Bacaan Ekaristi : 1Yoh 4:19-5:4; Luk 4:14-22a
Pada Kamis, 8 Januari 2015, Paus Fransiskus merayakan Misa harian pagi di Casa Santa Marta, Vatikan, dengan intensi doa bagi para korban serangan teroris yang kejam Rabu 7 Janauri 2015 di Paris. Beliau menyatakan ini pada awal misa, mewujudkan semua kesedihannya atas tindakan keji dan ganas ini, mengungkapkan kedekatan khusus dengan para anggota keluarga orang yang terbunuh atau terluka. Beliau berdoa agar hati para penyerang dapat diubah. "Serangan di Paris kemarin", beliau menyatakan, "membuat kita memikirkan begitu banyak kekejaman, kekejaman manusia; begitu banyak terorisme, baik terorisme terpencil dan terorisme yang didukung negara. Kekejaman yang mampu dilakukan manusia! Mari kita berdoa dalam Misa ini bagi para korban kekejaman ini. Begitu banyak! Dan marilah kita juga meminta bagi orang-orang kejam tersebut, agar Tuhan dapat mengubah hati mereka".
Dalam hari-hari ini, Paus Fransiskus mencatat dalam homilinya, "kata kunci dalam liturgi adalah 'perwujudan': Putra Allah mewujudkan diri-Nya dalam Pesta Epifani, kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi; dalam Pembaptisan, ketika Roh Kudus turun ke atas-Nya; dalam perkawinan di Kana, ketika Ia melakukan mukjizat air menjadi anggur".
Memang, "ini adalah tiga tanda yang dibawa liturgi dakam hari-hari ini dalam rangka berbicara kepada kita tentang perwujudan Allah : Allah membuat diri-Nya dikenal". Tetapi "pertanyaannya adalah ini: bagaimana kita bisa mengenal Allah?" Dan dengan ini, Paus Fransiskus mengacu Bacaan Pertama hari itu (1 Yoh 4:7-10), khususnya, "tema yang diambil Rasul Yohanes dalam Bacaan Pertama : pengetahuan tentang Allah". Dengan demikian, "apa artinya mengenal Allah? Bagaimana seseorang bisa mengenal Allah?".
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Paus Fransiskus mengatakan, "jawaban pertama adalah : seseorang dapat mengenal Allah melalui akal budi". Tetapi sesungguhnya, "dapatkah saya mengenal Allah melalui akal budi? Agaknya, ya". Memang, "melalui kecerdasan saya, penalaran, melihat hal-hal duniawi, orang pertama dapat memahami bahwa ada Allah dan keberadaan Allah dapat dipahami dalam beberapa ciri-ciri kepribadian Allah". Namun, Paus Fransiskus menyatakan, "ini tidak cukup untuk mengenal Allah", bahwa dalam "Allah benar-benar dikenal dalam perjumpaan dengan-Nya, dan akal budi saja tidak cukup untuk perjumpaan tersebut, sesuatu yang lebih dibutuhkan: akal budi membantu Anda untuk mencapai sebuah titik tertentu, maka Ia menyertai Anda seterusnya".
Dalam suratnya, "Yohanes dengan jelas menyatakan siapa Allah : Allah adalah kasih". Karena alasan ini, "hanya pada jalan kasih Anda dapat mengenal Allah". Tentu saja, Paus Fransiskus menambahkan, "kasih yang wajar, disertai dengan akal budi, tetapi kasih". Mungkin orang bisa mengajukan pertanyaan pada titik ini "bagaimana saya dapat mengasihi orang yang tidak saya kenal?". Jawabannya jelas: "Kasihilah mereka yang dekat dengan Anda". Bahkan, "ini adalah ajaran dari dua perintah: perintah yang paling penting adalah kasihilah Allah, karena Ia adalah kasih". Perintah kedua "adalah kasihilah sesamamu tetapi untuk sampai kepada yang pertama, kita harus menaiki tangga yang kedua". Singkatnya, Paus Fransiskus menjelaskan, "melalui kasih kepada sesama kita, kita mengenal Allah, yang adalah kasih" dan "hanya dengan mengasihi secara wajar, tetapi dengan mengasihi, kita dapat menggapai kasih ini".
Paus Fransiskus kemudian mengulangi kata-kata yang ditulis oleh Yohanes: "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah". Namun, Paus Fransiskus mengingatkan "Anda tidak bisa mengasihi jika Allah tidak menempatkan dalam kasih, tidak membangkitkan kasih ini bagi Anda" karena "barangsiapa mengasihi, ia mengenal Allah". Sebaliknya, Santo Yohanes menulis, "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih". Paus Fransiskus menunjukkan bahwa ini bukan "kasih opera sabun", melainkan "kasih yang bersuara, yang kuat", sebuah "kasih abadi yang mewujudkan dirinya - hari-hari ini sabda tersebut 'mewujud' - dalam Putra-Nya yang telah datang untuk menyelamatkan kita" . Oleh karena itu, sebuah "kasih yang nyata, sebuah kasih karya-karya, bukan kasih kata-kata". Di sini, kemudian, "dibutuhkan seumur hidup untuk mengenal Allah: sebuah perjalanan, sebuah perjalanan kasih, pengetahuan, kasih bagi sesama kita, kasih bagi mereka yang membenci kita, kasih bagi semua orang".
Paus Fransiskus kemudian menunjukkan bahwa Yesus sendiri yang "memberi kita teladan kasih". Dan, memang, "dalam hal inilah kasih, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita lebih dulu dan mengutus Putra-Nya menjadi korban penebusan bagi dosa-dosa kita". Inilah sebabnya mengapa "kita dapat merenungkan kasih Allah dalam diri Yesus". Dan "dengan melakukan apa yang diajarkan Yesus kepada kita tentang kasih bagi sesama kita, kita menggapai - langkah demi langkah - kasih Allah, pengetahuan tentang Allah yang adalah kasih".
Paus Fransiskus menunjukkan bahwa Rasul Yohanes, dalam suratnya, "berjalan sedikit di depan" ketika ia menyatakan bahwa "dalam hal inilah kasih" dan "bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi bahwa Dia yang mengasihi kita terlebih dahulu: Allah mendahului kita dalam kasih". Bahkan, Paus Fransiskus mencatat, "ketika saya bertemu dengan Allah dalam doa, saya merasa bahwa Allah mengasihi saya sebelum saya mulai mencari Dia". Ya, "Dia selalu yang pertama, Dia menunggu kita, Dia memanggil kita". Dan "ketika kita tiba, Dia ada di sana!".
Dalam hal ini, Paus Fransiskus mengacu bagian lain dari Kitab Suci (Yer 1:11-12), dan berkata : "Betapa indahnya apa yang dikatakan Allah kepada Yeremia : 'Yeremia, apa yang engkau lihat?' - 'sebatang dahan pohon badam, Tuhan' - 'Engkau telah melihat dengan baik, karena aku sedang mengawasi kata-kataku untuk melakukannya". Paus Fransiskus menjelaskan bahwa "bunga pohon badam adalah yang pertama mekar di musim semi, yang pertama". Ini menandakan bahwa "Tuhan itu ada, mengawasi", dan Dia selalu "yang pertama, seperti pohon badam, Dia mengasihi kita terlebih dahulu". Dan kita juga, Paus Fransiskus meyakinkan, "akan selalu memiliki kejutan ini: ketika kita mendekat kepada Allah melalui karya-karya amal, melalui doa, dalam Komuni, dalam Sabda Allah, kita menemukan bahwa Dia ada, pertama, menunggu kita, inilah bagaimana Dia mengasihi kita". Dan persis "seperti bunga pohon badam, Dia adalah yang pertama". Sesungguhnya, Paus Fransiskus mengatakan, "ayat dari Yeremia ini mengatakan begitu banyak kepada kita".
Sebuah usulan yang sama bisa dipetik dari kisah yang disajikan dalam Bacaan Injil hari itu (Mrk 6:34-44), yang pertama-tama mengatakan bahwa "Yesus menaruh belas kasihan kepada orang banyak, itulah kasih Yesus: Ia melihat kerumunan besar, seperti domba tanpa gembala, kebingungan". Tetapi hari ini juga, Paus Fransiskus mengingatkan, ada "begitu banyak orang bingung di kota-kota kita, di negara-negara kita: begitu banyak orang".
Ketika "Yesus melihat orang-orang bingung Ia tergerak : Ia mulai mengajar mereka doktrin, hal-hal Allah dan orang-orang mendengarkan-Nya, mendengarkan-Nya dengan sangat erat karena Tuhan pandai berbicara, Ia berbicara kepada hati".
Kemudian, Markus menceritakan dalam Injilnya bahwa, menyadari bahwa 5000 orang belum makan, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memastikannya. Dengan demikian, Kristus "pertama-tama pergi bertemu dengan orang-orang". Mungkin dari pihak mereka, "para murid agak marah, merasa kesal, dan tanggapan mereka kasar : 'haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?'. Dengan demikian, "kasih Allah adalah pertama; para murid tidak mengerti". Tetapi kasih Allah benar-benar seperti ini: "Dia selalu menunggu kita, Dia selalu mengejutkan kita". "Bapalah, Bapa kitalah yang sangat mengasihi kita, yang selalu siap untuk mengampuni kita, selalu. Dan tidak hanya sekali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali. Selalu!". Memang, "seperti seorang Bapa yang penuh kasih". Oleh karena itu, "untuk mengenal Allah yang adalah kasih ini, kita harus menaiki tangga kasih bagi sesama kita, dengan karya-karya amal, dengan tindakan-tindakan belas kasih yang diajarkan Tuhan kepada kita".
Paus Fransiskus mengakhiri dengan berdoa "agar Tuhan, pada hari-hari ini yang di dalamnya Gereja membuat kita merenungkan perwujudan Allah, memberi kita rahmat untuk mengenal-Nya di jalan kasih".
Pada Kamis, 8 Januari 2015, Paus Fransiskus merayakan Misa harian pagi di Casa Santa Marta, Vatikan, dengan intensi doa bagi para korban serangan teroris yang kejam Rabu 7 Janauri 2015 di Paris. Beliau menyatakan ini pada awal misa, mewujudkan semua kesedihannya atas tindakan keji dan ganas ini, mengungkapkan kedekatan khusus dengan para anggota keluarga orang yang terbunuh atau terluka. Beliau berdoa agar hati para penyerang dapat diubah. "Serangan di Paris kemarin", beliau menyatakan, "membuat kita memikirkan begitu banyak kekejaman, kekejaman manusia; begitu banyak terorisme, baik terorisme terpencil dan terorisme yang didukung negara. Kekejaman yang mampu dilakukan manusia! Mari kita berdoa dalam Misa ini bagi para korban kekejaman ini. Begitu banyak! Dan marilah kita juga meminta bagi orang-orang kejam tersebut, agar Tuhan dapat mengubah hati mereka".
Dalam hari-hari ini, Paus Fransiskus mencatat dalam homilinya, "kata kunci dalam liturgi adalah 'perwujudan': Putra Allah mewujudkan diri-Nya dalam Pesta Epifani, kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi; dalam Pembaptisan, ketika Roh Kudus turun ke atas-Nya; dalam perkawinan di Kana, ketika Ia melakukan mukjizat air menjadi anggur".
Memang, "ini adalah tiga tanda yang dibawa liturgi dakam hari-hari ini dalam rangka berbicara kepada kita tentang perwujudan Allah : Allah membuat diri-Nya dikenal". Tetapi "pertanyaannya adalah ini: bagaimana kita bisa mengenal Allah?" Dan dengan ini, Paus Fransiskus mengacu Bacaan Pertama hari itu (1 Yoh 4:7-10), khususnya, "tema yang diambil Rasul Yohanes dalam Bacaan Pertama : pengetahuan tentang Allah". Dengan demikian, "apa artinya mengenal Allah? Bagaimana seseorang bisa mengenal Allah?".
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Paus Fransiskus mengatakan, "jawaban pertama adalah : seseorang dapat mengenal Allah melalui akal budi". Tetapi sesungguhnya, "dapatkah saya mengenal Allah melalui akal budi? Agaknya, ya". Memang, "melalui kecerdasan saya, penalaran, melihat hal-hal duniawi, orang pertama dapat memahami bahwa ada Allah dan keberadaan Allah dapat dipahami dalam beberapa ciri-ciri kepribadian Allah". Namun, Paus Fransiskus menyatakan, "ini tidak cukup untuk mengenal Allah", bahwa dalam "Allah benar-benar dikenal dalam perjumpaan dengan-Nya, dan akal budi saja tidak cukup untuk perjumpaan tersebut, sesuatu yang lebih dibutuhkan: akal budi membantu Anda untuk mencapai sebuah titik tertentu, maka Ia menyertai Anda seterusnya".
Dalam suratnya, "Yohanes dengan jelas menyatakan siapa Allah : Allah adalah kasih". Karena alasan ini, "hanya pada jalan kasih Anda dapat mengenal Allah". Tentu saja, Paus Fransiskus menambahkan, "kasih yang wajar, disertai dengan akal budi, tetapi kasih". Mungkin orang bisa mengajukan pertanyaan pada titik ini "bagaimana saya dapat mengasihi orang yang tidak saya kenal?". Jawabannya jelas: "Kasihilah mereka yang dekat dengan Anda". Bahkan, "ini adalah ajaran dari dua perintah: perintah yang paling penting adalah kasihilah Allah, karena Ia adalah kasih". Perintah kedua "adalah kasihilah sesamamu tetapi untuk sampai kepada yang pertama, kita harus menaiki tangga yang kedua". Singkatnya, Paus Fransiskus menjelaskan, "melalui kasih kepada sesama kita, kita mengenal Allah, yang adalah kasih" dan "hanya dengan mengasihi secara wajar, tetapi dengan mengasihi, kita dapat menggapai kasih ini".
Paus Fransiskus kemudian mengulangi kata-kata yang ditulis oleh Yohanes: "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah". Namun, Paus Fransiskus mengingatkan "Anda tidak bisa mengasihi jika Allah tidak menempatkan dalam kasih, tidak membangkitkan kasih ini bagi Anda" karena "barangsiapa mengasihi, ia mengenal Allah". Sebaliknya, Santo Yohanes menulis, "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih". Paus Fransiskus menunjukkan bahwa ini bukan "kasih opera sabun", melainkan "kasih yang bersuara, yang kuat", sebuah "kasih abadi yang mewujudkan dirinya - hari-hari ini sabda tersebut 'mewujud' - dalam Putra-Nya yang telah datang untuk menyelamatkan kita" . Oleh karena itu, sebuah "kasih yang nyata, sebuah kasih karya-karya, bukan kasih kata-kata". Di sini, kemudian, "dibutuhkan seumur hidup untuk mengenal Allah: sebuah perjalanan, sebuah perjalanan kasih, pengetahuan, kasih bagi sesama kita, kasih bagi mereka yang membenci kita, kasih bagi semua orang".
Paus Fransiskus kemudian menunjukkan bahwa Yesus sendiri yang "memberi kita teladan kasih". Dan, memang, "dalam hal inilah kasih, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita lebih dulu dan mengutus Putra-Nya menjadi korban penebusan bagi dosa-dosa kita". Inilah sebabnya mengapa "kita dapat merenungkan kasih Allah dalam diri Yesus". Dan "dengan melakukan apa yang diajarkan Yesus kepada kita tentang kasih bagi sesama kita, kita menggapai - langkah demi langkah - kasih Allah, pengetahuan tentang Allah yang adalah kasih".
Paus Fransiskus menunjukkan bahwa Rasul Yohanes, dalam suratnya, "berjalan sedikit di depan" ketika ia menyatakan bahwa "dalam hal inilah kasih" dan "bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi bahwa Dia yang mengasihi kita terlebih dahulu: Allah mendahului kita dalam kasih". Bahkan, Paus Fransiskus mencatat, "ketika saya bertemu dengan Allah dalam doa, saya merasa bahwa Allah mengasihi saya sebelum saya mulai mencari Dia". Ya, "Dia selalu yang pertama, Dia menunggu kita, Dia memanggil kita". Dan "ketika kita tiba, Dia ada di sana!".
Dalam hal ini, Paus Fransiskus mengacu bagian lain dari Kitab Suci (Yer 1:11-12), dan berkata : "Betapa indahnya apa yang dikatakan Allah kepada Yeremia : 'Yeremia, apa yang engkau lihat?' - 'sebatang dahan pohon badam, Tuhan' - 'Engkau telah melihat dengan baik, karena aku sedang mengawasi kata-kataku untuk melakukannya". Paus Fransiskus menjelaskan bahwa "bunga pohon badam adalah yang pertama mekar di musim semi, yang pertama". Ini menandakan bahwa "Tuhan itu ada, mengawasi", dan Dia selalu "yang pertama, seperti pohon badam, Dia mengasihi kita terlebih dahulu". Dan kita juga, Paus Fransiskus meyakinkan, "akan selalu memiliki kejutan ini: ketika kita mendekat kepada Allah melalui karya-karya amal, melalui doa, dalam Komuni, dalam Sabda Allah, kita menemukan bahwa Dia ada, pertama, menunggu kita, inilah bagaimana Dia mengasihi kita". Dan persis "seperti bunga pohon badam, Dia adalah yang pertama". Sesungguhnya, Paus Fransiskus mengatakan, "ayat dari Yeremia ini mengatakan begitu banyak kepada kita".
Sebuah usulan yang sama bisa dipetik dari kisah yang disajikan dalam Bacaan Injil hari itu (Mrk 6:34-44), yang pertama-tama mengatakan bahwa "Yesus menaruh belas kasihan kepada orang banyak, itulah kasih Yesus: Ia melihat kerumunan besar, seperti domba tanpa gembala, kebingungan". Tetapi hari ini juga, Paus Fransiskus mengingatkan, ada "begitu banyak orang bingung di kota-kota kita, di negara-negara kita: begitu banyak orang".
Ketika "Yesus melihat orang-orang bingung Ia tergerak : Ia mulai mengajar mereka doktrin, hal-hal Allah dan orang-orang mendengarkan-Nya, mendengarkan-Nya dengan sangat erat karena Tuhan pandai berbicara, Ia berbicara kepada hati".
Kemudian, Markus menceritakan dalam Injilnya bahwa, menyadari bahwa 5000 orang belum makan, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memastikannya. Dengan demikian, Kristus "pertama-tama pergi bertemu dengan orang-orang". Mungkin dari pihak mereka, "para murid agak marah, merasa kesal, dan tanggapan mereka kasar : 'haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?'. Dengan demikian, "kasih Allah adalah pertama; para murid tidak mengerti". Tetapi kasih Allah benar-benar seperti ini: "Dia selalu menunggu kita, Dia selalu mengejutkan kita". "Bapalah, Bapa kitalah yang sangat mengasihi kita, yang selalu siap untuk mengampuni kita, selalu. Dan tidak hanya sekali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali. Selalu!". Memang, "seperti seorang Bapa yang penuh kasih". Oleh karena itu, "untuk mengenal Allah yang adalah kasih ini, kita harus menaiki tangga kasih bagi sesama kita, dengan karya-karya amal, dengan tindakan-tindakan belas kasih yang diajarkan Tuhan kepada kita".
Paus Fransiskus mengakhiri dengan berdoa "agar Tuhan, pada hari-hari ini yang di dalamnya Gereja membuat kita merenungkan perwujudan Allah, memberi kita rahmat untuk mengenal-Nya di jalan kasih".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.