Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVIII (MISA YUBILEUM SPIRITUALITAS MARIA) 12 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Rasul Paulus menasihati kita masing-masing hari ini, seperti yang ia lakukan kepada Timotius: "Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud" (2 Tim 2:8). Spiritualitas Maria, yang memelihara iman kita, berpusat pada Yesus. Spiritualitas ini bagaikan hari Minggu, yang membuka setiap pekan baru dalam cahaya kebangkitan-Nya dari antara orang mati. "Ingatlah akan Yesus Kristus": hanya ini yang hakiki; inilah yang membedakan spiritualitas manusia dari jalan Allah. "Dibelenggu seperti seorang penjahat" (ayat 9), Paulus mendesak kita untuk tidak melupakan apa yang hakiki, dan tidak mencoreng nama Yesus dari sejarah dan salibnya. Apa yang kita anggap tak terpuji dan kita salibkan, dibangkitkan Allah karena "Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya" (ayat 13). Yesus adalah kesetiaan Allah, kesetiaan Allah kepada diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, perayaan hari Minggu hendaknya menjadikan kita orang kristiani. Perayaan ini hendaknya memenuhi pikiran dan perasaan kita dengan ingatan membara akan Yesus dan mengubah cara kita hidup bersama serta cara kita menghuni bumi. Setiap spiritualitas kristiani mengalir dari api ini dan membantu menjaganya tetap hidup.

 

Bacaan dari Kitab 2 Raja-Raja (5:14-17) menceritakan penyembuhan Na'aman, orang Siria. Yesus sendiri merujuk pada bagian ini ketika Ia berada di rumah ibadat di Nazaret (bdk. Luk 4:27), dan penafsiran-Nya mengakibatkan kebingungan pada orang-orang di kota asal-Nya. Mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan seorang asing yang menderita sakit kulit menular, dan bukan banyak orang yang menderita sakit kulit menular di Israel, membuat mereka menentang-Nya: “Mendengar hal itu semua orang di rumah ibadat itu sangat marah. Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:28-29). Penginjil Lukas tidak menyebutkan kehadiran Maria. Ia mungkin hadir untuk menyaksikan apa yang dinyatakan Simeon yang telah lanjut umur kepadanya ketika ia membawa bayi Yesus yang baru lahir ke Bait Suci: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:34-35).

 

Ya, sahabat-sahabat terkasih, “firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk sangat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup menilai pikiran dan niat hati kita” (Ibr 4:12). Paus Fransiskus menganggap kisah Na'aman, orang Siria, sebagai pesan yang relevan dan tajam bagi kehidupan Gereja. Berbicara kepada Kuria Roma, beliau mengatakan, “Na'aman terpaksa hidup dalam situasi yang tragis: ia menderita penyakit kulit menular. Baju zirahnya, yang telah membuatnya terkenal, pada kenyataannya menutupi kemanusiaan yang rapuh, terluka, dan berpenyakit. Kita sering menemukan kontradiksi ini dalam hidup kita: terkadang karunia yang luar biasa adalah baju zirah yang menutupi kelemahan yang besar. [...] Jika Na'aman terus mengumpulkan medali untuk menghiasi baju zirahnya, pada akhirnya ia akan dilahap oleh penyakit kulitnya: tampak hidup, namun terkurung dan terasing dalam penyakitnya.”[1] Yesus membebaskan kita dari bahaya ini. Ia tidak mengenakan baju zirah; sebaliknya ia lahir dan mati telanjang. Ia menawarkan karunia-Nya tanpa memaksa orang yang berpenyakit kulit menular yang disembuhkan untuk mengakui-Nya: hanya orang Samaria dalam Bacaan Injil yang tampaknya menyadari bahwa ia telah diselamatkan (bdk. Luk. 17:11-19). Barangkali, semakin sedikit gelar yang kita banggakan, semakin jelas bahwa kasih itu cuma-cuma. Allah adalah karunia murni dan rahmat semata. Namun, betapa banyak suara dan keyakinan yang dapat memisahkan kita, bahkan hingga hari ini, dari kebenaran yang sesungguhnya dan revolusioner ini!

 

Saudara-saudari, spiritualitas Maria melayani Injil: ia mengungkapkan kesederhanaannya. Kasih sayang kita kepada Maria dari Nazaret menuntun kita untuk bergabung dengannya menjadi murid Yesus. Ia mengajarkan kita untuk kembali kepada-Nya serta memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa hidup kita di mana Yesus yang bangkit masih datang kepada kita dan memanggil kita. Spiritualitas Maria membenamkan kita dalam sejarah yang di atasnya surga terbuka. Ia membantu kita melihat orang yang congkak hatinya tercerai-berai dalam keangkuhan mereka, orang yang berkuasa diturunkan dari takhtanya, dan orang yang kaya disuruh pergi dengan tangan hampa. Ia mendorong kita untuk melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, meninggikan orang yang rendah, mengingat rahmat Allah, dan percaya pada kuasa tangan-Nya (bdk. Luk 1:51-54). Yesus mengundang kita untuk menjadi bagian dari Kerajaan-Nya, sebagaimana Ia meminta Maria untuk mengatakan "ya," yang, setelah mengatakannya, ia perbarui setiap hari.

 

Para penderita penyakit kulit dalam Bacaan Injil yang tidak kembali untuk mengucap syukur mengingatkan kita bahwa rahmat Allah dapat menyentuh kita dan tidak menemukan tanggapan. Rahmat itu dapat menyembuhkan kita, namun kita masih bisa gagal menerimanya. Karena itu, marilah kita berhati-hati untuk tidak pergi ke Bait Suci dengan cara yang tidak menuntun kita untuk mengikuti Yesus. Beberapa bentuk ibadah tidak memupuk persekutuan dengan orang lain dan dapat mematikan hati kita. Dalam kasus ini, kita gagal untuk berjumpa orang-orang yang telah ditempatkan Allah dalam hidup kita. Kita gagal untuk berkontribusi, seperti yang dilakukan Maria, untuk mengubah dunia, dan ambil bagian dalam sukacita Magnificat. Marilah kita berhati-hati untuk menghindari eksploitasi iman apa pun yang dapat mengarah pada perbedaan pelabelan — seringkali orang miskin — sebagai musuh, "penderita penyakit kulit" harus dihindari dan disingkirkan.

 

Jalan Maria mengikuti jalan Yesus, yang menuntun kita untuk menjumpai setiap manusia, terutama mereka yang miskin, terluka, dan berdosa. Karena itu, spiritualitas Maria yang autentik memancarkan kelembutan Allah, jalan-Nya adalah "menjadi seorang ibu," menjadi terang dalam Gereja. Sebagaimana kita baca dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, "setiap kali kita memandang Maria, kita percaya sekali lagi akan daya revolusioner kasih dan kelembutan. Di dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting. Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena 'menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya' dan 'menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa' (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa semangat dalam usaha kita meraih keadilan." (no. 288).

 

Sahabat-sahabat terkasih, di dunia yang sedang mencari keadilan dan perdamaian, marilah kita menghidupkan kembali spiritualitas kristiani dan devosi umat kepada peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat yang diberkati Allah yang telah mengubah muka bumi selamanya. Marilah kita menggunakannya sebagai penggerak pembaruan dan transformasi. Sungguh, Yubileum yang kita rayakan menyerukan masa pertobatan dan pemulihan, masa refleksi dan pembebasan. Semoga Santa Maria, pengharapan kita, menjadi perantara kita dan terus menuntun kita kepada Yesus, Tuhan yang tersalib. Di dalam Dia, ada keselamatan bagi semua orang.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.