Bacaan
Ekaristi : Kis 2:42-47;1Ptr 1:3-9; Yoh 20:19-31
Pokok hari Minggu ini, yang mengakhiri Oktaf Paskah dan yang
ingin didedikasikan oleh Yohanes Paulus II bagi Kerahiman Ilahi, adalah luka-luka mulia
dari Yesus yang bangkit.
Ia sudah menunjukkan luka-luka itu ketika Ia pertama kali menampakkan diri kepada para Rasul pada larut malam hari setelah Sabat itu, hari kebangkitan. Namun Tomas tidak ada di sana malam itu, dan ketika rasul-rasul lain mengatakan kepadanya bahwa mereka telah melihat Tuhan, ia menjawab bahwa jika tidak ia sendiri melihat dan menyentuh luka-luka itu, ia tidak akan percaya. Seminggu kemudian, Yesus menampakkan diri sekali lagi kepada para murid yang berkumpul di Ruang Atas, dan Tomas hadir; Yesus berpaling kepadanya dan menyuruhnya untuk menyentuh luka-luka-Nya. Kemudian orang itu, yang begitu mudah dan terbiasa menguji segala sesuatu secara pribadi, berlutut di depan Yesus dengan kata-kata: "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh 20:28).
Luka-luka Yesus adalah
sebuah skandal, sebuah batu
sandungan bagi iman, namun mereka juga merupakan ujian iman. Itulah sebabnya pada tubuh Kristus yang bangkit luka-luka
itu tidak
pernah hilang : mereka tetap
ada, karena
luka-luka itu adalah tanda abadi kasih Allah bagi
kita. Mereka sangat
penting untuk percaya
pada Allah. Bukan untuk percaya
bahwa Allah itu ada, tetapi untuk percaya bahwa
Allah adalah kasih, kerahiman dan kesetiaan. Santo Petrus, mengutip Yesaya,
menulis kepada orang-orang Kristiani : "oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh" (1 Ptr 2:24, bdk. Yes 53:5).
Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II tidak takut memandang luka-luka Yesus, menyentuh tangan-Nya
yang terkoyak dan lambung-Nya yang
tertikam. Mereka tidak
malu akan
tubuh Kristus, mereka tidak diskandalkan oleh-Nya, oleh salib-Nya; mereka tidak memandang
rendah tubuh saudara mereka (bdk. Yes 58:7), karena mereka melihat Yesus dalam setiap orang yang menderita
dan berjuang. Inilah dua laki-laki keberanian, yang dipenuhi dengan parrhesia Roh Kudus, dan mereka menjadi saksi di hadapan Gereja dan
dunia bagi kebaikan dan kerahiman Allah.
Mereka adalah imam-imam, uskup-uskup dan paus-paus abad kedua puluh. Mereka hidup melewati peristiwa-peristiwa tragis abad itu, tetapi mereka tidak kewalahan oleh peristiwa-peristiwa itu. Bagi mereka, Allah lebih kuat; iman lebih kuat - iman kepada
Yesus Kristus Sang Penebus manusia dan
Tuhan sejarah; kerahiman Allah, yang ditunjukkan
oleh lima luka itu, lebih kuat; dan lebih kuat juga adalah
kedekatan Maria Bunda kita.
Dalam kedua laki-laki
ini, yang memandang luka-luka Kristus dan menjadi saksi kerahiman-Nya, di sana berdiam
harapan yang hidup dan sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan (1Ptr
1:3,8). Harapan dan sukacita yang dilimpahkan Kristus yang bangkit pada
murid-murid-Nya, harapan dan sukacita yang tak ada sesuatu pun dan tak ada seorang
pun yang bisa ambil dari mereka. Harapan
dan sukacita Paskah, yang ditempa dalam wadah penyangkalan diri,
pengosongan diri, menitahkan pengenalan bersama orang-orang berdosa, bahkan hingga
titik kemuakkan pada kepahitan cawan itu. Demikianlah harapan dan sukacita yang
telah diterima dua paus suci ini sebagai sebuah karunia dari Tuhan yang bangkit
dan yang pada gilirannya mereka curahkan dalam kelimpahan atas Umat Allah, memantaskan
perasaan syukur abadi kita.
Harapan ini dan sukacita ini yang teraba dalam komunitas perdana orang-orang
percaya, di Yerusalem, seperti yang kita baca dalam Kisah Para Rasul (bdk. 2:42-47). Ini adalah sebuah komunitas yang menghayati pokok Injil, kasih dan kerahiman, dalam kesederhanaan dan persaudaraan.
Ini juga merupakan gambaran Gereja yang ditetapkan Konsili
Vatikan II sebelum kita. Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II bekerja sama dengan Roh Kudus dalam memugar dan memperbaharui Gereja sepadan
dengan ciri-ciri aslinya, ciri-ciri itu yang telah diberikan orang-orang kudus kepadanya selama berabad-abad. Janganlah kita lupa bahwa orang-orang kudus tersebut yang memberi arah dan pertumbuhan bagi Gereja. Dengan memanggil Konsili, Santo Yohanes XXIII menunjukkan sebuah keterbukaan yang sangat indah terhadap Roh Kudus. Beliau membiarkan dirinya dipimpin dan beliau bagi Gereja adalah seorang gembala, seorang pemimpin-pelayan. Ini adalah pelayanannya yang agung bagi Gereja; beliau adalah paus keterbukaan
terhadap Roh Kudus.
Dalam pelayanan dirinya bagi Umat Allah, Santo Yohanes Paulus II adalah paus keluarga. Beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai paus keluarga. Saya sangat senang menunjukkan hal
ini ketika kita berada dalam proses melakukan perjalanan bersama
keluarga-keluarga menjelang Sinode tentang
keluarga. Hal ini tentu sebuah perjalanan yang, dari tempatnya di surga, beliau bimbing dan topang.
Semoga dua santo baru dan gembala-gembala umat Allah ini mengantarai bagi Gereja, sehingga selama perjalanan dua tahun menuju Sinode ini Gereja sudi terbuka terhadap Roh Kudus dalam pelayanan pastoral keluarga. Semoga keduanya mengajarkan kita tidak diskandalkan oleh luka-luka Kristus dan sungguh masuk semakin dalam ke dalam misteri kerahiman ilahi, yang selalu berharap dan selalu mengampuni, karena selalu mengasihi.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.