Bacaan Ekaristi : Kis 20:17-27; Yoh 17:1-11a
Paus Fransiskus mengingat penderitaan rakyat Rohingya di Myanmar, yang ditolak dan ditinggalkan di tengah laut, dan para pengungsi Kristen dan Yazidi "yang diusir dari rumah mereka" di Irak. Tragedi-tragedi ini sedang berlangsung hari ini tepat di depan mata kita. Merayakan Misa harian Selasa pagi, 19 Mei 2015, di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus menawarkan sebuah permenungan tentang makna pokok dari setiap perpisahan, besar atau kecil, dengan kata "selamat tinggal" (sebuah penciutan dari "Tuhan menyertai kamu"), yang mengungkapkan suatu tindakan pemercayaan kepada Bapa. Beliau juga mengambil kesempatan untuk berbicara tentang kesedihan dan ketakutan semua ibu yang menyaksikan anak-anak mereka berangkat untuk berperang.
Paus Fransiskus mengingat penderitaan rakyat Rohingya di Myanmar, yang ditolak dan ditinggalkan di tengah laut, dan para pengungsi Kristen dan Yazidi "yang diusir dari rumah mereka" di Irak. Tragedi-tragedi ini sedang berlangsung hari ini tepat di depan mata kita. Merayakan Misa harian Selasa pagi, 19 Mei 2015, di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus menawarkan sebuah permenungan tentang makna pokok dari setiap perpisahan, besar atau kecil, dengan kata "selamat tinggal" (sebuah penciutan dari "Tuhan menyertai kamu"), yang mengungkapkan suatu tindakan pemercayaan kepada Bapa. Beliau juga mengambil kesempatan untuk berbicara tentang kesedihan dan ketakutan semua ibu yang menyaksikan anak-anak mereka berangkat untuk berperang.
Terutama, Paus Fransiskus mengawali, "suasana dalam hari-hari terakhir Masa Paskah ini adalah sebuah suasana perpisahan". Dan "dalam liturgi Gereja mengambil wacana Yesus dalam Perjamuan Terakhir, di mana Ia menawarkan perpisahan sebelum Sengsara-Nya, dan membuat kita membacanya lagi: Yesus menawarkan perpisahan dalam rangka pergi kepada Bapa dan mengutus kepada kita Roh Kudus" (Yoh 17:1-11).
Hari ini, Paus Fransiskus mengulangi, "suasana perpisahan ini juga merupakan fokus dari Bacaan Pertama yang diambil dari halaman-halaman indah Kisah Para Rasul (20:17-27) : perpisahan Paulus". Ia "berada di Miletus" dan "ia mengutus para penatua jemaat memanggil ke Efesus "untuk "sebuah pertemuan gereja-gereja kecil, sebesar paroki-paroki". Dan dengan demikian "memulai wacana itu yang akan selesai dalam liturgi besok, di mana Paulus mengingatkan karyanya, apa yang telah dilakukannya : 'Aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu'". Oleh karena itu, "ia mengingatkan mereka bahwa ia telah bekerja keras, tetapi ia tidak berbangga". Merupakan sebuah pengingat: "Ini telah menjadi hidupku di antara kamu". Ia kemudian menambahkan: "Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem".
Perpisahan Paulus, Paus Fransiskus menjelaskan, "bahkan agak dramatis". Bahkan, Paulus membiarkan "tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku". Dan itu adalah, yaitu, "untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah".
Paulus kemudian "membuat sebuah pidato persaudaraan, yang agak panjang, dan ketika itu berakhir ia mulai menangis". Dan ia berkata: "dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi". Kemudian, "semua orang menangis, mereka pergi ke pantai, berlutut dan berdoa, seraya mereka menangis dan menawarkan perpisahan kepada Paulus", mengantar dia "ke kapal".
Dengan demikian, Paus Fransiskus meringkas, mengacu pada dua Bacaan, "Yesus menawarkan perpisahan, Paulus menawarkan perpisahan dan ini membantu kita untuk merenungkan perpisahan kita sendiri". Memang "dalam hidup kita ada banyak perpisahan : ada perpisahan-perpisahan kecil - Anda tahu saya akan kembali, hari ini atau besok - dan ada perpisahan-perpisahan besar dan Anda tidak tahu bagaimana perjalanan ini akan berakhir".
Paus Fransiskus mengakui bahwa "ada baiknya memikirkan hal ini", karena "kehidupan dipenuhi dengan perpisahan" dan "juga ada begitu banyak kesedihan, begitu banyak air mata" dalam beberapa situasi. Dan beliau menyerukan permenungan tentang "rakyat Rohingya yang miskin di Myanmar. Pada saat mereka meninggalkan tanah mereka untuk melarikan diri dari penganiayaan mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Selama berbulan-bulan mereka telah berada di sebuah kapal, di sana .... Mereka tiba di salah satu kota di mana, setelah diberi makanan dan air, mereka diberitahu : 'Pergilah': itu adalah sebuah perpisahan".
Paus Fransiskus kemudian teringat "perpisahan orang Kristen dan Yazidi yang mengharapkan untuk tidak kembali lagi ke negeri mereka karena mereka dicampakkan dari rumah mereka. Hari ini!"
Paus Fransiskus kemudian menunjukkan bahwa "bahkan ada perpisahan-perpisahan kecil, tetapi perpisahan-perpisahan besar dalam hidup: Saya berpikir tentang perpisahan seorang ibu yang mengatakan selamat tinggal, memberikan sebuah pelukan terakhir bagi seorang anak laki-laki yang pergi ke medan perang, dan setiap hari ia bangun dengan rasa takut bahwa seorang pejabat akan datang dan memberitahu kepadanya: 'Kami sangat berterima kasih atas kemurahan hati anak laki-lakimu yang mendapati hidupnya bagi tanah air'". Karena "kita tidak pernah tahu bagaimana perpisahan-perpisahan besar ini akan menjadi". Dan kemudian "ada juga perpisahan terakhir, yang kita semua harus lakukan, ketika Tuhan memanggil kita ke sisi lain: Saya memikirkan hal ini".
"Perpisahan-perpisahan besar dari kehidupan ini, juga perpisahan terakhir, bukan merupakan perpisahan-perpisahan" yang berakhir dengan "sampai jumpa segera, sampai jumpa lagi, sampai kita berjumpa lagi". Mereka bukan merupakan perpisahan-perpisahan "yang di dalamnya kita tahu ia sedang kembali segera maupun dalam seminggu". Sebaliknya, dengan perpisahan-perpisahan besar, "kita tidak tahu kapan atau bagaimana" kepulangan yang mungkin. Dan "perpisahan terakhir bahkan dilukiskan dalam seni, dalam lagu, misalnya". Dalam hal ini, Paus Fransiskus teringat lagu tradisional pasukan Alpine, menceritakan kesaksian sang kapten, "ketika kapten itu menawarkan perpisahan untuk para prajuritnya". Dia kemudian mengajukan pertanyaan: "Apakah aku memikirkan perpisahan besar itu, perpisahan besarku", yang berarti : "tidak ketika aku harus mengatakan 'sampai jumpa segera', 'sampai jumpa lagi', 'sampai kita berjumpa lagi', tetapi 'selamat tinggal'?'.
Kedua teks dalam liturgi hari itu "mengucapkan kata 'selamat tinggal'" : Paulus mempercayakan dirinya kepada Allah, dan Yesus mempercayakan kepada Bapa murid-muridnya, yang tinggal di dunia. "Mempercayakan kepada Bapa, mempercayakan kepada Allah"-lah yang merupakan "asal kata" 'selamat tinggal'". Bahkan, "kita mengucapkan 'selamat tinggal' hanya dalam perpisahan-perpisahan besar, entah perpisahan-perpisahan kehidupan, atau perpisahan terakhir".
Berhadapan ikon "Paulus yang menangis, berlutut di pantai" dan ikon "Yesus, bersedih karena ia akan pergi menuju sengsara-Nya, bersama murid-murid-Nya, menangis di dalam hati-Nya", Paus Fransiskus menganjurkan agar kita "merenungkan diri kita sendiri : itu akan ada baiknya kita lakukan". Dan agar kita bertanya kepada diri kita sendiri: "siapa orang yang akan menutup mataku? Apakah aku akan pergi?". Paus Fransiskus mencatat, pada kenyataannya, bahwa "Paulus dan Yesus, dalam perikop-perikop ini, keduanya melakukan sebuah pemeriksaan batin: 'Aku telah melakukan ini, ini dan ini'". Dan dengan demikian ada baiknya bertanya pada diri kita sendiri, dalam semacam pemeriksaan batin: "Apa yang telah aku lakukan?". Dan melakukannya dengan kesadaran bahwa "ada baik bagiku untuk membayangkan diriku pada saat itu, kita tidak pernah tahu kapan, yang di dalamnya 'sampai jumpa segera', 'sampai jumpa lagi', 'sampai kita berjumpa lagi' akan menjadi 'selamat tinggal'". Beliau kemudian mengundang permenungan lebih lanjut: "Apakah aku siap untuk mempercayakan kepada Allah semua orang yang aku cintai? Mempercayakan diriku kepada Allah? Mengatakan kata itu yang adalah kata pemercayaan Sang Putra kepada Bapa?".
Paus Fransiskus juga menasihati: "jika Anda memiliki sedikit waktu hari ini dan, jika Anda tidak memilikinya, temukanlah!" : membaca Bab 16 Injil Yohanes atau Bab 19 Kisah Para Rasul. Ini adalah "perpisahan Yesus dan perpisahan Paulus". Dalam terang teks-teks ini yang sesungguhnya, pentinglah "berpikir bahwa suatu hari aku juga harus mengatakan kata itu : 'selamat tinggal'". Ya, beliau menambahkan, "kepada Allah aku mempercayakan jiwaku; kepada Allah aku mempercayakan sejarahku; kepada Allah aku mempercayakan orang-orang yang kucintai; kepada Allah aku mempercayakan semuanya".
"Sekarang", Paus Fransiskus mengakhiri, "marilah kita memperingati 'selamat tinggal Yesus, kematian Yesus". Dan beliau berdoa "agar Yesus, yang wafat dan bangkit, sudi mengutus kepada kita Roh Kudus sehingga kita mempelajari kata ini, belajar untuk mengatakannya secara eksistensial, dengan seluruh kekuatan kita : kata terakhir : 'selamat tinggal'".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.