Bacaan Ekaristi : Yes 45:1,4-6; 1Tes
1:1-5b; Mat 22:15-21
Kita baru saja mendengar salah satu frasa yang paling terkenal
dalam seluruh Injil: "Berikanlah kepada Kaisar
apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu
berikan kepada Allah" (Mat 22:21).
Terdorong oleh orang-orang Farisi yang ingin, seakan-akan, memberi-Nya sebuah ujian dalam agama dan menangkap-Nya dalam kesalahan, Yesus memberikan jawaban yang ironis dan cerdas ini. Ini adalah sebuah frasa yang mencolok yang telah diwariskan Tuhan kepada semua orang yang mengalami keraguan hati nurani, terutama ketika kenyamanan mereka, kekayaan mereka, harga diri mereka, kekuasaan mereka dan reputasi mereka dipertanyakan. Hal ini terjadi sepanjang waktu; itu selalu terjadi.
Tentu saja Yesus menempatkan tekanan pada bagian kedua frasa tersebut : "dan (berikan) kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah". Panggilan ini untuk menyatakan dan mengakui - dalam menghadapi kekuasaan apapun - bahwa Allah sendiri adalah Tuhan umat manusia, bahwa tidak ada yang lain. Ini adalah kebaruan abadi yang
ditemukan setiap hari, dan memerlukan penguasaan rasa takut yang sering kita rasakan pada kejutan-kejutan
Allah.
Allah tidak takut akan hal-hal baru! Itulah mengapa Ia terus sedang mengejutkan kita, sedang membuka hati kita dan sedang membimbing kita dalam cara yang tak terduga. Ia memperbaharui kita: ia terus menjadikan kita "baru". Seorang Kristiani yang menghayati Injil adalah "kebaruan Allah" dalam Gereja dan dalam dunia. Betapa Allah mengasihi "kebaruan" ini!
"Berikan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah" berarti taat kepada kehendak-Nya, mengabdikan hidup kita kepada-Nya dan bekerja untuk kerajaan belas kasih, kasih dan damai-Nya.
Di sinilah kekuatan sejati kita ditemukan; di sinilah ragi yang membuatnya tumbuh dan garam yang memberikan rasa bagi semua upaya kita untuk memerangi pesimisme lazim yang diusulkan dunia kepada kita. Di sini juga adalah tempat harapan kita ditemukan, karena ketika kita menaruh harapan kita kepada Allah kita tidak sedang melarikan diri dari kenyataan maupun sedang mencari alibi: sebaliknya, kita sedang berusaha memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah. Itulah sebabnya kita orang-orang Kristiani melihat ke masa depan, masa depan Allah. Hal ini agar kita dapat menjalani hidup ini menuju yang paling penuh - dengan kaki kita tertanam kuat di tanah - dan menanggapi dengan berani apa pun tantangan-tantangan baru yang mendatangi jalan kita.
Dalam hari-hari ini, selama Sinode Luar Biasa Para Uskup, kita telah melihat bagaimana sesungguhnya hal ini. "Sinode" berarti "melakukan perjalanan bersama-sama". Dan memang para gembala dan umat awam dari setiap bagian dari dunia telah datang ke Roma, membawa suara Gereja-gereja partikular mereka untuk membantu keluarga-keluarga saat ini berjalan di jalan Injil dengan pandangan mereka tertuju kepada Yesus. Ini telah menjadi sebuah pengalaman luar biasa, yang di dalamnya kita telah menghayati sinodalitas dan kolegialitas, dan merasakan kuasa Roh Kudus yang terus-menerus membimbing dan memperbaharui Gereja. Karena Gereja dipanggil untuk tidak membuang-buang waktu dalam pencarian untuk membalut luka-luka menganga
dan untuk menghidupkan
kembali harapan dalam begitu banyak orang yang telah kehilangan harapan.
Untuk karunia Sinode ini dan untuk semangat membangun yang telah
ditunjukkan setiap
orang, dalam kesatuan dengan Rasul Paulus "kami selalu mengucap syukur
kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami" (1 Tes 1:2). Semoga Roh Kudus, yang selama hari-hari sibuk ini telah
memungkinkan kita untuk bekerja dengan murah hati, dalam kebebasan sejati dan kreativitas yang rendah hati, terus membimbing perjalanan yang, dalam Gereja-gereja di seluruh dunia, sedang membawa kita ke Sinode Biasa Para Uskup pada bulan Oktober 2015. Kita telah menabur dan kita terus menabur, dengan sabar dan tekun, dalam kepastian bahwa Tuhanlah yang memberi pertumbuhan kepada
apa yang telah kita tabur (bdk.1 Kor 3:6).
Pada hari Beatifikasi Paus Paulus VI ini, saya memikirkan kata-kata yang dengannya ia menetapkan Sinode Para Uskup: "dengan seksama mengamati tanda-tanda zaman, kita sedang membuat setiap usaha untuk menyesuaikan cara-cara dan metode-metode ... untuk pertumbuhan kebutuhan-kebutuhan
zaman kita dan perubahan kondisi-kondisi masyarakat"(Surat Apostolik Motu Proprio Apostolica Sollicitudo).
Ketika kita melihat ke Paus besar ini, Kristen berani ini, rasul tak kenal lelah ini, kita tidak bisa tidak mengatakan di hadapan Allah kata yang sederhana seperti itu tulus dan penting: terima kasih! Terima kasih, Sayang kami dan dicintai Paus Paulus VI! Terima kasih atas kesaksian yang rendah hati dan kenabian Anda kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya!
Ketika kita memandang kepada Paus besar ini, orang Kristiani yang berani ini, rasul yang tak
kenal lelah ini, kita tidak bisa tidak mengatakan di hadapan Allah sebuah kata sesederhana
kata yang tulus dan penting: terima kasih! Terima kasih, Paus Paulus VI kita yang terkasih dan tercinta! Terima kasih atas kesaksian kasih Anda yang rendah hati dan bersifat kenabian bagi Kristus dan Gereja-Nya!
Dalam jurnal pribadinya, sang juru mudi besar Konsili (Vatikan II) menulis, pada kesimpulan pembahasan akhirnya: "Mungkin Tuhan telah memanggil saya dan melanggengkan saya untuk pelayanan ini bukan karena saya sangat cocok untuk itu, atau sehingga saya bisa memerintah dan menyelamatkan Gereja dari kesulitan-kesulitannya
yang ada, tetapi sehingga saya bisa menderita sesuatu bagi Gereja, dan dengan cara itu akan menjadi jelas bahwa Ia, dan tidak ada lainnya, adalah pembimbing dan penyelamatnya" (P. Macchi, Paolo VI nella sua parola, Brescia, 2001, halaman 120-121). Dalam kerendahan hati ini keagungan Beato Paulus VI bersinar: sebelum munculnya masyarakat sekuler dan bermusuhan, ia bisa berpegang teguh, dengan rabun jauh dan kebijaksanaan - dan kadang-kadang saja - pada kemudi bahtera Santo Petrus, seraya tidak pernah kehilangan sukacitanya dan kepercayaannya kepada Tuhan.
Paulus VI benar-benar
"memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah" dengan
mengabdikan seluruh hidupnya bagi "tugas suci, resmi dan penting untuk melanjutkan dalam sejarah dan
memperluas di bumi perutusan Kristus" (Homili untuk Ritus Pemahkotaan: Insegnamenti
I, 1963, halaman 26), mengasihi Gereja dan memimpinnya sehingga ia memungkinkan menjadi "seorang ibu yang
penuh kasih dari keluarga manusia
dan pada saat yang sama pelayan keselamatannya" (Surat Ensiklik Ecclesiam Suam, Pendahuluan).
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.