Bacaan Ekaristi : Kis 18:9-18; Yoh 16:20-23a
Ketakutan dan kesedihan menyebabkan penyakit dalam umat dan bahkan dalam Gereja; mereka menyebabkan kelumpuhan dan keegoisan, dan pada akhirnya mengganggu suasana sebuah komunitas, yang tergantung sebuah tanda "terlarang" di pintunya, takut akan segalanya. Namun, seorang Kristiani yang ditopang oleh takut akan Allah dan oleh Roh Kudus memiliki sikap sukacita yang teguh, yang dalam penderitaan menjadi kedamaian. Ini adalah pesan Paus Fransiskus dalam homilinya pada hari Jumat pagi, 15 Mei 2015 selama misa di Casa Santa Marta, Vatikan.
Ketakutan dan kesedihan menyebabkan penyakit dalam umat dan bahkan dalam Gereja; mereka menyebabkan kelumpuhan dan keegoisan, dan pada akhirnya mengganggu suasana sebuah komunitas, yang tergantung sebuah tanda "terlarang" di pintunya, takut akan segalanya. Namun, seorang Kristiani yang ditopang oleh takut akan Allah dan oleh Roh Kudus memiliki sikap sukacita yang teguh, yang dalam penderitaan menjadi kedamaian. Ini adalah pesan Paus Fransiskus dalam homilinya pada hari Jumat pagi, 15 Mei 2015 selama misa di Casa Santa Marta, Vatikan.
Dalam Liturgi Sabda, Paus Fransiskus mengawali, "ada dua kata kuat yang tentangnya telah direnungkan Gereja kepada kita". Ini terlihat dalam Kisah Para Rasul (18:9-18), ketika Tuhan berkata kepada Paulus: "Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!".
"Ketakutan", Paus Fransiskus menjelaskan, "adalah sebuah sikap yang merugikan kita, melemahkan kita, mengecilkan kita, bahkan melumpuhkan kita". Itu seperti "seseorang dalam ketakutan tidak melakukan apa-apa, tidak tahu apa yang harus dilakukan: penuh ketakutan, takut, berfokus pada dirinya sehingga sesuatu yang berbahaya atau buruk tidak akan terjadi padanya". Dengan demikian, "ketakutan menyebabkan egosentrisme diri dan melumpuhkan". Karena alasan yang sesungguhnya ini", kata Yesus kepada Paulus : 'Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!'".
Memang, ketakutan "bukan sikap orang Kristiani". Tetapi "itu adalah sikap, kita dapat mengatakan, dari sebuah jiwa yang terpenjara, tanpa kebebasan, yang tidak memiliki kebebasan untuk melihat ke depan, untuk menciptakan sesuatu, untuk berbuat baik". Jadi orang yang memiliki ketakutan terus mengulangi : "Tidak, ada bahaya ini, ada bahaya lainnya", dan seterusnya. "Ini terlalu buruk, ketakutan menyebabkan bahaya!", kata Paus Fransiskus kembali mencatat.
Tetapi, ketakutan harus "dibedakan dari takut akan Allah, yang tidak memiliki apapun untuk dilakukan dengannya". Ketakutan akan Allah, Paus Fransiskus menyatakan, "adalah kudus, itu adalah ketakutan akan penyembahan di hadapan Tuhan", dan oleh karena itu "adalah sebuah keutamaan". Memang, "ia tidak mengecilkan, tidak melumpuhkan"; tetapi sebaliknya, "ia membawa ke depan perutusan yang diberikan Tuhan". Dalam hal ini, Paus Fransiskus menambahkan: "Tuhan, dalam Bab 18 dari Injil menurut Lukas, berbicara tentang seorang hakim yang tidak takut akan Allah maupun tidak memiliki hal dengan siapa pun, dan melakukan apa pun yang ia inginkan". Ini "adalah sebuah dosa : kurang takut akan Allah dan juga puas diri". Karena "ia akan mengurangi hubungan dengan Allah maupun penyembahan".
Namun, Paus Fransiskus mengatakan, "takut akan Allah, yang adalah baik, adalah satu hal; tetapi ketakutan adalah hal lain". Selain itu, "seorang Kristiani yang penuh ketakutan tak berarti : ia adalah seorang yang tidak memahami apa pesan Yesus".
"Kata lain" yang ditawarkan oleh liturgi, "setelah Kenaikan Tuhan", adalah "sukacita". Dalam perikop dari Injil Yohanes (16:20-23), "Tuhan berbicara tentang perikop dari dukacita menuju sukacita", mempersiapkan murid-murid "untuk saat Sengsara : 'Kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita'". Yesus menawarkan "contoh seorang perempuan di saat jam kerjanya, yang memiliki penderitaan yang hebat tetapi setelah itu, ketika sang anak lahir, melupakan penderitaan tersebut" untuk membuat ruang bagi sukacita. Dan "tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu", demikian Tuhan meyakinkan mereka.
Namun, Paus Fransiskus menyarankan, "sukacita Kristiani bukan hanya kesenangan, bukan kegembiraan sekejap". Sebaliknya, "sukacita Kristiani adalah karunia Roh Kudus: ia adalah mendapati hatinya sungguh penuh sukacita karena Tuhan telah menang, Tuhan memerintah, Tuhan berada di sebelah kanan Bapa, Tuhan telah memandang aku dan mengirimkanku dan memberiku rahmat-Nya dan telah menjadikanku seorang anak Bapa". Inilah "sukacita Kristiani" yang sesungguhnya.
Seorang Kristiani, oleh karena itu, "hidup dalam sukacita". Tetapi, Paus Fransiskus bertanya, "di manakah sukacita ini di saat-saat paling menyedihkan, di masa-masa penderitaan berat? Mari kita berpikir tentang Yesus di kayu salib: apakah Ia memiliki sukacita? Eh, tidak! Tetapi ya, Ia memiliki kedamaian!". Memang, Paus Fransiskus menjelaskan, "Sukacita, di saat penderitaan berat, saat pencobaan, menjadi kedamaian". Di sisi lain, "kegembiraan di saat penderitaan berat menjadi kegelapan, menjadi menyusahkan".
Inilah sebabnya mengapa "seorang Kristiani tanpa sukacita bukanlah orang Kristiani". "Seorang Kristiani yang kehilangan kedamaian dalam masa-masa pencobaan, dalam masa-masa kesakitan, dalam masa-masa begitu banyak kesulitan, sedang kehilangan sesuatu".
Paus Fransiskus mendesak : "jangan memiliki rasa takut" tetapi "milikilah sukacita". Beliau menjelaskan bahwa "tidak memiliki rasa takut adalah memohon rahmat keberanian, keberanian Roh Kudus; dan memiliki sukacita adalah memohon karunia Roh Kudus, bahkan dalam masa-masa yang paling sulit, melalui kedamaian yang Tuhan berikan kepada kita itu".
Ini adalah apa yang "terjadi dalam orang-orang Kristiani, terjadi dalam jemaat-jemaat, dalam seluruh Gereja, dalam paroki-paroki, dalam banyak jemaat Kristiani". Memang "ada jemaat-jemaat yang penuh ketakutan yang selalu tinggal di sisi yang aman : 'Tidak, tidak, jangan melakukan ini .... Tidak, tidak, ini tidak bisa dilakukan, kita tidak bisa melakukan ini'". Pada titik itu "tampaknya mereka telah menulis 'dilarang' di pintu : semuanya dilarang karena takut". Dengan demikian, "ketika seseorang memasuki jemaat itu suasana terganggu, karena jemaat tersebut sakit: ketakutan membuat sebuah jemaat sakit; kurangnya keberanian membuat sebuah jemaat sakit".
Namun "malahan sebuah jemaat tanpa sukacita adalah sebuah jemaat yang jatuh sakit, karena ketika tidak ada sukacita ada kehampaan. Tidak, sesungguhnya ada kegembiraan". Dengan demikian, dalam kupasan akhir, "itu akan menjadi sebuah jemaat yang baik-baik saja, yang masa bodoh, tetapi secara duniawi, sakit bersama keduniawian karena tidak memiliki sukacita Yesus Kristus". Dan salah satu efek keduniawian, Paus Fransiskus memperingatkan, "yakni berbicara buruk tentang orang lain". Dengan demikian, "ketika Gereja penuh ketakutan dan ketika Gereja tidak menerima sukacita Roh Kudus, Gereja jatuh sakit, jemaat-jemaat jatuh sakit, umat beriman jatuh sakit".
Dalam doa pada pembukaan Misa, Paus Fransiskus mengingatkan, "kita memohon kepada Tuhan rahmat untuk mengangkat kita menuju Kristus yang duduk di sebelah kanan Bapa". "Kontemplasi akan Kristus" ini, Paus Fransiskus menyatakan, "akan memberi kita keberanian, memberi kita sukacita, mengambil ketakutan kita dan membantu kita untuk menghindari jatuh ke dalam kehidupan yang dangkal dan masa bodoh".
"Dengan niat untuk mengangkat semangat kita menuju Kristus yang duduk di sebelah kanan Bapa ini", Paus Fransiskus mengakhiri, "marilah kita melanjutkan perayaan kita, dengan memohon kepada Tuhan : mengangkat semangat kita, mengambil seluruh ketakutan kita dan memberi kita sukacita dan kedamaian".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.