Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (MISA YUBILEUM KATEKIS) 28 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sabda Yesus menyampaikan kepada kita bagaimana Allah memandang dunia, setiap saat dan di setiap tempat. Kita mendengar dalam Bacaan Injil (Luk 16:19-31) bahwa mata-Nya mengamati orang miskin dan orang kaya: melihat yang satu mati kelaparan dan yang lain makan dengan lahap, yang satu mengenakan pakaian yang indah dan borok yang lain dijilat anjing (bdk. Luk 16:19-21). Namun Tuhan melihat ke dalam hati manusia, dan melalui mata-Nya, kita juga dapat mengenali orang yang berkekurangan dan orang yang acuh tak acuh. Lazarus dilupakan oleh orang yang ada di hadapannya, tepat di balik pintu rumahnya, namun Allah dekat dengannya dan mengingat namanya. Di sisi lain, orang yang hidup berkelimpahan tidak bernama, karena ia telah kehilangan dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya. Ia tersesat dalam pikiran hatinya: penuh dengan harta benda dan hampa kasih. Harta bendanya tidak menjadikannya orang baik.

 

Kisah yang disampaikan Kristus kepada kita, sayangnya, sangat relevan saat ini. Di ambang kemewahan masa kini, terhampar kesengsaraan seluruh bangsa, yang dirusak oleh perang dan eksploitasi. Selama berabad-abad, tampaknya tidak ada yang berubah: betapa banyak Lazarus yang mati di hadapan keserakahan yang melupakan keadilan, di hadapan keuntungan yang menginjak-injak amal kasih, dan di hadapan kekayaan yang buta terhadap penderitaan kaum miskin! Namun Bacaan Injil meyakinkan kita bahwa penderitaan Lazarus akan berakhir. Penderitaannya berakhir sama seperti pesta pora orang kaya itu berakhir, dan Allah memberikan keadilan kepada keduanya: "Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur" (ayat 22). Gereja tanpa lelah mewartakan sabda Tuhan ini, agar dapat membuat hati kita bertobat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, secara kebetulan yang luar biasa, perikop Injil yang sama ini juga diwartakan pada Yubileum Katekis di Tahun Suci Kerahiman. Berbicara kepada para peziarah yang datang ke Roma untuk perayaan tersebut, Paus Fransiskus menekankan bahwa Allah menebus dunia dari segala kejahatan dengan menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan kita. Karya penyelamatan Allah adalah awal dari misi kita karena karya ini mengundang kita untuk memberikan diri kita demi kebaikan semua orang. Paus berkata kepada para katekis: inilah pusat “yang dengannya segala sesuatu berputar, jantung yang berdetak yang memberi hidup kepada segala sesuatu ini adalah pewartaan Paskah, pewartaan pertama: Tuhan Yesus telah bangkit, Tuhan Yesus mengasihimu, dan Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagimu; bangkit dan hidup, Ia dekat denganmu dan menantikanmu setiap hari” (Homili, 25 September 2016). Kata-kata ini membantu kita merenungkan dialog dalam Bacaan Injil antara orang kaya dan Abraham. Permohonan orang kaya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya menjadi panggilan kita untuk bertindak.

 

Berbicara kepada Abraham, orang kaya itu berseru: "Jika ada seseorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat" (Luk. 16:30). Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati" (ayat 31). Nah, satu orang telah bangkit dari antara orang mati: Yesus Kristus. Oleh karena itu, sabda Kitab Suci tidak bermaksud mengecewakan atau mengecilkan hati kita, melainkan membangkitkan hati nurani kita. Mendengarkan Musa dan para nabi berarti mengingat perintah dan janji Allah, yang pemeliharaan-Nya tidak pernah meninggalkan siapa pun. Bacaan Injil mewartakan kepada kita bahwa hidup setiap orang dapat berubah karena Kristus bangkit dari antara orang mati. Peristiwa ini adalah kebenaran yang menyelamatkan kita; oleh karena itu, harus dikenal dan diwartakan. Tetapi itu saja tidak cukup; harus juga dikasihi. Kasihlah yang menuntun kita untuk memahami Injil, karena kasih mengubah kita dengan membuka hati kita terhadap sabda Allah dan terhadap wajah sesama kita.

 

Dalam hal ini, sebagai katekis, kamu adalah murid-murid Yesus yang menjadi saksi-saksi-Nya. Nama pelayananmu berasal dari kata kerja Yunani katÄ“chein, yang berarti "mengajar dengan lantang, bergema." Ini berarti seorang katekis adalah pribadi sabda – sabda yang ia ucapkan dengan hidupnya sendiri. Jadi, katekis pertama kita adalah kedua orang tua kita: mereka yang pertama kali berbicara kepada kita dan mengajari kita berbicara. Sebagaimana kita belajar bahasa ibu kita, demikian pula pewartaan iman tidak dapat didelegasikan kepada orang lain; pewartaan iman terjadi di mana kita tinggal, terutama di rumah kita, di sekitar meja keluarga. Ketika ada suara, gestur, wajah yang menuntun kepada Kristus, keluarga mengalami keindahan Injil.

 

Kita semua telah diajar untuk beriman melalui kesaksian mereka yang telah beriman sebelum kita. Sejak masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, bahkan lanjut usia, para katekis mendampingi kita dalam iman, berbagi dalam perjalanan seumur hidup ini, serupa dengan apa yang telah kamu lakukan pada hari-hari ini dalam ziarah Yubileum. Dinamika ini melibatkan seluruh Gereja. Ketika Umat Allah menuntun pria dan wanita kepada iman, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti.” (Dei Verbum, 18 November 1965, 8). Dalam persekutuan ini, Katekismus adalah “buku panduan perjalanan” yang melindungi kita dari individualisme dan perselisihan, karena ia menjadi kesaksian iman seluruh Gereja Katolik. Setiap orang percaya bekerja sama dalam karya pastoralnya dengan mendengarkan pertanyaan, ambil bagian dalam pergumulan, dan melayani keinginan akan keadilan dan kebenaran yang bersemayam dalam hati nurani manusia.

 

Beginilah cara para katekis mengajar – secara harfiah dalam bahasa Italia, dengan "meninggalkan jejak." Ketika kita mengajarkan iman, kita tidak sekadar memberi petunjuk, tetapi kita menempatkan sabda kehidupan di dalam hati, agar sabda itu menghasilkan buah-buah kehidupan yang baik. Kepada Diakon Deogratias, yang bertanya kepadanya bagaimana menjadi seorang katekis yang baik, Santo Agustinus menjawab, "Jelaskanlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga orang yang mendengarkanmu, dengan mendengarkan dapat percaya; dengan percaya dapat berharap; dan dengan berharap dapat mengasihi" (Petunjuk Para Pemula dalam Imam, 4, 8).

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita menghayati undangan ini! Marilah kita ingat bahwa tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak dimilikinya. Jika orang kaya dalam Bacaan Injil menunjukkan belas kasihan kepada Lazarus, ia akan berbuat baik bukan hanya bagi orang miskin itu, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Jika orang yang tak disebutkan namanya itu beriman, Allah akan menyelamatkannya dari segala siksaan. Namun, keterikatannya pada kekayaan duniawi merampas harapannya akan kebaikan sejati dan kekal. Ketika kita juga tergoda oleh keserakahan dan ketidakpedulian, banyaknya "Lazarus" hari ini mengingatkan kita akan sabda Yesus. Sabda itu menjadi katekese yang efektif bagi kita, terutama selama Yubileum ini, yang bagi kita semua merupakan masa pertobatan dan pengampunan, komitmen pada keadilan, dan pengupayaan yang tulus akan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXV di PAROKI SANTA ANNA VATIKAN 21 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am. 8:4-7; Mzm. 113:1-2,4-6,7-8; 1Tim. 2:1-8; Luk. 16:1-13.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sangat senang memimpin Ekaristi di Paroki Kepausan Santa Anna ini. Dengan penuh rasa syukur saya menyapa para rohaniwan Agustinian yang melayani di sini, terutama pastor paroki, Pastor Mario Millardi, serta Prior Jenderal Ordo yang baru, yang hadir bersama kita hari ini, Pastor Joseph Farrell. Saya juga ingin menyapa Pastor Gioele Schiavella, yang baru saja merayakan usianya yang ke-103 tahun.

 

Gereja ini berdiri di lokasi yang istimewa, yang juga menjadi kunci bagi pelayanan pastoral yang dijalankan di sana: kita, bisa dikatakan, berada "di perbatasan," dan hampir semua orang yang masuk dan keluar Kota Vatikan melewati Gereja Santa Anna. Ada yang datang untuk bekerja, ada yang datang sebagai tamu atau peziarah, ada yang terburu-buru, ada yang datang dengan cemas atau dengan tenang. Semoga setiap orang mengalami di sini ada pintu dan hati yang terbuka untuk berdoa, mendengarkan, dan beramal!

 

Dalam hal ini, Bacaan Injil yang baru saja diwartakan menantang kita untuk secara saksama memeriksa hubungan kita dengan Allah dan, oleh karena itu, dengan satu sama lain. Yesus menyajikan alternatif yang tegas antara Allah dan kekayaan, meminta kita untuk mengambil posisi yang jelas dan masuk akal. "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan," oleh karena itu, "kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" (bdk. Luk 16:13). Ini bukanlah pilihan yang bersifat kebetulan, seperti banyak pilihan lainnya, juga bukan pilihan yang dapat diubah seiring waktu, tergantung situasinya. Kita perlu memutuskan gaya hidup yang sejati. Tentang memilih di mana kita akan menempatkan hati kita, memperjelas siapa yang kita kasihi dengan tulus, siapa yang kita layani dengan penuh dedikasi, dan apa yang benar-benar menjadi kebaikan kita.

 

Inilah sebabnya Yesus membandingkan kekayaan dengan Tuhan: Tuhan berbicara demikian karena Ia tahu kita adalah makhluk yang berkekurangan, hidup kita penuh dengan kebutuhan. Sejak kita lahir, miskin dan telanjang, kita semua membutuhkan perhatian dan kasih sayang, rumah, pangan, sandang. Rasa haus akan kekayaan berisiko menggantikan Tuhan di hati kita ketika kita percaya itu akan menyelamatkan hidup kita, sebagaimana diyakini oleh bendahara yang tidak jujur ​​dalam perumpamaan (bdk. Luk 16:3-7). Inilah godaannya: berpikir bahwa tanpa Tuhan kita masih bisa hidup dengan baik, sementara tanpa kekayaan kita akan sedih dan tersiksa oleh ribuan kebutuhan. Dihadapkan dengan ujian kebutuhan, kita merasa terancam, tetapi alih-alih meminta bantuan dengan percaya dan berbagi dalam persaudaraan, kita dituntun untuk mencari-cari, menimbun, menjadi curiga dan tidak percaya kepada orang lain.

 

Pikiran ini mengubah sesama kita menjadi pesaing, saingan, atau seseorang yang dapat dieksploitasi. Sebagaimana diperingatkan Nabi Amos, mereka yang ingin menjadikan kekayaan sebagai alat dominasi berhasrat untuk "membeli orang lemah karena uang" (Am 8:6), mengeksploitasi kemiskinan mereka. Sebaliknya, Allah mengalokasikan kekayaan ciptaan kepada setiap orang. Kebutuhan kita sebagai makhluk ciptaan dengan demikian membuktikan sebuah janji dan ikatan, yang diperhatikan Tuhan secara pribadi. Pemazmur menggambarkan gaya pemeliharaan-Nya ini: Allah "melihat ke langit dan ke bumi"; Ia "menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur" (Mzm. 113:6-7). Beginilah cara Bapa yang baik bertindak, senantiasa dan terhadap setiap orang: tidak hanya terhadap mereka yang miskin dalam hal-hal duniawi, tetapi juga terhadap kesengsaraan rohani dan moral yang menimpa mereka yang berkuasa maupun yang lemah, yang miskin maupun yang kaya.

 

Sabda Tuhan, sesungguhnya, tidak mengadu domba manusia dalam kelas-kelas yang bersaing, melainkan mendorong setiap orang untuk melakukan revolusi batin, pertobatan yang dimulai dari hati. Tangan kita akan terbuka: memberi, bukan menerima. Pikiran kita akan terbuka: merencanakan masyarakat yang lebih baik, bukan mencari keuntungan dengan harga terendah. Sebagaimana ditulis Santo Paulus, "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar" (1 Tim 2:1). Hari ini, khususnya, Gereja berdoa agar para pemimpin bangsa dibebaskan dari godaan untuk menggunakan kekayaan melawan kemanusiaan, mengubahnya menjadi senjata yang menghancurkan rakyat dan monopoli yang mempermalukan kaum buruh. Mereka yang melayani Tuhan terbebas dari kekayaan, tetapi mereka yang melayani kekayaan tetap menjadi hambanya! Mereka yang mencari keadilan mengubah kekayaan menjadi kebaikan bersama; mereka yang mencari kekuasaan mengubah kebaikan bersama menjadi mangsa keserakahan mereka sendiri.

 

Kitab Suci menjelaskan keterikatan pada harta benda ini, yang membingungkan hati kita dan merusak masa depan kita.

 

Sahabat-sahabat terkasih, saya berterima kasih atas kerjasamamu dalam berbagai cara untuk menjaga komunitas paroki ini tetap hidup dan atas karya kerasulan yang murah hati. Saya mendorongmu untuk bertekun dengan pengharapan di masa yang terancam perang. Seluruh bangsa saat ini sedang ditindas oleh kekerasan dan terlebih lagi oleh ketidakpedulian yang tak tahu malu, yang menjerumuskan mereka ke dalam nasib sengsara. Menghadapi tragedi-tragedi ini, kita tidak ingin tunduk, melainkan mewartakan dengan kata-kata dan perbuatan bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia, Dia yang membebaskan kita dari segala kejahatan. Semoga Roh-Nya menobatkan hati kita sehingga, dengan dibina oleh Ekaristi, khazanah tertinggi Gereja, kita dapat menjadi saksi kasih dan perdamaian.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIII (MISA KANONISASI BEATO PIER GIORGIO FRASSATI DAN BEATO CARLO ACUTIS) 7 September 2025

Bacaan Ekaristi : Keb. 9:13-18; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Flm. 9b-10,12-17; Luk. 14:25-33.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Bacaan Pertama, kita mendengar sebuah pertanyaan: [Tuhan,] "siapakah yang dapat mengetahui rencana-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan hikmat dan tidak mengutus Roh-Mu yang kudus dari surga?" (Keb 9:17). Pertanyaan ini muncul setelah dua beato muda, Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis, dinyatakan sebagai santo, dan ini merupakan penyelenggaraan ilahi karena dalam Kitab Kebijaksanaan, pertanyaan ini dikaitkan dengan seorang pemuda seperti mereka: Raja Salomo. Setelah kematian Daud, ayahnya, ia menyadari bahwa ia memiliki banyak hal: kekuasaan, kekayaan, kesehatan, kemudaan, keindahan, dan seluruh kerajaan. Justru kelimpahan sumber daya inilah yang menimbulkan pertanyaan dalam hatinya: "Apakah yang harus kulakukan supaya tidak ada yang terbuang?" Salomo memahami bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban adalah dengan memohon kepada Allah karunia yang semakin besar, karunia hikmat-Nya, agar ia dapat mengetahui rencana Allah dan mengikutinya dengan setia. Sesungguhnya, ia menyadari bahwa hanya dengan cara inilah segala sesuatu akan menemukan tempatnya dalam rencana Tuhan yang agung. Ya, karena risiko terbesar dalam hidup adalah menyia-nyiakannya di luar rencana Allah.

 

Dalam Bacaan Injil Yesus juga berbicara kepada kita tentang sebuah rencana yang harus kita tekuni dengan sepenuh hati. Ia berkata:,"Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku" (Luk. 14:27); dan kemudian, "tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku" (ayat 33). Ia memanggil kita untuk menyerahkan diri kita tanpa ragu kepada petualangan yang Ia tawarkan kepada kita, dengan kecerdasan dan kekuatan yang berasal dari Roh-Nya, yang dapat kita terima sejauh kita mengosongkan diri dari hal dan gagasan yang melekat pada diri kita, agar dapat mendengarkan sabda-Nya.

 

Banyak orang muda, selama berabad-abad, harus menghadapi persimpangan jalan ini dalam hidup mereka. Pikirkanlah Santo Fransiskus dari Asisi, seperti Salomo, ia juga muda dan kaya raya, haus akan kemuliaan dan ketenaran. Itulah sebabnya ia pergi berperang, berharap untuk diberi gelar kebangsawanan dan dihiasi dengan kehormatan. Tetapi Yesus menampakkan diri kepadanya di tengah jalan dan memintanya untuk merenungkan apa yang sedang ia lakukan. Menyadari kembali, ia mengajukan pertanyaan sederhana kepada Allah, "Tuhan, apa yang Engkau inginkan agar aku perbuat?" (Kisah Tiga Sahabat, bab II: Fonti Francescane, 1401). Dari sana, ia mengubah hidupnya dan mulai menulis kisah yang berbeda: kisah indah tentang kekudusan yang kita semua tahu, menanggalkan segalanya untuk mengikut Tuhan (bdk. Luk 14:33), hidup dalam kemiskinan dan lebih memilih mengasihi saudara-saudarinya, terutama yang paling lemah dan kecil, daripada emas, perak, dan kain berharga milik ayahnya.

 

Betapa banyaknya santo-santa serupa yang dapat kita ingat! Terkadang kita menggambarkan mereka sebagai tokoh-tokoh besar, lupa bahwa bagi mereka semuanya berawal ketika, semasa muda, mereka mengatakan "ya" kepada Allah dan menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada-Nya, tanpa menyimpan apa pun untuk diri mereka sendiri. Santo Agustinus menceritakan bahwa, dalam "simpul kehidupan yang berliku-liku dan kusut", sebuah suara di lubuk hatinya berkata, "Aku menginginkan engkau" (Pengakuan-pengakuan, II, 10,18). Allah memberinya arah baru, jalan baru, alasan baru, yang di dalamnya tak ada satu pun dari hidupnya yang terbuang sia-sia.

 

Dalam konteks ini, hari ini kita memandang Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis: seorang pemuda dari awal abad ke-20 dan seorang remaja dari zaman kita, keduanya mengasihi Yesus dan siap memberikan segalanya bagi-Nya.

 

Pier Giorgio bertemu Tuhan melalui kelompok sekolah dan gereja — Aksi Katolik, Konferensi Santo Vinsensius, FUCI (Federasi Universitas Katolik Italia), Ordo Ketiga Dominikan — dan ia memberikan kesaksian tentang Allah dengan sukacita hidupnya serta menjadi seorang kristiani dalam doa, persahabatan, dan kasih. Hal ini begitu nyata sehingga ketika melihatnya berjalan di jalanan Kota Turin dengan gerobak sarat bantuan untuk kaum miskin, teman-temannya menamainya "Frassati Impresa Trasporti" (Perusahaan Transportasi Frassati)! Bahkan hingga kini, kehidupan Pier Giorgio menjadi mercusuar bagi spiritualitas awam. Baginya, iman bukanlah devosi pribadi, melainkan didorong oleh kuasa Injil dan keanggotaannya dalam perkumpulan-perkumpulan gerejawi. Dengan murah hati ia juga mengabdikan diri kepada masyarakat, berkontribusi dalam kehidupan politik, dan mengabdikan dirinya dengan penuh semangat untuk melayani kaum miskin.

 

Carlo sendiri berjumpa dengan Yesus dalam keluarganya, berkat kedua orang tuanya, Andrea dan Antonia — yang hari ini hadir di sini bersama kedua saudari kandungnya, Francesca dan Michele — dan kemudian di sekolah, dan terutama dalam sakramen-sakramen yang dirayakan dalam komunitas paroki. Ia tumbuh besar dengan memadukan doa, olahraga, studi, dan amal kasih ke dalam kehidupan masa kecil dan masa mudanya.

 

Baik Pier Giorgio maupun Carlo membina kasih mereka kepada Allah dan saudara-saudari mereka melalui tindakan-tindakan sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa pun: Misa harian, doa, dan khususnya Adorasi Ekaristi. Carlo biasa berkata, “Di hadapan matahari, kulitmu menjadi coklat. Di hadapan Ekaristi, engkau menjadi orang kudus!” Dan kemudian, “Kesedihan adalah memandang dirimu sendiri; kebahagiaan adalah memandang Allah. Pertobatan tidak lebih dari sekadar mengalihkan pandangan dari bawah ke atas; gerakan mata yang sederhana saja sudah cukup.” Praktik penting lainnya bagi mereka adalah Pengakuan Dosa yang sering. Carlo menulis: “Satu-satunya hal yang benar-benar perlu kita takuti adalah dosa;” dan ia takjub karena — dalam kata-katanya sendiri — “orang-orang begitu peduli dengan keindahan tubuh mereka dan tidak peduli dengan keindahan jiwa mereka.” Akhirnya, keduanya memiliki devosi yang besar kepada para kudus dan Perawan Maria, dan mereka mempraktikkan amal kasih dengan murah hati. Pier Giorgio berkata, “Di sekitar orang miskin dan orang sakit, saya melihat cahaya yang tidak kita miliki” (Nicola Gori, Al prezzo della vita: L’Osservatore romano, 11 Februari 2021). Ia menyebut amal kasih sebagai “landasan agama kita” dan, seperti Carlo, ia mempraktikkannya terutama melalui gestur kecil dan nyata, yang seringkali tersembunyi, menghidupi apa yang disebut Paus Fransiskus “kekudusan dari pintu sebelah” (Anjuran Apostolik Gaudete et Exsultate, 7).

 

Bahkan ketika penyakit menyerang dan memperpendek usia muda mereka, hal itu tidak menghentikan mereka atau menghalangi mereka untuk mengasihi, mempersembahkan diri kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya untuk diri mereka sendiri dan untuk semua orang. Suatu hari Pier Giorgio berkata, "Hari kematianku akan menjadi hari terindah dalam hidupku" (Irene Funghi, I giovani assieme a Frassati: un compagno nei nostri cammini tortuosi: Avvenire, 2 Agustus 2025). Dalam foto terakhirnya, yang memperlihatkan dirinya sedang mendaki gunung di Val di Lanzo, dengan wajah menghadap ke tujuannya, ia menulis, "Ke atas" (idem). Lebih lanjut, Carlo, yang bahkan lebih muda dari Pier Giorgio, gemar mengatakan bahwa surga selalu menanti kita, dan mencintai hari esok berarti memberikan yang terbaik dari buah kita hari ini.

 

Sahabat-sahabat terkasih, Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis merupakan undangan bagi kita semua, terutama kaum muda, untuk tidak menyia-nyiakan hidup kita, melainkan mengarahkannya ke atas dan menjadikannya mahakarya. Mereka menyemangati kita dengan kata-kata mereka: "Bukan aku, melainkan Allah," sebagaimana biasa dikatakan Carlo. Dan Pier Giorgio: "Jika engkau menjadikan Allah sebagai pusat segala tindakanmu, maka engkau akan mencapai tujuan." Inilah rumusan sederhana namun jitu dari kekudusan mereka. Inilah juga jenis kesaksian yang harus kita ikuti, agar dapat menikmati hidup sepenuhnya dan bertemu Tuhan dalam perjamuan surgawi.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2025)