Bacaan
Ekaristi : 1 Raj 21:1-16; Mat 5:38-42
Sebuah cerita yang "sangat sedih" yang, bahkan jika sangat kuno, masih merupakan sebuah permenungan dari salah satu dosa yang paling "cekatan" : korupsi. Permenungan Paus Fransiskus mengacu pada kisah yang diceritakan dalam bacaan hari itu (1 Raj 21:1-16), tentang Nabot, pemilik kebun anggur yang telah berada dalam keluarganya selama beberapa generasi. Ketika Raja Ahab, yang namanya berarti "sedikit memperluas kebunnya", Paus Fransiskus menjelaskan, meminta dia untuk menjualnya, Nabot menolak karena ia tidak berniat untuk menjual “warisan nenek moyangnya”. Raja Ahab menerima penolakan tersebut dengan sangat buruk, sehingga istrinya Izebel menyusun sebuah perangkap dengan bantuan saksi-saksi palsu, dan Nabot diseret ke pengadilan, dihukum dan dirajam sampai mati. Pada akhirnya, Izebel memberikan kebun anggur diinginkan tersebut untuk suaminya, yang menerima tanah tersebut dengan tenang, "seolah-olah tidak terjadi apa-apa". Paus Fransiskus mengatakan, "Kisah ini terus terulang dengan sendirinya", di antara jajaran orang-orang, yang memegang kekuasaan, baik jasmaniah, politik atau rohaniah : "Di surat kabar kita berkali-kali membaca : ‘Ah, politikus itu yang menjadi kaya secara ajaib telah dibawa ke pengadilan. Pengusaha itu, yang telah menjadi kaya secara ajaib - yaitu, dengan mengeksploitasi para pekerjanya - telah diseret ke pengadilan. Kita juga banyak mendengar pembicaraan tentang seorang prelat (pejabat Gereja) yang juga telah menjadi kaya, dan meninggalkan tugas pastoralnya karena mengurusi kekuasaannya. Jadi, para politisi yang korup, para pengusaha yang korup dan para klerus yang korup, dapat ditemukan di mana-mana - dan kita harus mengatakan kebenaran : korupsi justru merupakan dosa karena orang dengan otoritas - baik politik, ekonomi atau gerejawi - dibandingkan orang lain paling cekatan melakukannya. Kita semua tergoda untuk korupsi. Inilah sebuah dosa yang 'cekatan', karena, ketika orang memiliki otoritas, orang merasa kuat, orang merasa hampir seperti Allah".
Paus Fransiskus lalu mengatakan bahwa orang menjadi korup "di sepanjang jalan yang waspada akan nomor satu [Italia : la strada della propria sicurezza]", dengan "kesejahteraan, uang, lalu kekuasaan, kesombongan, kebanggaan - dan dari sana , semuanya [menjadi mungkin], bahkan membunuh". Bapa Suci lalu bertanya, "Siapa yang membayar harga untuk korupsi tersebut?" dan menjawab bahwa pada kenyataannya, orang-orang miskinlah yang membayar harga tersebut : "Jika kita berbicara tentang orang-orang yang korup secara politik atau ekonomi, siapa yang membayar [korupsi mereka]? Pikirkanlah rumah sakit-rumah sakit tanpa obat, para pasien yang tidak menerima perawatan, anak-anak tanpa pendidikan. Mereka adalah Nabot-nabot modern, yang membayar harga untuk korupsi orang-orang congkak. Dan siapa yang membayar harga untuk korupsi seorang prelat? Anak-anak membayar, yang tidak bisa membuat tanda salib, yang tidak tahu katekese, yang tidak dipedulikan. Orang-orang sakit yang tidak dikunjungi, para narapidana, yang tidak menerima perhatian rohani. Orang-orang miskin membayar. Korupsi dibayar oleh orang-orang miskin : orang-orang miskin secara jasmaniah dan orang-orang miskin secara rohaniah".
Sebaliknya, kata Paus Fransiskus, "satu-satunya cara untuk luput dari korupsi, satu-satunya cara untuk mengatasi godaan [dosa] korupsi, adalah pelayanan". Karena, beliau berkata, "korupsi adalah kebanggaan, kesombongan - dan pelayanan merendahkan Anda". Merupakan "amal yang rendah hati untuk membantu orang lain" : "Hari ini, kita mempersembahkan Misa untuk mereka - banyak, banyak dari mereka - yang sedang membayar harga untuk korupsi, menanggung biaya hidup orang-orang yang korup. Para martir korupsi politik, korupsi ekonomi, dan korupsi gerejawi ini. Kita berdoa untuk mereka. Semoga Tuhan membawa kita lebih dekat dengan mereka. Sesungguhnya Ia sangat dekat dengan Nabot, di saat ia dilempari batu sampai mati, sebagaimana Ia lakukan terhadap Stefanus. Semoga Tuhan menjadi dekat dan memberikan kekuatan [kepada mereka menanggung beban korupsi], sehingga mereka bisa maju dengan kesaksian mereka".
Paus Fransiskus lalu mengatakan bahwa orang menjadi korup "di sepanjang jalan yang waspada akan nomor satu [Italia : la strada della propria sicurezza]", dengan "kesejahteraan, uang, lalu kekuasaan, kesombongan, kebanggaan - dan dari sana , semuanya [menjadi mungkin], bahkan membunuh". Bapa Suci lalu bertanya, "Siapa yang membayar harga untuk korupsi tersebut?" dan menjawab bahwa pada kenyataannya, orang-orang miskinlah yang membayar harga tersebut : "Jika kita berbicara tentang orang-orang yang korup secara politik atau ekonomi, siapa yang membayar [korupsi mereka]? Pikirkanlah rumah sakit-rumah sakit tanpa obat, para pasien yang tidak menerima perawatan, anak-anak tanpa pendidikan. Mereka adalah Nabot-nabot modern, yang membayar harga untuk korupsi orang-orang congkak. Dan siapa yang membayar harga untuk korupsi seorang prelat? Anak-anak membayar, yang tidak bisa membuat tanda salib, yang tidak tahu katekese, yang tidak dipedulikan. Orang-orang sakit yang tidak dikunjungi, para narapidana, yang tidak menerima perhatian rohani. Orang-orang miskin membayar. Korupsi dibayar oleh orang-orang miskin : orang-orang miskin secara jasmaniah dan orang-orang miskin secara rohaniah".
Sebaliknya, kata Paus Fransiskus, "satu-satunya cara untuk luput dari korupsi, satu-satunya cara untuk mengatasi godaan [dosa] korupsi, adalah pelayanan". Karena, beliau berkata, "korupsi adalah kebanggaan, kesombongan - dan pelayanan merendahkan Anda". Merupakan "amal yang rendah hati untuk membantu orang lain" : "Hari ini, kita mempersembahkan Misa untuk mereka - banyak, banyak dari mereka - yang sedang membayar harga untuk korupsi, menanggung biaya hidup orang-orang yang korup. Para martir korupsi politik, korupsi ekonomi, dan korupsi gerejawi ini. Kita berdoa untuk mereka. Semoga Tuhan membawa kita lebih dekat dengan mereka. Sesungguhnya Ia sangat dekat dengan Nabot, di saat ia dilempari batu sampai mati, sebagaimana Ia lakukan terhadap Stefanus. Semoga Tuhan menjadi dekat dan memberikan kekuatan [kepada mereka menanggung beban korupsi], sehingga mereka bisa maju dengan kesaksian mereka".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.