Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENUTUPAN YUBILEUM MARIA 9 Oktober 2016

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19

Hari Minggu ini (bdk. Luk 17:11-19) Injil mengajak kita untuk mengakui karunia-karunia Allah dengan ketakjuban dan rasa syukur. Dalam perjalanan menuju kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus bertemu sepuluh orang kusta, yang mendekati-Nya, menjaga jarak mereka dan menceritakan masalah-masalah mereka kepada Dia yang dirasakan iman mereka sebagai Sang Penyelamat yang tepat : "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" (ayat 13). Mereka sakit dan mereka sedang mencari seseorang untuk menyembuhkan mereka. Yesus menjawab dengan mengatakan kepada mereka untuk pergi dan memperlihatkan diri kepada para imam, yang menurut hukum Taurat bertanggung jawab menetapkan secara resmi seseorang dianggap sembuh. Dengan cara ini, Yesus tidak hanya menjanjikan mereka; Ia menguji iman mereka. Pada saat itu, sesungguhnya, sepuluh orang kusta tersebut belum sembuh. Mereka dipulihkan kesehatannya setelah mereka mengemukakan ketaatan kepada perintah Yesus. Kemudian, dengan gembira, mereka memperlihatkan diri mereka kepada para imam dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melupakan Sang Pemberi, Bapa, yang menyembuhkan mereka melalui Yesus, Putra-Nya yang menjadi manusia.

Tetapi seorang di antaranya : seorang Samaria, seorang asing yang tinggal di pinggiran umat pilihan, sebetulnya seorang kafir! Orang ini tidak puas disembuhkan oleh imannya, tetapi menyempurnakan penyembuhan itu dengan kembali untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya atas karunia yang diterima. Ia mengakui Yesus Sang Imam sejati, yang telah membangkitkannya dan menyelamatkannya, yang sekarang dapat menentukannya di jalan-Nya dan menerimanya sebagai salah seorang murid-Nya.

Dapat mengucapkan terima kasih, dapat memuji Tuhan atas apa yang telah Ia lakukan bagi kita : ini penting! Jadi kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri : Apakah kita mampu mengatakan "Terima kasih"? Berapa kali kita mengatakan "Terima kasih" dalam keluarga kita, komunitas kita, dan dalam Gereja? Berapa kali kita mengatakan "Terima kasih" kepada mereka yang membantu kita, kepada mereka yang dekat dengan kita, kepada mereka yang menyertai kita lewat kehidupan? Seringkali kita memerlukan segala sesuatu dikabulkan! Hal ini juga terjadi dengan Allah. Sangatlah mudah mendekati Tuhan untuk meminta sesuatu, kecuali kembali dan berterima kasih ... Itulah sebabnya Yesus begitu menekankan kegagalan sembilan orang kusta yang tidak tahu terima kasih : "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" (Luk 17:17-18).

Pada hari Yubileum ini, kita diberi model, memang model, yang kepadanya kita dapat memandang : Maria, Bunda kita. Setelah mendengar pesan Malaikat, ia melambungkan hatinya dalam sebuah kidung pujian dan syukur kepada Allah : "Jiwaku memuliakan Tuhan ...". Marilah kita mohon kepada Bunda kita untuk membantu kita mengakkui bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, dan dapat mengatakan "Terima kasih". Kemudian sukacita kita akan menjadi penuh.

Dapat berterima kasih juga membutuhkan kerendahan hati. Dalam Bacaan Pertama kita mendengar kisah tunggal Naaman, panglima tentara Raja Aram (bdk. 2 Raj 5:14-17). Agar disembuhkan dari penyakit kustanya, ia menerima saran seorang budak miskin dan mempercayakan dirinya kepada nabi Elisa, yang dianggapnya musuh. Naaman meskipun demikian siap untuk merendahkan dirinya. Elisa tidak meminta apa-apa daripadanya, tetapi hanya memerintahkannya mandi di perairan Sungai Yordan. Permintaan ini membingungkan Naaman, bahkan menggusarkan. Dapatkan seorang Allah yang menuntut hal-hal dangkal seperti itu benar-benar Allah? Ia ingin berpaling, tetapi kemudian ia setuju untuk membenanmkan diri di sungai Yordan dan segera ia sembuh.

Hati Maria, lebih dari hati lainnya, adalah hati yang rendah hati, mampu menerima karunia-karunia Allah. Agar menjadi manusia, Allah dengan tepat memilih dia, seorang perempuan muda Nazaret yang sederhana, yang tidak tinggal di istana kekuasaan dan kekayaan, yang tidak melakukan hal-hal yang luar biasa. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita siap menerima karunia-karunia Allah, atau malahan lebih memilih menutup diri dalam bentuk keamanan materi, keamanan intelektual kita, keamanan rencana-rencana kita.

Uniknya, Naaman dan orang Samaria adalah dua orang asing. Berapa banyak orang asing, termasuk umat agama-agama lain, mencontohkan kita nilai-nilai yang kadang-kadang kita lupakan atau sisihkan! Mereka tinggal di samping kita, yang mungkin dicemooh dan dikesampingkan karena mereka adalah orang-orang asing, malahan dapat mengajarkan kita bagaimana berjalan di jalan yang diinginkan Tuhan. Bunda Allah, bersama-sama dengan Yosef suaminya, tahu apa artinya hidup jauh dari rumah. Ia juga lama menjadi orang asing di Mesir, jauh dari kerabat dan teman-temannya. Namun imannya mampu mengatasi kesulitan-kesulitan. Marilah kita berpegang pada iman Bunda Allah yang kudus yang sederhana ini; marilah kita memonhon kepadanya agar kita dapat selalu datang kembali kepada Yesus dan mengungkapkan terima kasih kita atas banyak manfaat yang kita terima dari kerahiman-Nya.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.