Bacaan
Ekaristi : 1Sam 15:16-23; Mrk 2:18-22
Dalam homilinya pada Misa Senin pagi 20 Januari 2014 Paus Fransiskus merenungkan
tema kebebasan Kristiani, meninjau bahwa kebebasan
tersebut
datang dari kepatuhan dan kesediaan untuk menerima "kebaruan" dan "kejutan-kejutan Allah". "Sabda Allah hidup dan oleh karena itu datang serta
mengatakan apa yang ingin Ia katakan : bukan apa
yang saya inginkan untuk dikatakan, atau bukan apa yang saya harapkan untuk dikatakan", ujar Paus
Fransiskus. Beliau menambahkan bahwa itu merupakan sebuah sabda "yang bebas" yang juga "sebuah kejutan, karena Allah kita adalah Allah kejutan-kejutan". Mengarahkan pikirannya kepada mereka yang hadir di Casa Santa Marta,
Vatikan, Paus Fransiskus mengawali
homilinya dengan berfokus pada pentingnya memiliki sikap "keterbukaan" agar benar-benar menerima Sabda Allah.
"Sabda Allah hidup dan aktif, memahami pikiran dan niat hati", Paus mencatat, lalu menambahkan bahwa kebebasan Kristen berasal dari "kepatuhan" terhadap sabda ini, dan oleh karena ini kita harus selalu bersegera dalam menerima "kebaruan" Injil maupun "kejutan-kejutan Allah". "Injil adalah kebaruan. Pewahyuan adalah kebaruan. Allah kita adalah Allah yang selalu menjadikan hal-hal baru dan meminta dari kita kepatuhan terhadap kebaruan-Nya ini", Paus menekankan.
"Yesus jelas dalam hal ini, Dia sangat jelas : anggur baru ke dalam kantong kulit baru", tegas Paus, mengingatkan tanggapan Yesus pada bacaan Injil hari itu, yang diambil dari Markus (2:18-22), kepada mereka yang mempertanyakan mengapa murid-murid-Nya tidak berpuasa seperti yang lain. "Allah membawa anggur, tetapi anggur itu harus diterima dengan keterbukaan terhadap kebaruan ini", beliau melanjutkan, yang menggarisbawahi bahwa keterbukaan ini "disebut kepatuhan".
Paus Fransiskus kemudian mendesak mereka yang hadir untuk bertanya pada diri mereka sendiri "apakah saya taat kepada Sabda Allah atau apakah saya selalu melakukan apa yang saya percayai sebagai Sabda Allah? Atau apakah saya masih melewatkan Sabda Allah dan pada akhirnya sesuatu yang lain dari apa yang Allah inginkan untuk dilakukan?". Jika kita melakukan ini, beliau mengamati, kita "akhirnya seperti secarik kain baru pada baju yang tua, dan koyaknya semakin besar", lagi-lagi mengacu pada bacaan Injil hari itu, menambahkan bahwa untuk "menyesuaikan terhadap Sabda Allah dalam rangka menerimanya" membutuhkan "sikap asketik penuh".
"Ketika saya ingin
mengambil listrik dari sumber listrik, jika alat yang saya miliki tidak
bekerja, saya mencari sebuah penyesuai", Paus menjelaskan. "Kita harus selalu berusaha untuk menyesuaikan diri kita, menyesuaikan diri
kita terhadap
kebaruan Sabda Allah ini, terbuka terhadap kebaruan".
Mengingatkan
percakapan antara Saul dan Samuel dalam bacaan pertama hari itu, yang diambil
dari Kitab Pertama Samuel (15:16-23), yang di dalamnya Nabi Samuel sangat
mencela Saul karena tidak mematuhi Tuhan, Paus menyatakan bahwa "Saul,
justru orang pilihan Allah, orang yang diurapi Allah, telah melupakan bahwa
Allah adalah kejutan dan kebaruan". "Ia telah
lupa", Paus mencatat, "ia tertutup dalam pikirannya, dalam rancangannya, dan dengan demikian ia berpikir dengan suatu cara manusiawi".
Menjelaskan bagaimana, selama masa Saul, harta yang diambil dari sebuah pertempuran yang jaya sering digunakan sebagai sebuah korban, Paus menggarisbawahi bahwa ketika raja memutuskan bahwa hewan-hewan yang telah mereka menangkan akan merupakan "bagi Tuhan", ia "berpikir dengan pikirannya, dengan hatinya, tertutup dalam kebiasaan-kebiasaannya".
"Allah kita", Paus menyatakan, bukan "Allah kebiasaan-kebiasaan : Ia adalah Allah kejutan-kejutan", dan menambahkan bahwa Saul "tidak menaati Sabda Allah" dan "tidak taat terhadap Sabda Allah". "Pemberontakan, tidak menaati Sabda Allah, adalah suatu dosa peramalan", beliau meninjau, dan "ketegaran, kekeraskepalaan melakukan apa yang Anda inginkan dan bukan apa yang Allah inginkan, adalah dosa penyembahan berhala". Hal-hal ini dapat mendorong kita berpikir tentang apa sesungguhnya "kebebasan Kristiani", dan "apa ketaatan Kristiani", Paus merenungkan, menekankan bahwa "kebebasan Kristiani dan kepatuhan Kristiani taat kepada Sabda Allah".
"Miliki keberanian menjadi kantong kulit
yang baru ini, karena anggur baru yang datang terus-menerus ini", beliau lalu mengatakan, menambahkan bahwa itu adalah "keberanian
selalu memahami : memahami, maksud saya, tidak menisbikan". "Pahami selalu apa yang dilakukan
Roh Kudus dalam hati
saya, apa yang diinginkan Roh Kudus dalam hati saya, di mana Roh Kudus menuntun saya dalam hati saya. Pahami
dan tasti”. Paus Fransiskus mengakhiri homilinya dengan berdoa agar
semua orang boleh menerima "karunia kepatuhan terhadap Sabda Allah, Sabda
ini yang hidup dan efektif, yang memahami perasaan dan pikiran hati".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.