Bacaan
Ekaristi : Hab. 1:2-3; 2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk.
17:5-10.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini kita merayakan Yubileum Migran dan Dunia Misioner. Ini adalah kesempatan
yang luar biasa untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan misioner
kita, yang muncul dari keinginan untuk membawa sukacita dan penghiburan Injil
kepada semua orang, terutama mereka yang sedang mengalami situasi sulit dan
menyakitkan. Secara khusus, saya memikirkan saudara-saudari kita para migran,
yang harus meninggalkan tanah air mereka, seringkali meninggalkan orang-orang
yang mereka kasihi, menanggung malam yang penuh ketakutan dan kesepian, serta
mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung.
Kita
berada di sini, di makam Rasul Petrus, karena kita masing-masing hendaknya
dapat berkata dengan sukacita: seluruh Gereja misioner, dan sangatlah mendesak
– sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus – agar kita “pergi keluar dan
memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala
kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 23).
Roh
Kudus mengutus kita untuk melanjutkan karya Kristus di pinggiran dunia, yang
terkadang ditandai oleh perang, ketidakadilan, dan penderitaan. Menghadapi
situasi-situasi yang mengancam ini, teriakan yang begitu sering dalam sejarah
telah dikumandangkan kepada Allah telah muncul kembali: Tuhan, mengapa Engkau
tidak turun tangan? Mengapa Engkau seolah-olah tidak hadir? Teriakan dukacita
ini merupakan bentuk doa yang meresapi seluruh Kitab Suci dan, pagi ini, kita
mendengarnya dari Nabi Habakuk: “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak,
tetapi tidak Kaudengar ...? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan,
dan memandangi saja kelaliman?” (Hab 1:2-3).
Paus
Benediktus XVI, yang telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini selama
kunjungan bersejarahnya ke Auschwitz, kembali ke tema tersebut dalam sebuah katekese,
dengan menegaskan: “Allah diam dan keheningan ini menusuk jiwa orang yang
berdoa, yang terus-menerus memanggil tetapi tidak menerima jawaban … Allah
tampak sangat jauh, sangat pelupa, sangat tidak hadir” (Katekese, 14 September 2011).
Namun,
tanggapan Tuhan membuka pengharapan kita. Jika nabi mengecam kekuatan jahat
yang tak terhindarkan yang tampaknya merajalela, Tuhan, di pihak-Nya,
menyatakan kepadanya bahwa semua ini akan berakhir, akan berhenti, karena
keselamatan akan datang dan tak akan tertunda: "Sesungguhnya, orang yang
membusungkna dadfa tidak lurus hatinya, tetapi orang benar akan hidup oleh
percayanya" (Hab 2:4).
Oleh
karena itu, ada kehidupan, kemungkinan baru untuk kehidupan dan keselamatan
yang berasal dari iman, karena iman tidak hanya membantu kita melawan kejahatan
dan bertekun dalam berbuat baik, tetapi juga mengubah hidup kita sehingga
menjadikannya sarana keselamatan yang bahkan hingga saat ini ingin Allah
wujudkan di dunia. Dan, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, hal ini
tentang kekuatan yang sederhana, karena iman tidak memaksakan diri dengan
kekuasaan dan dengan cara-cara yang luar biasa. Sungguh, cukuplah memiliki iman
sebesar biji sesawi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan (bdk. Luk
17:6), karena iman mengandung kekuatan kasih Allah yang membuka jalan menuju
keselamatan.
Inilah
keselamatan yang tergenapi ketika kita mengambil tanggung jawab dan, dengan
belas kasih Injil, peduli terhadap penderitaan sesama; inilah keselamatan yang
memimpin jalan, secara diam-diam dan tampaknya tanpa hasil, dalam kata-kata dan
tindakan sehari-hari, yang menjadi persis seperti benih kecil yang dibicarakan
Yesus; inilah keselamatan yang perlahan-lahan bertumbuh ketika kita menjadi
"hamba yang tidak layak", yaitu ketika kita menempatkan diri kita
dalam pelayanan Injil dan saudara-saudari kita, tidak mencari kepentingan kita
sendiri tetapi hanya membawa kasih Allah ke dunia.
Dengan
meyakini hal ini, kita dipanggil untuk memperbarui api panggilan misioner kita.
Sebagaimana ditegaskan Santo Paulus VI, “mewartakan Injil di kurun sejarah
manusia yang luar biasa ini, suatu masa yang sungguh belum pernah terjadi
sebelumnya, di mana, di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya,
terdapat pula kedalaman kebingungan dan keputusasaan yang juga belum pernah
terjadi sebelumnya merupakan tanggung jawab kita” (Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia, 25 Juni 1971).
Saudara-saudari,
hari ini sebuah era misioner baru terbuka dalam sejarah Gereja.
Jika
selama ini kita mengaitkan misi dengan kata "pergi", yaitu pergi ke
negeri yang jauh yang belum mengenal Injil atau yang mengalami kemiskinan, kini
batas-batas misi tidak lagi geografis, karena kemiskinan, penderitaan, dan
kerinduan akan pengharapan yang lebih besar telah menghampiri kita. Kisah
begitu banyak saudara-saudari kita para migran menjadi saksi akan hal ini:
tragedi pelarian mereka dari kekerasan, penderitaan yang menyertainya,
ketakutan akan kegagalan, risiko berbahaya berlayar di sepanjang garis pantai,
teriakan duka dan keputusasaan mereka. Saudara-saudari, perahu-perahu yang
berharap menemukan pelabuhan yang aman, dan mata yang dipenuhi kesedihan dan
pengharapan yang berusaha mencapai pantai, tidak dapat dan tidak boleh
menemukan dinginnya ketidakpedulian atau stigma diskriminasi!
Misi
bukan tentang "pergi", melainkan "tetap tinggal" untuk
mewartakan Kristus melalui keramahtamahan dan penyambutan, belas kasih, dan
kesetiakawanan. Kita harus tetap tinggal tanpa lari menuju kenyamanan
individualisme kita; tetap tinggal untuk memperhatikan mereka yang datang dari
negeri yang jauh dan penuh kekerasan; tetap tinggal dan membuka tangan serta
hati kita bagi mereka, menyambut mereka sebagai saudara-saudari, dan menjadi
penghiburan serta pengharapan bagi mereka.
Banyak
misionaris, baik pria maupun wanita, tetapi juga umat beriman dan orang-orang
beritikad baik, yang bekerja melayani para migran, dan mempromosikan budaya
persaudaraan baru dengan tema migrasi, melampaui stereotip dan prasangka.
Namun, pelayanan yang berharga ini melibatkan kita masing-masing, dalam batasan
kemampuan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, inilah saatnya
bagi kita semua untuk membiarkan diri kita "berada dalam situasi perutusan
yang permanen" (Evangelii Guadium,
25).
Hal
ini setidaknya mencakup dua tugas misioner yang penting: kerja sama misioner
dan panggilan misioner.
Pertama-tama,
saya memintamu untuk mengembangkan kerja sama misioner yang diperbarui di
antara Gereja-Gereja. Dalam komunitas-komunitas tradisi kristiani kuno, seperti
di Barat, kehadiran banyak saudara dan saudari dari belahan dunia Selatan
hendaknya disambut sebagai sebuah kesempatan, melalui pertukaran yang
memperbarui wajah Gereja dan menopang kekristenan yang lebih terbuka, lebih
hidup, dan lebih dinamis. Pada saat yang sama, semua misionaris yang berangkat
ke negeri-negeri lain dipanggil untuk hidup menghormati budaya yang mereka
jumpai, mengarahkan kepada kebaikan segala sesuatu yang dianggap benar dan
berharga, dan membawa pesan kenabian Injil ke sana.
Saya
ingin mengenang keindahan dan pentingnya panggilan misioner. Secara khusus saya
merujuk pada Gereja di Eropa: saat ini dibutuhkan upaya misioner baru oleh kaum
awam, religius, dan imam yang akan mempersembahkan pelayanan mereka di
negeri-negeri misioner. Kita membutuhkan gagasan dan pengalaman panggilan baru
yang mampu menopang hasrat ini, terutama di kalangan kaum muda.
Sahabat-sahabat
terkasih, dengan tulus saya memberikan berkat saya kepada para klerus lokal
dari Gereja-Gereja partikular, para misionaris, dan mereka yang sedang menekuni
panggilan. Sementara itu, kepada para migran, saya katakan: ketahuilah bahwa
kamu selalu diterima! Lautan dan padang gurun yang telah kamu seberangi, Kitab
Suci menyebutnya "tempat-tempat keselamatan", di mana Allah hadir
untuk menyelamatkan umat-Nya. Saya harap kamu menemukan wajah Allah ini dalam
diri para misionaris yang kamu jumpai.
Saya
memercayakan kamu semua kepada perantaraan Maria, misionaris pertama Putranya,
yang bergegas pergi ke daerah perbukitan Yudea, mengandung Yesus dalam rahimnya
dan mengabdikan dirinya untuk melayani Elisabet. Semoga Maria menopang kita,
agar kita masing-masing dapat menjadi rekan sekerja bagi Kerajaan Kristus,
Kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 5 Oktober 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.