Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH 1 JanuarI 2017

Bacaan Ekaristi : Bil 6:22-27; Mzm 67:2-3.5.6.8; Gal 4:4-7; Luk 2:16-21

"Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya" (Luk 2:19). Dengan kata-kata ini, Lukas menggambarkan sikap yang diambil Maria dalam semua yang telah mereka alami dalam hari-hari itu. Jauh dari berusaha untuk memahami atau menguasai situasi, Maria adalah perempuan yang bisa menghargai, boleh dikatakan, melindungi dan menjaga dalam hatinya, bagian Allah dalam kehidupan umat-Nya. Jauh di lubuk hati, ia telah belajar untuk mendengarkan detak jantung Putranya, dan yang pada gilirannya mengajarkannya, sepanjang hidupnya, untuk menemukan detak jantung Allah dalam sejarah. Ia belajar bagaimana menjadi seorang ibu, dan dalam proses pembelajaran itu ia memberi Yesus pengalaman yang indah memahami apa itu seorang Putra. Di dalam diri Maria, Sang Sabda kekal tidak hanya menjadi daging, tetapi juga belajar mengenali kelembutan keibuan Allah. Bersama Maria, Kanak-kanak Allah belajar mendengarkan kerinduan, kesulitan, sukacita dan pengharapan umat akan janji. Bersama Maria, Ia mendapati diri-Nya seorang Putra dari umat Allah.

Dalam Injil-injil, Maria muncul sebagai seorang perempuan beberapa patah kata, tanpa omong atau perbuatan besar, tetapi dengan tatapan penuh perhatian mampu menjaga kehidupan dan perutusan Putranya, dan karena alasan ini, segala sesuatu yang Ia kasihi. Ia mampu mengawasi awal jemaat kristiani perdana, dan dengan cara ini ia belajar untuk menjadi ibu dari orang banyak. Ia mendekati berbagai situasi untuk menabur pengharapan. Ia menyertai salib yang ditanggung dalam keheningan hati anak-anaknya. Betapa banyak devosi, tempat suci dan kapel di tempat-tempat yang paling jauh, berapa banyak gambar di rumah-rumah kita, mengingatkan kita akan kebenaran yang agung ini. Maria memberi kita kehangatan seorang ibu, kehangatan yang melindungi kita di tengah-tengah kesulitan, kehangatan keibuan yang menjaga apapun atau siapapun dari padamnya dalam hati Gereja revolusi kelembutan yang diresmikan oleh Putranya. Di mana ada seorang ibu, di sana ada kelembutan. Dengan keibuannya, Maria menunjukkan kepada kita bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan orang-orang lemah tetapi keutamaan-keutamaan orang-orang kuat. Ia mengajarkan kita agar kita tidak memperlakukan orang lain agar merasa penting (bdk. Evangelii Gaudium, 288). Umat Allah yang kudus selalu mengakui dan menyalaminya sebagai Bunda Allah yang kudus.

Merayakan Maria sebagai Bunda Allah dan bunda kita di awal tahun baru berarti mengingat sebuah kepastian yang akan menyertai hari-hari kita : kita adalah suatu umat dengan seorang bunda; kita bukanlah anak-anak yatim piatu.

Para ibu merupakan penangkal terkuat terhadap kecenderungan-kecenderungan kita yang bersifat perorangan dan egois, terhadap kurangnya keterbukaan kita dan ketidakpedulian kita. Sebuah masyarakat tanpa para ibu tidak hanya akan menjadi sebuah masyarakat yang dingin, tetapi sebuah masyarakat yang telah kehilangan hatinya, kehilangan "nuansa rumah". Sebuah masyarakat tanpa para ibu akan menjadi sebuah masyarakat yang tanpa belas kasih, masyarakat yang memiliki ruangan hanya untuk perhitungan dan spekulasi. Karena para ibu, bahkan pada saat-saat terburuk, mampu bersaksi terhadap kelembutan, pengorbanan diri yang tanpa syarat dan kekuatan pengharapan. Saya telah belajar banyak dari para ibu yang anak-anaknya berada dalam penjara, atau berbaring di tempat tidur rumah sakit, atau dalam ketergantungan obat, namun, datangnya dingin atau panas, hujan atau angin, tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang terbaik bagi mereka. Atau para ibu yang berada di kamp-kamp pengungsian ini, atau bahkan di tengah-tengah perang, tak kunjung padam merangkul dan menunjang penderitaan anak-anak mereka. Para ibu yang secara harfiah memberikan hidup mereka sehingga tak satu pun anak-anak mereka akan binasa. Di mana ada seorang ibu, di sana ada kesatuan, ada kepemilikan, kepemilikan sebagai anak-anak.

Mengawali tahun dengan mengingat kebaikan Allah dalam wajah keibuan Maria, dalam wajah keibuan Gereja, dalam wajah para ibu kita sendiri, melindungi kita dari wabah yang menghancurkan yang menjadikan "anak-anak yatim piatu rohani". Jiwa mengalami rasa menjadi yatim piatu ketika ia merasa tak beribu dan kurangnya kelembutan Allah, ketika rasa memiliki sebuah keluarga, sebuah bangsa, sebuah negeri, rasa memiliki Allah kita, semakin meredup. Rasa menjadi yatim piatu ini menginap dalam hati yang narsis yang hanya mampu memandang dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri. Ia tumbuh ketika kita betapa melupakan bahwa kehidupan adalah sebuah karunia yang telah kita terima - dan berhutang kepada orang lain - sebuah karunia di mana kita dipanggil untuk membagikannya dalam rumah bersama ini.

Keyatimpiatuan yang egois seperti itulah yang menyebabkan Kain bertanya : "Apakah aku penjaga adikku?" (Kej 4:9). Seolah-olah mengatakan : dia bukan milikku; aku tidak mengenalinya. Sikap keyatimpiatuan rohani ini adalah sebuah kanker yang secara diam-diam menggerogoti dan merendahkan jiwa. Kita semua menjadi semakin direndahkan, lantaran tak seorang pun yang menjadi milik kita dan kita tidak memiliki siapa pun. Aku merendahkan bumi karena ia bukan milikku; Aku merendahkan orang lain karena mereka bukan milikku; Aku merendahkan Allah karena aku bukan milik-Nya, dan pada akhirnya kita merendahkan diri kita yang sesungguhnya, karena kita melupakan siapa kita dan "nama keluarga" ilahi yang kita pikul. Hilangnya ikatan yang menyatukan kita, sangat khas budaya kita yang terpenggal-penggal dan terbagi-bagi, meningkatkan rasa keyatimpiatuan ini dan, sebagai hasilnya, rasa kekosongan dan kesepian yang luar biasa. Kurangnya kontak fisik (dan tidak kasat mata) sedang membuat kasar hati kita (bdk. Laudato Si', 49) dan membuat kita kehilangan kemampuan terhadap kelembutan dan ketakjuban, terhadap rasa iba dan kasih sayang. Keyatimpiatuan rohani membuat kita lupa apa artinya menjadi anak-anak, cucu-cucu, para orang tua, para kakek-nenek, teman-teman dan orang-orang percaya. Ia membuat kita melupakan pentingnya bermain, bernyanyi, sebuah senyuman, istirahat, rasa syukur.

Merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah membuat kita tersenyum sekali lagi ketika kita menyadari bahwa kita adalah suatu umat, di mana kita adalah miliknya, di mana hanya di dalam sebuah jemaat, di dalam sebuah keluarga, kita sebagai pribadi-pribadi bisa menemukan "iklim", "kehangatan" yang memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam kemanusiaan, dan bukan hanya sebagai benda-benda yang dimaksudkan untuk "memakai dan dipakai". Merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah mengingatkan kita bahwa kita bukanlah barang dagangan atau para pengolah informasi yang dapat dipertukarkan. Kita adalah anak-anak, kita adalah keluarga, kita adalah umat Allah.

Merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah membawa kita untuk menciptakan dan merawat tempat-tempat umum yang dapat memberi kita rasa memiliki, rasa berakar, rasa berada di rumah di kota-kota kita, dalam jemaat-jemaat yang menyatukan dan mendukung kita (bdk. Laudato Si', 151).

Yesus, pada saat puncak pengorbanan diri-Nya, di kayu salib, berusaha untuk tidak mempertahan apapun bagi diri-Nya sendiri, dan dengan menyerahkan nyawa-Nya, Ia juga menyerahkan kepada kita ibu-Nya. Ia mengatakan kepada Maria : Inilah anakmu; inilah anak-anakmu. Kita juga ingin menerima dia ke dalam rumah-rumah kita, keluarga-keluarga kita, jemaat-jemaat dan bangsa-bangsa kita. Kita ingin menemui tatapan keibuannya. Tatapan yang membebaskan kita dari menjadi anak-anak yatim piatu; tatapan yang mengingatkan kita bahwa kita adalah saudara dan saudari, bahwa aku milikmu, bahwa engkau milikku, bahwa kita berasal dari daging yang sama. Tatapan yang mengajarkan kita bahwa kita harus belajar bagaimana merawat kehidupan dengan cara yang sama dan dengan kelembutan yang sama seperti yang ia lakukan : dengan menabur pengharapan, dengan menabur rasa memiliki dan rasa persaudaraan.

Merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah mengingatkan kita bahwa kita memiliki seorang Ibu. Kita bukanlah anak-anak yatim piatu. Kita memiliki seorang Ibu. Bersama-sama marilah kita semua mengakui kebenaran ini. Saya mengundang kalian menyerukannya tiga kali, berdiri [semua berdiri], seperti jemaat Efesus : Bunda Allah yang kudus, Bunda Allah yang kudus, Bunda Allah yang kudus.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.