Bacaan Ekaristi : Kej 17:1.9-10.15-22; Mat 8:1-4
Dekat dengan orang-orang yang terpinggirkan, memperpendek jarak hingga menjamah mereka tanpa takut kotor. Ini adalah "kedekatan Kristen" yang ditunjukkan Yesus kepada kita secara nyata ketika Ia membebaskan orang kusta dari kenajisan penyakit dan juga dari pengucilan sosial. Itulah pokok homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Jumat pagi, 26 Juni 2015, di Casa Santa Marta, Vatikan. Paus Fransiskus meminta setiap orang Kristen dan Gereja secara keseluruhan untuk memiliki sikap "kedekatan" ini.
"Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia". Demikian Paus Fransiskus memulai homilinya, mengulangi kata-kata pertama dari Bacaan Injil hari itu (Mat 8:1-4). Semua orang-orang itu, Paus Fransiskus menjelaskan, "mendengar pengajaran-Nya : mereka heran karena Ia berbicara kepada mereka 'dengan kuasa', tidak seperti para ahli Taurat" yang biasa mereka dengarkan. Injil memaparkan dengan jelas bahwa "mereka heran".
Dengan demikian, orang-orang ini mulai mengikuti Yesus, tanpa lelah mendengarkan-Nya. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa orang-orang ini "tinggal sepanjang hari dan, pada akhirnya, para Rasul" menyadari bahwa mereka kelaparan. Tetapi "mendengarkan Yesus adalah sebuah sukacita bagi mereka". Dan dengan demikian, "ketika Yesus selesai berbicara, Ia turun dari bukit dan orang-orang mengikuti-Nya" dan berkumpul di sekeliling-Nya. Orang-orang ini, Bapa Suci mengingatkan, "pergi di jalan-jalan, di jalan-jalan kecil, bersama Yesus".
Namun, "ada orang-orang lain yang tidak mengikuti-Nya: mereka mengawasi-Nya dari jauh, dengan rasa ingin tahu", bertanya-tanya, "Siapakah orang ini?". Bagaimanapun juga, Paus Fransiskus menjelaskan, tidak pernah "mereka mendengarkan pengajaran yang menakjubkan seperti itu". Dan dengan demikian ada "orang-orang yang sedang menyaksikan dari trotoar" dan "ada orang-orang lain yang tidak bisa mendekat : hukum melarangnya untuk mereka 'najis,". Orang kusta yang dibicarakan dalam Injil Matius adalah dari kelompok ini.
"Orang Kusta ini merasakan dalam hatinya kerinduan untuk mendekat kepada Yesus", Paus Fransiskus mencatat. "Ia mengambil keberanian dan mendekati". Tetapi "ia adalah seorang yang terpinggirkan", dan dengan demikian, "tidak bisa melakukannya". Namun, "ia memiliki iman di dalam orang itu, mengambil keberanian dan mendekat", beralih "hanya kepada doanya : 'Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku". Ia mengatakan hal ini "karena ia najis". Memang, "penyakit kusta adalah hukuman seumur hidup". Dan "menyembuhkan penderita kusta adalah sama sulitnya dengan membangkitkan orang mati : inilah mengapa mereka terpinggirkan. Mereka semua ada demikian. Mereka tidak bisa bergaul dengan orang-orang".
Tetapi, ada "juga orang yang meminggirkan diri", Paus Fransiskus melanjutkan. "Para ahli Taurat yang selalu mengawasi dengan kerinduan untuk mencobai Yesus, untuk membuat-Nya tergelincir, dan kemudian menghukum-Nya". Namun, orang kusta tahu bahwa ia "najis, sakit, dan ia mendekati". Maka, Paus Fransiskus bertanya, "apa yang dilakukan Yesus?". Ia tidak berdiri diam, tanpa menjamahnya, tetapi malahan makin mendekat, mengulurkan tangan-Nya dan menyembuhkannya.
"Kedekatan", Paus Fransiskus menjelaskan, adalah "sebuah kata yang sedemikian penting : kalian tidak dapat membangun sebuah jemaat tanpa kedekatan; kalian tidak dapat berdamai tanpa kedekatan;kalian tidak dapat berbuat baik tanpa mendekat". Yesus bisa saja berkata kepadanya : "Sembuhlah!". Tetapi malahan Ia mendekat dan menjamahnya. "Apa lagi: pada saat Yesus menjamah orang najis itu, Ia menjadi najis". Dan "ini adalah misteri Yesus : Ia mengambil atas diri-Nya sendiri kenajisan kita, kekotoran kita".
Adalah sebuah kenyataan, Paus Fransiskus melanjutkan, yang menggambarkan Santo Paulus dengan baik ketika ia menulis bahwa Yesus, "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri". Paulus berjalan lebih jauh, menyatakan bahwa "Yesus menjadi berdosa": Yesus menjadi berdosa, Yesus menjadi terpinggirkan, mengambil kekotoran atas diri-Nya untuk mendekat kepada manusia. Maka "Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan", melainkan "telah mengosongkan diri-Nya sendiri, mendekat, menjadi berdosa, menjadi najis".
"Begitu sering, saya berpikir bahwa itu mungkin, saya tidak akan mengatakan tidak mungkin, tetapi sangat sulit untuk berbuat baik tanpa tangan kita kotor". Dan "Yesus menjadi kotor" dengan "kedekatan"-Nya. Tetapi kemudian, Matius menceritakan, Ia pergi lebih jauh, mengatakan kepada orang yang dibebaskan dari penyakitnya : "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka".
Pada dasarnya, "manusia itu yang terpinggirkan dari kehidupan sosial, termasuk Yesus : termasuk di dalam Gereja, termasuk di dalam masyarakat". Beliau menyarankan: "Pergilah, sehingga segalanya akan menjadi seperti seharusnya". Dengan demikian, "Yesus tidak pernah meminggirkan siapa pun, sungguh!". Selain itu, Yesus "meminggirkan diri-Nya untuk menyertakan orang yang terpinggirkan, untuk menyertakan kita, orang-orang berdosa, orang-orang yang terpinggirkan, dengan hidup-Nya!". Dan "ini indah", Paus Fransiskus mencatat.
"Berapa banyak orang mengikuti Yesus pada waktu itu dan telah mengikuti Yesus dalam sejarah karena mereka heran bagaimana Ia berbicara ", Paus Fransiskus menjelaskan. Dan "berapa banyak orang sedang menyaksikan dari jauh dan tidak mengerti, tidak tertarik; berapa banyak orang menyaksikan dari jauh tetapi dengan hati yang jahat, untuk mencobai Yesus, mengkritik-Nya, menghukum-Nya". Namun, "berapa banyak orang menyaksikan dari jauh karena mereka tidak memiliki keberanian" orang kusta itu, "tetapi memiliki kerinduan mendekat seperti itu". Dan "dalam kasus itu, Yesus mengulurkan tangan-Nya, pertama-tama; tidak seperti dalam kasus ini, tetapi dalam keberadaan-Nya Ia mengulurkan tangan-Nya kepada semua orang, menjadi salah seorang dari kita, seperti kita : orang-orang berdosa seperti kita tetapi tanpa dosa; tetapi orang berdosa, yang dikotori oleh dosa-dosa kita". Dan "ini adalah kedekatan Kristen".
"Kedekatan" adalah sebuah "kata yang indah, bagi kita masing-masing", Paus Fransiskus melanjutkan. Kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: "Apakah aku tahu cara mendekat? Apakah aku memiliki kekuatan, apakah aku memiliki keberanian untuk menjamah orang-orang yang terpinggirkan?". Dan "Gereja, paroki-paroki, jemaat-jemaat, para pelaku hidup bakti, para uskup, para imam, semua orang" harus juga menjawab pertanyaan ini : "Apakah aku memiliki keberanian untuk mendekat atau apakah aku selalu menjaga jarak? Apakah aku memiliki keberanian untuk memperpendek jarak, seperti yang dilakukan Yesus?".
Paus Fransiskus kemudian menekankan bahwa "sekarang di altar", Yesus "akan mendekat kepada kita: Ia akan memperpendek jarak". Oleh karena itu, "marilah kita memohon kepada-Nya rahmat ini: Tuhan, semoga aku tidak takut untuk mendekat kepada orang-orang yang membutuhkan, kepada orang-orang yang membutuhkan yang kelihatan atau kepada mereka yang memiliki luka-luka tersembunyi". Ini, Paus Fransiskus mengakhiri, adalah "rahmat semakin dekat".
Dekat dengan orang-orang yang terpinggirkan, memperpendek jarak hingga menjamah mereka tanpa takut kotor. Ini adalah "kedekatan Kristen" yang ditunjukkan Yesus kepada kita secara nyata ketika Ia membebaskan orang kusta dari kenajisan penyakit dan juga dari pengucilan sosial. Itulah pokok homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Jumat pagi, 26 Juni 2015, di Casa Santa Marta, Vatikan. Paus Fransiskus meminta setiap orang Kristen dan Gereja secara keseluruhan untuk memiliki sikap "kedekatan" ini.
"Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia". Demikian Paus Fransiskus memulai homilinya, mengulangi kata-kata pertama dari Bacaan Injil hari itu (Mat 8:1-4). Semua orang-orang itu, Paus Fransiskus menjelaskan, "mendengar pengajaran-Nya : mereka heran karena Ia berbicara kepada mereka 'dengan kuasa', tidak seperti para ahli Taurat" yang biasa mereka dengarkan. Injil memaparkan dengan jelas bahwa "mereka heran".
Dengan demikian, orang-orang ini mulai mengikuti Yesus, tanpa lelah mendengarkan-Nya. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa orang-orang ini "tinggal sepanjang hari dan, pada akhirnya, para Rasul" menyadari bahwa mereka kelaparan. Tetapi "mendengarkan Yesus adalah sebuah sukacita bagi mereka". Dan dengan demikian, "ketika Yesus selesai berbicara, Ia turun dari bukit dan orang-orang mengikuti-Nya" dan berkumpul di sekeliling-Nya. Orang-orang ini, Bapa Suci mengingatkan, "pergi di jalan-jalan, di jalan-jalan kecil, bersama Yesus".
Namun, "ada orang-orang lain yang tidak mengikuti-Nya: mereka mengawasi-Nya dari jauh, dengan rasa ingin tahu", bertanya-tanya, "Siapakah orang ini?". Bagaimanapun juga, Paus Fransiskus menjelaskan, tidak pernah "mereka mendengarkan pengajaran yang menakjubkan seperti itu". Dan dengan demikian ada "orang-orang yang sedang menyaksikan dari trotoar" dan "ada orang-orang lain yang tidak bisa mendekat : hukum melarangnya untuk mereka 'najis,". Orang kusta yang dibicarakan dalam Injil Matius adalah dari kelompok ini.
"Orang Kusta ini merasakan dalam hatinya kerinduan untuk mendekat kepada Yesus", Paus Fransiskus mencatat. "Ia mengambil keberanian dan mendekati". Tetapi "ia adalah seorang yang terpinggirkan", dan dengan demikian, "tidak bisa melakukannya". Namun, "ia memiliki iman di dalam orang itu, mengambil keberanian dan mendekat", beralih "hanya kepada doanya : 'Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku". Ia mengatakan hal ini "karena ia najis". Memang, "penyakit kusta adalah hukuman seumur hidup". Dan "menyembuhkan penderita kusta adalah sama sulitnya dengan membangkitkan orang mati : inilah mengapa mereka terpinggirkan. Mereka semua ada demikian. Mereka tidak bisa bergaul dengan orang-orang".
Tetapi, ada "juga orang yang meminggirkan diri", Paus Fransiskus melanjutkan. "Para ahli Taurat yang selalu mengawasi dengan kerinduan untuk mencobai Yesus, untuk membuat-Nya tergelincir, dan kemudian menghukum-Nya". Namun, orang kusta tahu bahwa ia "najis, sakit, dan ia mendekati". Maka, Paus Fransiskus bertanya, "apa yang dilakukan Yesus?". Ia tidak berdiri diam, tanpa menjamahnya, tetapi malahan makin mendekat, mengulurkan tangan-Nya dan menyembuhkannya.
"Kedekatan", Paus Fransiskus menjelaskan, adalah "sebuah kata yang sedemikian penting : kalian tidak dapat membangun sebuah jemaat tanpa kedekatan; kalian tidak dapat berdamai tanpa kedekatan;kalian tidak dapat berbuat baik tanpa mendekat". Yesus bisa saja berkata kepadanya : "Sembuhlah!". Tetapi malahan Ia mendekat dan menjamahnya. "Apa lagi: pada saat Yesus menjamah orang najis itu, Ia menjadi najis". Dan "ini adalah misteri Yesus : Ia mengambil atas diri-Nya sendiri kenajisan kita, kekotoran kita".
Adalah sebuah kenyataan, Paus Fransiskus melanjutkan, yang menggambarkan Santo Paulus dengan baik ketika ia menulis bahwa Yesus, "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri". Paulus berjalan lebih jauh, menyatakan bahwa "Yesus menjadi berdosa": Yesus menjadi berdosa, Yesus menjadi terpinggirkan, mengambil kekotoran atas diri-Nya untuk mendekat kepada manusia. Maka "Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan", melainkan "telah mengosongkan diri-Nya sendiri, mendekat, menjadi berdosa, menjadi najis".
"Begitu sering, saya berpikir bahwa itu mungkin, saya tidak akan mengatakan tidak mungkin, tetapi sangat sulit untuk berbuat baik tanpa tangan kita kotor". Dan "Yesus menjadi kotor" dengan "kedekatan"-Nya. Tetapi kemudian, Matius menceritakan, Ia pergi lebih jauh, mengatakan kepada orang yang dibebaskan dari penyakitnya : "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka".
Pada dasarnya, "manusia itu yang terpinggirkan dari kehidupan sosial, termasuk Yesus : termasuk di dalam Gereja, termasuk di dalam masyarakat". Beliau menyarankan: "Pergilah, sehingga segalanya akan menjadi seperti seharusnya". Dengan demikian, "Yesus tidak pernah meminggirkan siapa pun, sungguh!". Selain itu, Yesus "meminggirkan diri-Nya untuk menyertakan orang yang terpinggirkan, untuk menyertakan kita, orang-orang berdosa, orang-orang yang terpinggirkan, dengan hidup-Nya!". Dan "ini indah", Paus Fransiskus mencatat.
"Berapa banyak orang mengikuti Yesus pada waktu itu dan telah mengikuti Yesus dalam sejarah karena mereka heran bagaimana Ia berbicara ", Paus Fransiskus menjelaskan. Dan "berapa banyak orang sedang menyaksikan dari jauh dan tidak mengerti, tidak tertarik; berapa banyak orang menyaksikan dari jauh tetapi dengan hati yang jahat, untuk mencobai Yesus, mengkritik-Nya, menghukum-Nya". Namun, "berapa banyak orang menyaksikan dari jauh karena mereka tidak memiliki keberanian" orang kusta itu, "tetapi memiliki kerinduan mendekat seperti itu". Dan "dalam kasus itu, Yesus mengulurkan tangan-Nya, pertama-tama; tidak seperti dalam kasus ini, tetapi dalam keberadaan-Nya Ia mengulurkan tangan-Nya kepada semua orang, menjadi salah seorang dari kita, seperti kita : orang-orang berdosa seperti kita tetapi tanpa dosa; tetapi orang berdosa, yang dikotori oleh dosa-dosa kita". Dan "ini adalah kedekatan Kristen".
"Kedekatan" adalah sebuah "kata yang indah, bagi kita masing-masing", Paus Fransiskus melanjutkan. Kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: "Apakah aku tahu cara mendekat? Apakah aku memiliki kekuatan, apakah aku memiliki keberanian untuk menjamah orang-orang yang terpinggirkan?". Dan "Gereja, paroki-paroki, jemaat-jemaat, para pelaku hidup bakti, para uskup, para imam, semua orang" harus juga menjawab pertanyaan ini : "Apakah aku memiliki keberanian untuk mendekat atau apakah aku selalu menjaga jarak? Apakah aku memiliki keberanian untuk memperpendek jarak, seperti yang dilakukan Yesus?".
Paus Fransiskus kemudian menekankan bahwa "sekarang di altar", Yesus "akan mendekat kepada kita: Ia akan memperpendek jarak". Oleh karena itu, "marilah kita memohon kepada-Nya rahmat ini: Tuhan, semoga aku tidak takut untuk mendekat kepada orang-orang yang membutuhkan, kepada orang-orang yang membutuhkan yang kelihatan atau kepada mereka yang memiliki luka-luka tersembunyi". Ini, Paus Fransiskus mengakhiri, adalah "rahmat semakin dekat".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.