Bacaan
Ekaristi : Mal 3:13-4:2a; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 11:5-13.
“Mintalah,
maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka
pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9). Dengan kata-kata ini, Yesus mengajak
kita untuk berpaling dengan penuh kepercayaan kepada Bapa untuk segala
kebutuhan kita.
Kata-kata
ini juga yang kita dengar saat kamu berkumpul dari seluruh dunia untuk
merayakan Yubileum Hidup Bakti. Sebagai pelaku hidup bakti, biarawan,
biarawati, pelaku hidup kontemplatif, anggota tarekat sekular dan ordo
keperawanan, pertapa, dan orang-orang yang tergabung dalam “tarekat baru,” kamu
telah datang ke Roma untuk menjalani Ziarah Yubileum bersama. Kamu telah datang
untuk memercayakan hidupmu kepada belas kasih yang sama, yang untuknya, melalui
pengakuan hidup religiusmu, kamu pernah berkomitmen untuk memberi kesaksian,
karena menghayati kaulmu berarti menyerahkan dirimu seperti anak-anak ke dalam
pelukan Bapa.
"Meminta,"
"mencari," dan "mengetuk." Ungkapan doa ini, yang
disebutkan oleh Penginjil Lukas, adalah sikap yang sudah tidak asing lagi
bagimu. Dengan menghayati nasihat Injil, kamu terbiasa meminta tanpa menuntut,
selalu taat pada tindakan Allah. Konsili Vatikan II berbicara tentang kaul
sebagai sarana yang bermanfaat supaya dapat "memperoleh buah-buah rahmat
baptis yang lebih melimpah" (Lumen Gentium, 44) bukan suatu kebetulan.
"Meminta," sesungguhnya, berarti mengakui, melalui kemiskinan, bahwa
segala sesuatu adalah karunia yang berasal dari Tuhan dan mengucap syukur
atasnya. "Mencari" berarti membuka diri, melalui ketaatan, untuk
menemukan setiap hari jalan yang harus kita tempuh dalam perjalanan menuju
kekudusan, mengikuti rencana Allah. "Mengetuk" berarti meminta dan
mempersembahkan karunia yang telah kita terima kepada saudara-saudari kita
dengan hati yang murni, berusaha mengasihi setiap orang dengan hormat dan murah
hati.
Kita
dapat membaca sabda yang disampaikan Allah kepada Nabi Maleakhi dalam Bacaan
Pertama dengan cara yang sama. Ia menyebut penduduk Yerusalem sebagai
"milik kesayangan-Ku" (Mal. 3:17) dan berkata kepada sang nabi:
"Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi
anaknya" (idem). Ungkapan ini mengingatkan kita akan kasih yang
pertama-tama telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat Ia memanggil kita.
Sebuah kesempatan, khususnya bagimu, untuk merenungkan karunia panggilanmu yang
diberikan secara cuma-cuma, dari awal mula kongregasimu hingga saat ini dan
dari langkah pertama perjalanan pribadimu hingga saat ini. Pertama dan
terutama, kita semua ada di sini karena Allah menghendakinya, dan telah memilih
kita sejak awal mula.
"Meminta,"
"mencari," dan "mengetuk" juga berarti merefleksikan hidup
kita, menanamkan dalam pikiran dan hati apa yang telah dicapai Tuhan selama
bertahun-tahun dengan melipatgandakan talenta, menguatkan dan memurnikan iman,
serta memupuk kemurahan hati dan kebebasan dalam kasih. Terkadang hal ini
dicapai dalam situasi yang penuh sukacita, dan di lain waktu dengan cara yang
lebih sulit dipahami, bahkan mungkin melalui penderitaan yang penuh misteri.
Namun, setiap saat, kita menemukan diri kita dalam pelukan kebaikan kebapaan
tersebut yang menjadi ciri khas apa yang Dia lakukan di dalam dan melalui diri kita,
demi kebaikan Gereja (bdk. Lumen Gentium, 43).
Hal
ini membawa kita pada refleksi kedua: Allah sebagai kepenuhan dan makna hidup
kita. Bagimu — bagi kami — Tuhan adalah segalanya. Ia adalah segalanya dalam
berbagai cara: sebagai Pencipta dan sumber keberadaan, sebagai kasih yang
memanggil dan menantang, sebagai kekuatan yang mendorong dan mengilhami kita
untuk memberi. Tanpa Dia, tak ada sesuatupun, tak ada yang masuk akal, tak ada
yang berharga. "Permintaan," "pencarian," dan "pengetukkan"-mu,
baik dalam doa maupun dalam kehidupan, sangat berkaitan dengan kebenaran ini.
Dalam hal ini, Santo Agustinus menggambarkan kehadiran Allah dalam hidupnya
dengan menggunakan gambaran yang indah. Ia berbicara tentang terang yang tak
terkekang oleh ruang, suara yang tak pernah pudar, makanan yang tak berkurang
meski dimakan, dan rasa lapar yang tak pernah terpuaskan, dan ia menyimpulkan:
"Inilah yang kucintai ketika aku mencintai Allahku" (Santo Agustinus,
Pengakuan-pengakuan, 10.6.8). Inilah kata-kata seorang mistikus, namun
beresonansi dengan pengalaman kita. Kata-kata ini mengungkapkan kerinduan akan
ketakterhinggaan yang bersemayam di hati semua orang. Karena itu, Gereja
memercayakanmu dengan tugas menjadi saksi hidup akan keutamaan Allah dalam
kehidupanmu. Dengan menanggalkan segala sesuatu, kamu membantu saudara-saudari
yang kamu jumpai untuk membina persahabatan ini dalam diri mereka sendiri.
Bagaimanapun,
sejarah mengajarkan kita bahwa pengalaman sejati akan Allah selalu menghasilkan
curahan kasih yang berlimpah. Hal ini terjadi dalam kehidupan para pendirimu,
orang-orang yang mengasihi Tuhan dan karena itu siap menjadi
"segala-galanya bagi semua orang" (1 Kor 9:22), tanpa terkecuali,
dalam berbagai cara dan situasi.
Memang
benar bahwa saat ini, seperti pada zaman Maleakhi, ada yang berkata,
"Sia-sialah beribadah kepada Allah" (Mal. 3:14). Cara berpikir
seperti ini menyebabkan kelumpuhan jiwa yang sesungguhnya. Kita akhirnya puas
dengan kehidupan yang hanya dipenuhi momen singkat, hubungan yang dangkal dan
terputus-putus, serta kecenderungan sesaat — hal-hal yang meninggalkan
kekosongan di hati kita. Ini bukan yang kita butuhkan untuk benar-benar
bahagia. Sebaliknya, kita membutuhkan pengalaman kasih yang konsisten,
langgeng, dan sehat. Melalui teladan hidup baktimu, kamu dapat disamakan dengan
pohon yang tumbuh subur yang kita nyanyikan dalam Mazmur Tanggapan (bdk. Mzm.
1:3), yang menyebarkan "udara segar" kasih sejati ke seluruh dunia.
Saya
ingin membahas satu aspek terakhir perutusanmu. Kita mendengar Tuhan bersabda
kepada penduduk Yerusalem, “Akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada
sayapnya,” (Mal 4:2) yang mengundang mereka untuk berharap akan penggenapan
takdir mereka melampaui masa kini. Hal ini merujuk pada dimensi eskatologis
kehidupan kristiani, yang memanggil kita untuk terlibat dalam dunia, sekaligus
senantiasa berjuang menuju kekekalan. Sebuah undangan bagimu untuk melapangkan
“permintaan,” “pencarian,” dan “pengetukkan” hidupmu melalui doa hingga
cakrawala abadi yang melampaui kenyataan dunia ini. Untuk mengarahkan mereka
menuju hari Minggu tanpa matahari terbenam ketika “seluruh umat manusia akan
masuk ke dalam... perhentian [Allah]” (Misale Romawi [edisi Italia], Prefasi
untuk Hari Minggu dalam Masa Biasa X). Dalam hal ini, Konsili Vatikan II
memercayakanmu dengan tugas khusus ketika mengatakan bahwa para pelaku hidup
bakti dipanggil secara khusus untuk memberi kesaksian tentang “harta masa
depan” (bdk. Lumen Gentium, 44).
Saudara-saudari
terkasih, Tuhan, yang kepada-Nya kamu telah memberikan segalanya, telah
menganugerahimu dengan keindahan dan kekayaan yang demikian, dan saya ingin
mendorongmu untuk menghargai dan memelihara apa yang telah kamu terima.
Akhirnya, marilah kita mengingat kata-kata Santo Paulus VI: “Jagalah,” tulisnya
kepada para pelaku hidup bakti, “kesederhanaan ‘yang terkecil’ dalam Injil.
Semoga kamu berhasil menemukan kembali hal ini dalam hubungan batin yang lebih
dekat dengan Kristus dan dalam kontak langsungmu dengan saudara-saudarimu. Kamu
kemudian akan mengalami melalui tindakan Roh Kudus kegembiraan yang meluap-luap
dari mereka yang diperkenalkan ke dalam rahasia Kerajaan Allah. Janganlah
berusaha untuk terhitung di antara orang-orang yang ‘terpelajar dan pandai’...
Rahasia seperti itu tersembunyi dari mereka. Jadilah sungguh miskin, lemah
lembut, rindu akan kekudusan, penuh belas kasih dan murni hati. Terhitunglah di
antara orang-orang yang akan membawa damai sejahtera Allah kepada dunia” (Santo
Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelica Testificatio, 29 Juni 1971, 54).
____
(Peter Suriadi - Bogor, 10 Oktober 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.