “memilih kehidupan” (Ul 30:19), kita sungguh melihat dalam diri Maria, yang diangkat ke surga, takdir kita. Ia diberikan kepada kita sebagai tanda bahwa kebangkitan Yesus bukan peristiwa yang terasing, bukan sekadar pengecualian. Di dalam Kristus, kita juga dapat “menelan maut” (bdk. 1 Kor 15:54). Memang, itu adalah karya Allah, bukan karya kita. Namun Maria adalah persatuan rahmat dan kebebasan yang menakjubkan, yang mendorong kita masing-masing untuk memiliki kepercayaan, keberanian, dan partisipasi dalam kehidupan umat Allah. “Yang Maha Kuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku” (Luk 1:49): semoga kita masing-masing mengetahui sukacita ini dan mewartakannya dengan nyanyian baru. Janganlah kita takut memilih kehidupan! Mungkin tampak berisiko dan ceroboh. Banyak suara berbisik: “Untuk apa repot-repot? Lupakan saja. Pikirkan kepentinganmu sendiri.” Ini adalah suara-suara maut. Tetapi kita adalah murid-murid Kristus. Kasih-Nyalah yang menggerakkan kita — jiwa dan raga — di zaman kita. Sebagai individu dan Gereja, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri. Inilah — dan hanya inilah — yang menyebarkan kehidupan dan memungkinkan kehidupan berjaya. Kemenangan kita atas maut dimulai di sini dan saat ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVIII (MISA YUBILEUM ORANG MUDA) 3 Agustus 2025

Bacaan Ekaristi : Pkh. 1:2; 2:21-23; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Kol. 3:1-5.9-11; Luk. 12:13-21.

 

Orang muda terkasih,

 

Setelah Doa Vigili tadi malam, kita berkumpul kembali hari ini untuk merayakan Ekaristi, sakramen pemberian diri Tuhan sepenuhnya bagi kita. Hari ini kita dapat membayangkan diri kita menelusuri kembali perjalanan yang dilakukan para murid pada malam Paskah di jalan menuju Emaus (bdk. Luk 24:13-35): mereka berangkat dari Yerusalem dengan ketakutan dan kekecewaan, yakin bahwa, setelah kematian Yesus, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, tidak ada tempat untuk menaruh pengharapan mereka. Namun mereka kemudian menemukan-Nya di sepanjang jalan, menyambut-Nya sebagai teman seperjalanan, mendengarkan-Nya ketika Ia menjelaskan Kitab Suci, dan kemudian mengenali-Nya saat Ia memecah-mecahkan roti. Mata mereka terbuka, dan kabar penuh sukacita Paskah mendapat tempat di hati mereka.

 

Liturgi hari ini tidak secara langsung menyebut peristiwa ini, tetapi mengajak kita untuk merenungkan apa yang diceritakannya: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, yang mengubah rupa hidup kita dan menerangi kasih sayang, keinginan, dan pikiran kita.

 

Bacaan Pertama, yang diambil dari Kitab Pengkhotbah, mengajak kita, seperti kedua murid itu, untuk berdamai dengan pengalaman keterbatasan kita dan sifat fana dari segala sesuatu yang sekejab (bdk. Pkh. 1:2; 2:21-23). Senada dengan itu, Mazmur Tanggapan menyajikan kepada kita gambaran tentang "rumput yang akan binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu" (Mzm. 90:5-6). Ini adalah dua pengingat kuat yang mungkin sedikit mengejutkan, tetapi seharusnya tidak membuat kita takut seolah-olah keduanya merupakan isu "tabu" yang harus dihindari. Kerapuhan yang dibicarakan keduanya, sesungguhnya, merupakan bagian dari keajaiban ciptaan. Bayangkan gambaran rumput: bukankah lahan bunga yang indah? Tentu saja, ia rapuh, terdiri dari batang-batang kecil yang rapuh, rentan mengering, bengkok, dan patah. Namun, di saat yang sama, bunga-bunga ini segera digantikan oleh bunga-bunga lain yang tumbuh setelahnya, diberi nutrisi dan pupuk berlimpah oleh bunga-bunga pertama saat mereka membusuk di tanah. Beginilah cara lahan ini bertahan: melalui regenerasi yang terus menerus. Bahkan selama bulan-bulan musim dingin yang menusuk tulang, ketika segalanya tampak sunyi, energinya bergejolak di bawah tanah, bersiap untuk mekar menjadi ribuan warna saat musim semi tiba.

 

Kita juga, sahabat-sahabat terkasih, diciptakan seperti ini, kita diciptakan untuk ini. Kita tidak diciptakan untuk kehidupan di mana segala sesuatunya dianggap biasa dan statis, melainkan untuk keberadaan yang terus diperbarui melalui pemberian diri dalam kasih. Inilah sebabnya kita senantiasa mendambakan sesuatu yang "lebih" yang tak dapat diberikan oleh realitas ciptaan mana pun; kita merasakan dahaga yang mendalam dan membara yang tak dapat dipuaskan oleh minuman apa pun di dunia ini. Mengetahui hal ini, janganlah kita menipu hati kita dengan mencoba memuaskannya dengan tiruan murahan! Marilah kita lebih baik mendengarkan mereka! Marilah kita ubah dahaga ini menjadi pijakan, seperti anak-anak yang berjinjit, untuk mengintip melalui jendela perjumpaan dengan Allah. Kita kemudian akan menemukan diri kita di hadapan-Nya, yang sedang menunggu kita, mengetuk lembut jendela jiwa kita (bdk. Why 3:20). Sungguh indah, terutama di usia muda, membuka lebar-lebar hati kita, memperkenankan Dia masuk, dan memulai petualangan ini bersama-Nya menuju kekekalan.

 

Santo Agustinus, merenungkan pencariannya yang mendalam akan Allah, bertanya pada dirinya sendiri: “Lalu, apa objek pengharapan kita [...]? Apakah bumi? Tidak. Apakah sesuatu yang berasal dari bumi, seperti emas, perak, pohon, tanaman, atau air [...]? Hal-hal ini menyenangkan, hal-hal ini indah, hal-hal ini baik” (Sermo 313/F, 3). Dan kesimpulan yang ia capai adalah: “Carilah Dia yang menciptakannya, Dialah pengharapanmu” (idem). Merenungkan perjalanannya sendiri, ia berdoa, katanya: “Engkau [Tuhan] ada di dalam diriku, tetapi aku ada di luar, dan di sanalah aku mencari-Mu […] Engkau memanggil, Engkau berseru, dan Engkau menembus ketulianku. Engkau bersinar, Engkau bersinar dan Engkau menghalau kebutaanku. Engkau menghembuskan keharuman-Mu kepadaku; aku menghirup napas dan sekarang aku merintih merindukan-Mu. Aku telah mengecap Engkau (bdk. Mzm 34:9; 1Ptr 2:3) sekarang aku lapar dan haus akan lebih banyak lagi (bdk. Mat 5:6; 1 Kor 4:11); Engkau menjamahku, dan aku terbakar oleh damai-Mu” (Pengakuan-pengakuan, 10, 27).

 

Saudari-saudari, kata-kata ini indah dan mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Paus Fransiskus bagi orang muda sepertimu di Lisbon pada Hari Orang Muda Sedunia: “Kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak memiliki jawaban sederhana atau langsung, tetapi menantang kita untuk melanjutkan perjalanan, untuk bangkit melampaui diri kita serta melampaui apa yang ada di sini dan saat ini. [...] Kita dipanggil untuk sesuatu yang lebih tinggi, dan kita tidak akan pernah bisa terbang tinggi kecuali kita terbang terlebih dahulu. Maka, kita tidak perlu khawatir jika kita merasakan dahaga batin, kerinduan yang gelisah dan tak terpenuhi akan makna dan masa depan [...] Kita tidak boleh lesu, tetapi tetap hidup!” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023).

 

Ada pertanyaan yang membara di hati kita, kebutuhan akan kebenaran yang tidak dapat kita abaikan, yang membuat kita bertanya pada diri sendiri: apa itu kebahagiaan sejati? Apa arti hidup yang sebenarnya? Apa yang dapat membebaskan kita dari jerat ketidakbermaknaan, kebosanan, dan biasa-biasa saja?

 

Dalam beberapa hari terakhir, kamu telah mengalami banyak pengalaman yang indah. Kamu telah bertemu dengan orang muda lainnya dari berbagai belahan dunia dan beragam budaya. Kamu telah bertukar pengetahuan, berbagi pengharapan, dan berdialog dengan kota melalui seni, musik, teknologi, dan olahraga. Di Circus Maximus, kamu juga menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan Allah, memohon pertolongan-Nya untuk menjalani hidup yang baik.

 

Melalui semua ini, kamu dapat memahami sebuah poin penting: kepenuhan keberadaan kita tidak bergantung pada apa yang kita timbun atau, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, pada apa yang kita miliki (bdk. Luk 12:13-21). Sebaliknya, kepenuhan berkaitan dengan apa yang kitaterima dan bagikan dengan sukacita (bdk. Mat 10:8-10; Yoh 6:1-13). Membeli, menimbun, dan mengonsumsi saja tidak cukup. Kita perlu menengadah, memandang ke atas, kepada "hal-hal yang di atas" (Kol 3:2), untuk menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki makna hanya sejauh hal itu berfungsi untuk mempersatukan kita dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita dalam kasih, membantu kita untuk bertumbuh dalam "belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran" (Kol 3:12), pengampunan (bdk. idem, ayat 13) dan damai sejahtera (bdk. Yoh 14:27), semuanya dalam meneladani Kristus (bdk. Flp 2:5). Dan dengan cara ini kita akan bertumbuh dalam pemahaman yang semakin dalam tentang apa artinya pengharapan yang tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (bdk. Rm 5:5).

 

Orang muda terkasih, Yesus adalah pengharapan kita. Dialah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II, “yang membangkitkan dalam dirimu hasrat untuk melakukan sesuatu yang besar dengan hidupmu [...] untuk berkomitmen ... memperbaiki diri dan masyarakat, menjadikan dunia semakin manusiawi dan bersaudara.” (Hari Orang Muda Sedunia XV, Doa Vigili, 19 Agustus 2000). Marilah kita tetap bersatu dengan-Nya, marilah kita tetap bersahabat dengan-Nya, senantiasa, memupuknya melalui doa, adorasi, Komuni Ekaristi, Pengakuan Dosa yang sering, dan kasih yang murah hati, mengikuti teladan Beato Piergiorgio Frassati dan Beato Carlo Acutis yang akan segera diangkat menjadi santo. Bercita-citalah untuk hal-hal yang besar, untuk kekudusan, di mana pun kamu berada. Jangan puas dengan yang kurang. Kamu akan melihat terang Injil bertumbuh setiap hari, di dalam dirimu dan di sekitarmu.

 

Saya memercayakan kalian kepada Perawan Maria, Bunda Pengharapan. Dengan pertolongannya, saat kamu kembali ke negaramu masing-masing dalam beberapa hari mendatang, di setiap belahan dunia, teruslah berjalan dengan penuh sukacita mengikuti jejak Sang Juruselamat, serta sebarkanlah antusiasme dan kesaksian imanmu kepada setiap orang yang kamu temui! Semoga perjalanan pulangmu menyenangkan!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Agustus 2025)