Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA YUBILEUM HIDUP BAKTI 9 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Mal 3:13-4:2a; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 11:5-13.

 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9). Dengan kata-kata ini, Yesus mengajak kita untuk berpaling dengan penuh kepercayaan kepada Bapa untuk segala kebutuhan kita.

 

Kata-kata ini juga yang kita dengar saat kamu berkumpul dari seluruh dunia untuk merayakan Yubileum Hidup Bakti. Sebagai pelaku hidup bakti, biarawan, biarawati, pelaku hidup kontemplatif, anggota tarekat sekular dan ordo keperawanan, pertapa, dan orang-orang yang tergabung dalam “tarekat baru,” kamu telah datang ke Roma untuk menjalani Ziarah Yubileum bersama. Kamu telah datang untuk memercayakan hidupmu kepada belas kasih yang sama, yang untuknya, melalui pengakuan hidup religiusmu, kamu pernah berkomitmen untuk memberi kesaksian, karena menghayati kaulmu berarti menyerahkan dirimu seperti anak-anak ke dalam pelukan Bapa.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk." Ungkapan doa ini, yang disebutkan oleh Penginjil Lukas, adalah sikap yang sudah tidak asing lagi bagimu. Dengan menghayati nasihat Injil, kamu terbiasa meminta tanpa menuntut, selalu taat pada tindakan Allah. Konsili Vatikan II berbicara tentang kaul sebagai sarana yang bermanfaat supaya dapat "memperoleh buah-buah rahmat baptis yang lebih melimpah" (Lumen Gentium, 44) bukan suatu kebetulan. "Meminta," sesungguhnya, berarti mengakui, melalui kemiskinan, bahwa segala sesuatu adalah karunia yang berasal dari Tuhan dan mengucap syukur atasnya. "Mencari" berarti membuka diri, melalui ketaatan, untuk menemukan setiap hari jalan yang harus kita tempuh dalam perjalanan menuju kekudusan, mengikuti rencana Allah. "Mengetuk" berarti meminta dan mempersembahkan karunia yang telah kita terima kepada saudara-saudari kita dengan hati yang murni, berusaha mengasihi setiap orang dengan hormat dan murah hati.

 

Kita dapat membaca sabda yang disampaikan Allah kepada Nabi Maleakhi dalam Bacaan Pertama dengan cara yang sama. Ia menyebut penduduk Yerusalem sebagai "milik kesayangan-Ku" (Mal. 3:17) dan berkata kepada sang nabi: "Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya" (idem). Ungkapan ini mengingatkan kita akan kasih yang pertama-tama telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat Ia memanggil kita. Sebuah kesempatan, khususnya bagimu, untuk merenungkan karunia panggilanmu yang diberikan secara cuma-cuma, dari awal mula kongregasimu hingga saat ini dan dari langkah pertama perjalanan pribadimu hingga saat ini. Pertama dan terutama, kita semua ada di sini karena Allah menghendakinya, dan telah memilih kita sejak awal mula.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk" juga berarti merefleksikan hidup kita, menanamkan dalam pikiran dan hati apa yang telah dicapai Tuhan selama bertahun-tahun dengan melipatgandakan talenta, menguatkan dan memurnikan iman, serta memupuk kemurahan hati dan kebebasan dalam kasih. Terkadang hal ini dicapai dalam situasi yang penuh sukacita, dan di lain waktu dengan cara yang lebih sulit dipahami, bahkan mungkin melalui penderitaan yang penuh misteri. Namun, setiap saat, kita menemukan diri kita dalam pelukan kebaikan kebapaan tersebut yang menjadi ciri khas apa yang Dia lakukan di dalam dan melalui diri kita, demi kebaikan Gereja (bdk. Lumen Gentium, 43).

 

Hal ini membawa kita pada refleksi kedua: Allah sebagai kepenuhan dan makna hidup kita. Bagimu — bagi kami — Tuhan adalah segalanya. Ia adalah segalanya dalam berbagai cara: sebagai Pencipta dan sumber keberadaan, sebagai kasih yang memanggil dan menantang, sebagai kekuatan yang mendorong dan mengilhami kita untuk memberi. Tanpa Dia, tak ada sesuatupun, tak ada yang masuk akal, tak ada yang berharga. "Permintaan," "pencarian," dan "pengetukkan"-mu, baik dalam doa maupun dalam kehidupan, sangat berkaitan dengan kebenaran ini. Dalam hal ini, Santo Agustinus menggambarkan kehadiran Allah dalam hidupnya dengan menggunakan gambaran yang indah. Ia berbicara tentang terang yang tak terkekang oleh ruang, suara yang tak pernah pudar, makanan yang tak berkurang meski dimakan, dan rasa lapar yang tak pernah terpuaskan, dan ia menyimpulkan: "Inilah yang kucintai ketika aku mencintai Allahku" (Santo Agustinus, Pengakuan-pengakuan, 10.6.8). Inilah kata-kata seorang mistikus, namun beresonansi dengan pengalaman kita. Kata-kata ini mengungkapkan kerinduan akan ketakterhinggaan yang bersemayam di hati semua orang. Karena itu, Gereja memercayakanmu dengan tugas menjadi saksi hidup akan keutamaan Allah dalam kehidupanmu. Dengan menanggalkan segala sesuatu, kamu membantu saudara-saudari yang kamu jumpai untuk membina persahabatan ini dalam diri mereka sendiri.

 

Bagaimanapun, sejarah mengajarkan kita bahwa pengalaman sejati akan Allah selalu menghasilkan curahan kasih yang berlimpah. Hal ini terjadi dalam kehidupan para pendirimu, orang-orang yang mengasihi Tuhan dan karena itu siap menjadi "segala-galanya bagi semua orang" (1 Kor 9:22), tanpa terkecuali, dalam berbagai cara dan situasi.

 

Memang benar bahwa saat ini, seperti pada zaman Maleakhi, ada yang berkata, "Sia-sialah beribadah kepada Allah" (Mal. 3:14). Cara berpikir seperti ini menyebabkan kelumpuhan jiwa yang sesungguhnya. Kita akhirnya puas dengan kehidupan yang hanya dipenuhi momen singkat, hubungan yang dangkal dan terputus-putus, serta kecenderungan sesaat — hal-hal yang meninggalkan kekosongan di hati kita. Ini bukan yang kita butuhkan untuk benar-benar bahagia. Sebaliknya, kita membutuhkan pengalaman kasih yang konsisten, langgeng, dan sehat. Melalui teladan hidup baktimu, kamu dapat disamakan dengan pohon yang tumbuh subur yang kita nyanyikan dalam Mazmur Tanggapan (bdk. Mzm. 1:3), yang menyebarkan "udara segar" kasih sejati ke seluruh dunia.

 

Saya ingin membahas satu aspek terakhir perutusanmu. Kita mendengar Tuhan bersabda kepada penduduk Yerusalem, “Akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada sayapnya,” (Mal 4:2) yang mengundang mereka untuk berharap akan penggenapan takdir mereka melampaui masa kini. Hal ini merujuk pada dimensi eskatologis kehidupan kristiani, yang memanggil kita untuk terlibat dalam dunia, sekaligus senantiasa berjuang menuju kekekalan. Sebuah undangan bagimu untuk melapangkan “permintaan,” “pencarian,” dan “pengetukkan” hidupmu melalui doa hingga cakrawala abadi yang melampaui kenyataan dunia ini. Untuk mengarahkan mereka menuju hari Minggu tanpa matahari terbenam ketika “seluruh umat manusia akan masuk ke dalam... perhentian [Allah]” (Misale Romawi [edisi Italia], Prefasi untuk Hari Minggu dalam Masa Biasa X). Dalam hal ini, Konsili Vatikan II memercayakanmu dengan tugas khusus ketika mengatakan bahwa para pelaku hidup bakti dipanggil secara khusus untuk memberi kesaksian tentang “harta masa depan” (bdk. Lumen Gentium, 44).

 

Saudara-saudari terkasih, Tuhan, yang kepada-Nya kamu telah memberikan segalanya, telah menganugerahimu dengan keindahan dan kekayaan yang demikian, dan saya ingin mendorongmu untuk menghargai dan memelihara apa yang telah kamu terima. Akhirnya, marilah kita mengingat kata-kata Santo Paulus VI: “Jagalah,” tulisnya kepada para pelaku hidup bakti, “kesederhanaan ‘yang terkecil’ dalam Injil. Semoga kamu berhasil menemukan kembali hal ini dalam hubungan batin yang lebih dekat dengan Kristus dan dalam kontak langsungmu dengan saudara-saudarimu. Kamu kemudian akan mengalami melalui tindakan Roh Kudus kegembiraan yang meluap-luap dari mereka yang diperkenalkan ke dalam rahasia Kerajaan Allah. Janganlah berusaha untuk terhitung di antara orang-orang yang ‘terpelajar dan pandai’... Rahasia seperti itu tersembunyi dari mereka. Jadilah sungguh miskin, lemah lembut, rindu akan kekudusan, penuh belas kasih dan murni hati. Terhitunglah di antara orang-orang yang akan membawa damai sejahtera Allah kepada dunia” (Santo Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelica Testificatio, 29 Juni 1971, 54).

____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Oktober 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.