Bacaan Ekaristi : Ayb 3:1-3,11-17,20-23; Mzm 88:2-3,4-5,6,7-8; Luk 9:51-56
Paus Fransiskus mengatakan keheningan dan doa adalah cara untuk mengatasi saat-saat tergelap kita, ketimbang beralih ke obat-obatan atau minuman beralkohol untuk melarikan diri dari kesengsaraan kita. Beliau menyampaikan hal ini dalam homilinya selama Misa harian pagi Selasa 27 September 2016 di kapel Casa Santa Marta, Vatikan.
Mengambil permenungannya dari bacaan pertama hari itu (Ayb 3:1-3,11-17,20-23) di mana Ayub sedang mengalami kehancuran rohani dan sedang melampiaskan kesedihannya di hadapan Allah, Paus Fransiskus memusatkan homilinya pada saat-saat gelap kehancuran rohani ini yang kita semua alami pada beberapa titik tertentu dan menjelaskan bagaimana kita bisa mengatasinya. Beliau mengatakan meskipun Ayub berada dalam kesulitan besar dan telah kehilangan segalanya ia tidak mengutuk Allah dan letupan perasaannya adalah letupan "seorang anak di depan ayahnya".
"Kehancuran rohani adalah sesuatu yang terjadi pada kita semua : ia bisa menjadi lebih kuat atau lebih lemah ... tetapi itu perasaan kegelapan rohani, perasaan putus asa, ketidakpercayaan, kurangnya keinginan untuk hidup, tanpa melihat ujung terowongan, dengan begitu banyak pergolakan dalam hatinya dan dalam gagasan-gagasannya ... Kehancuran rohani membuat kita merasa seolah-olah jiwa kita hancur, kita tidak bisa berhasil, kita tidak bisa berhasil dan kita juga tidak ingin hidup : 'Kematian lebih baik!' Inilah letupan perasaan Ayub. Lebih mati daripada hidup seperti ini. Kita perlu memahami bahwa ketika jiwa kita dalam keadaan kesedihan yang disamaratakan kita hampir tidak bisa bernapas : Hal ini terjadi pada kita semua ... entah kuat atau tidak ... .. pada kita semua. (Kita perlu) memahami apa yang terjadi di dalam hati kita".
Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan : "Apa yang harus kita lakukan ketika kita mengalami saat-saat gelap ini, sebuah tragedi keluarga, sebuah penyakit, sesuatu yang membebani kita?". Memperhatikan bahwa beberapa orang akan berpikir mengambil obat tidur dan melupakan masalah-masalah mereka atau minum satu, dua, tiga atau empat gelas beliau memperingatkan bahwa metode-metode ini "tidak membantu". Sebaliknya, liturgi hari ini menunjukkan kepada kita bagaimana cara mengatasi kehancuran rohani ini", ketika kita suam-suam kuku, tertekan dan tanpa harapan".
Paus Fransiskus mengatakan jalan keluar dari situasi ini adalah berdoa, berdoa dengan lantang, seperti yang dilakukan Ayub, siang dan malam sampai Allah mendengar.
"Mengetuk pintu adalah sebuah doa tetapi dengan kekuatan! 'Tuhan, jiwaku jenuh dengan masalah-masalah. Hidup saya semakin dekat ke neraka. Saya terhitung di antara orang-orang yang turun ke dalam jurang; Saya adalah orang tanpa kekuatan'. Berapa kali kita merasa seperti ini, tanpa kekuatan? Dan di sinilah doa. Tuhan kita sendiri mengajarkan kita bagaimana berdoa di saat-saat mengerikan ini. 'Tuhan, Engkau telah menjatuhkan saya ke jurang yang dalam. Atasku, murka-Mu memberatkan. Biarlah doaku hadir di hadapan-Mu, Tuhan". Inilah doa dan inilah bagaimana kita harus berdoa di saat kita yang paling gelap, paling mengerikan, paling suram dan paling menghancurkan saat-saat yang sedang benar-benar menghancurkan kita. Inilah doa yang tulus. Dan itu juga memberikan ventilasi seperti yang dilakukan Ayub bersama anak-anaknya. Bagaikan seorang anak".
Pentingnya keheningan, mendekat dan berdoa ditekankan oleh Paus Fransiskus yang mengatakan itulah cara yang benar untuk berperilaku ketika berhadapan dengan orang-orang yang sedang menjalani saat-saat gelap, memperingatkan kata-kata dan pidato-pidato dalam situasi-situasi ini bisa membahayakan.
"Pertama-tama, kita harus mengakui dalam diri kita saat-saat kehancuran rohani, ketika kita berada dalam kegelapan, tanpa harapan dan bertanya kepada diri kita sendiri mengapa. Kedua, kita harus berdoa kepada Tuhan seperti bacaan hari itu dari Mazmur 87 yang mengajarkan kita untuk berdoa pada saat-saat gelap kita. 'Biarlah doaku datang di hadirat-Mu, Tuhan'. Ketiga, ketika saya mendekat kepada orang yang sedang menderita, baik penyakit, atau apa pun jenis penderitaan lainnya dan yang sedang mengalami perasaan kehancuran, kita harus hening : tetapi keheningan dengan banyak kasih, kedekatan dan belaian. Dan kita tidak harus membuat pidato yang tidak membantu pada akhirnya dan bahkan bisa membahayakan".
Paus Fransiskus mengakhiri homilinya dengan memohon kepada Tuhan untuk menganugerahkan kita tiga rahmat ini : rahmat untuk mengenali kehancuran rohani, rahmat untuk berdoa ketika kita menderita perasaan kehancuran rohani dan juga rahmat untuk mengenali bagaimana mendekat kepada orang-orang yang sedang menderita saat-saat kesedihan dan kehancuran rohani yang mengerikan".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.