Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL 24 Desember 2016

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14

"Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata" (Tit 2:11). Kata-kata Rasul Paulus mengungkapkan misteri malam suci ini : kasih karunia Allah telah tampak, karunia-Nya cuma-cuma; dalam diri Sang Anak yang dikaruniakan kepada kita kasih Allah menjadi terlihat.

Ini adalah sebuah malam kemuliaan, kemuliaan itu diwartakan oleh para malaikat di Betlehem dan juga oleh kita hari ini di seluruh dunia. Ini adalah sebuah malam sukacita, karena sejak hari ini seterusnya, dan sepanjang segala abad, Allah yang tak terbatas dan kekal adalah Allah beserta kita : Ia tidak jauh, kita tidak perlu mencari-Nya di awang-awang atau dalam angan-angan mistis; Ia dekat, Ia telah menjadi manusia dan tidak akan pernah menjauhkan diri dari kemanusiaan kita, yang Ia telah menjadikan diri-Nya manusia. Ini adalah sebuah malam terang : terang itu, yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya (bdk 9:1), yang akan menerangi mereka yang berjalan dalam kegelapan, telah tampak dan meliputi para gembala Betlehem (bdk. Luk 2:9).

Para gembala sungguh-sungguh menemukan bahwa "seorang anak telah lahir untuk kita" (Yes 9:5) dan mereka memahami bahwa segala kemuliaan ini, segala sukacita ini, segala terang ini mengumpul ke satu titik tunggal, tanda yang ditunjukkan oleh malaikat kepada mereka itu : "Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (Luk 2:12). Ini adalah tanda abadi untuk menemukan Yesus. Tidak hanya itu, tetapi juga hari ini. Jika kita ingin merayakan Natal secara otentik, kita perlu merenungkan tanda ini : kesederhanaan yang rapuh dari seorang bayi kecil yang baru lahir, kelemahlembutan dari tempat Ia diletakkan, kasih sayang yang lembut dari kain lampin. Allah ada di sana.

Dengan tanda ini Injil mengungkapkan sebuah paradoks : ia berbicara tentang kaisar, gubernur, orang-orang yang berkuasa pada masa itu, tetapi Allah tidak menjadikan diri-Nya hadir di sana; Ia tidak tampak dalam aula besar dari sebuah istana kerajaan, tetapi dalam kemiskinan dari sebuah kandang domba; bukan dalam kemegahan dan pertontonan, tetapi dalam kesederhanaan kehidupan; bukan dalam kekuasaan, tetapi dalam sebuah kekecilan yang mengejutkan. Untuk menemukan-Nya, kita perlu pergi ke sana, di mana Ia berada : kita harus bersujud, merendahkan diri kita, menjadikan diri kita kecil. Anak yang dilahirkan menantang kita: Ia memanggil kita untuk meninggalkan khayalan-khayalan sekilas dan pergi ke inti pokoknya, meninggalkan gugatan-gugatan kita yang tidak pernah terpuaskan, meninggalkan ketidakpuasan dan kesedihan kita yang tak berujung terhadap sesuatu yang tidak pernah akan kita miliki. Itu akan membantu kita untuk meninggalkan hal-hal ini guna menemukan kembali dalam kesederhanaan Allah-anak, kedamaian, sukacita dan makna kehidupan.

Mari kita mengizinkan Sang Anak dalam palungan untuk menantang kita, tetapi marilah kita juga membiarkan diri kita ditantang oleh anak-anak dunia saat ini, yang sedang tidak berbaring di sebuah pondok yang dibelai dengan kasih sayang seorang ibu dan ayah, melainkan mendapati "palungan-palungan kotor yang mengganyang martabat" : bersembunyi di bawah tanah untuk melarikan diri dari berondongan senjata, di trotoar-trotoar sebuah kota besar, di bagian bawah sebuah perahu yang penuh sesak dengan para imigran. Marilah kita membiarkan diri kita ditantang oleh anak-anak yang tidak diperbolehkan untuk dilahirkan, oleh orang-orang yang menangis karena tidak ada yang mengenyangkan rasa lapar mereka, oleh mereka yang tidak memiliki mainan di tangan mereka, melainkan senjata.

Misteri Natal, yang adalah terang dan sukacita, menanyai dan meresahkan kita, karena ia adalah sekaligus sebuah misteri harapan maupun sebuah misteri kesedihan. Ia memikul di dalam dirinya rasa kesedihan, karena kasih tidak diterima, dan kehidupan dicampakkan. Hal ini terjadi pada Yosef dan Maria, yang menemukan pintu-pintu tertutup, dan menempatkan Yesus dalam sebuah palungan, "karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan" (ayat 7). Yesus dilahirkan ditolak oleh beberapa orang dan dipandang oleh banyak orang lain dengan ketidakpedulian. Hari ini juga ketidakpedulian yang sama bisa ada, ketika Natal menjadi sebuah pesta di mana para pelaku utamanya adalah diri kita sendiri, bukan Yesus; ketika lampu-lampu perdagangan melemparkan terang Allah ke dalam bayang-bayang; ketika kita prihatin atas hadiah-hadiah tetapi dingin terhadap orang-orang yang terpinggirkan.

Namun Natal pada dasarnya memiliki sebuah rasa harapan karena, terlepas dari aspek-aspek yang lebih gelap dari kehidupan kita, terang Allah bersinar ke luar. Terang-Nya yang lembut tidak membuat kita takut; Allah yang berada dalam kasih dengan kita, menarik kita kepada diri-Nya dengan kelembutan-Nya, lahir miskin dan rapuh di antara kita, sebagai salah seorang dari kita. Ia dilahirkan di Betlehem, yang berarti "rumah roti". Dengan jalan ini Ia tampaknya memberitahu kita bahwa Ia dilahirkan sebagai roti untuk kita; Ia memasuki kehidupan untuk memberi kita hidup-Nya; Ia datang ke dunia kita untuk memberi kita kasih-Nya. Ia tidak datang untuk mengganyang atau memerintah tetapi untuk memelihara dan melayani. Jadi ada sebuah untaian langsung yang menghubungkan palungan dan salib, di mana Yesus akan menjadi roti yang dipecah-pecahkan : itu adalah untaian langsung dari kasih yang diberikan dan yang menyelamatkan kita, yang membawa terang ke kehidupan kita, dan kedamaian ke hati kita.

Para gembala menggenggam hal ini di malam itu. Mereka berada di antara orang-orang yang terpinggirkan zaman mereka. Tetapi tak seorang pun terpinggirkan dalam penglihatan Allah dan justru merekalah yang diundang ke Kelahiran Yesus. Mereka yang merasa yakin diri akan diri mereka, cukup diri, berada di rumah dengan harta benda mereka; para gembala malahan "cepat-cepat berangkat" (bdk. Luk 2:16). Marilah kita membiarkan diri kita juga ditantang dan diundang malam ini oleh Yesus. Marilah kita pergi kepada-Nya dengan kepercayaan, dari wilayah di dalam diri kita di mana kita merasa terpinggirkan, dari keterbatasan-keterbatasan kita sendiri. Marilah kita menyentuh kelembutan yang menyelamatkan. Marilah kita mendekat kepada Allah yang mendekat kepada kita, marilah kita berhenti sejenak untuk memandang kandang Natal, dan membayangkan kelahiran Yesus : terang, kedamaian, kemiskinan sepenuhnya, dan penolakan. Marilah kita masuk ke dalam kelahiran Yesus yang sesungguhnya bersama para gembala, membawa kepada Yesus seluruh diri kita, keterasingan kita, luka-luka kita yang tak tersembuhkan. Kemudian, di dalam diri Yesus kita akan menikmati cita rasa semangat Natal yang sesungguhnya : keindahan dikasihi oleh Allah. Bersama Maria dan Yosef kita berhenti sejenak di depan palungan, di hadapan Yesus yang dilahirkan sebagai roti untuk kehidupanku. Merenungkan kasih-Nya yang rendah hati dan tak terbatas, marilah kita mengatakan kepada-Nya : terima kasih, terima kasih karena Engkau telah melakukan semua ini untukku.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.