Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2017

Bacaan Ekaristi : Yes 60:1-6; Mzm 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef 3:2-3a,5-6; Mat 2:1-12

“Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia" (Mat 2:2)

Dengan kata-kata ini, para Majus, yang datang dari jauh, mengatakan kepada kita alasan untuk perjalanan panjang mereka : mereka datang untuk menyembah Raja yang baru dilahirkan. Melihat dan menyembah. Kedua tindakan ini menonjol dalam kisah Injil. Kami melihat bintang dan kami ingin menyembah.

Orang-orang ini melihat sebuah bintang yang membuat mereka berangkat. Penemuan sesuatu yang tidak biasa di langit memicu serangkaian peristiwa. Bintang tidak bersinar hanya untuk mereka, ataupun mereka tidak memiliki DNA khusus untuk dapat melihatnya. Sebagaimana dicatat salah seorang Bapa Gereja sudah pada tempatnya, para Majus tidak berangkat karena mereka telah melihat bintang tersebut, tetapi mereka melihat bintang itu karena mereka telah berangkat (bdk. Santo Yohanes Krisostomus). Hati mereka terbuka terhadap cakrawala dan mereka bisa melihat apa yang sedang dipertunjukkan langit kepada mereka, karena mereka dipandu oleh sebuah kegelisahan batin. Mereka terbuka terhadap sesuatu yang baru.

Demikianlah para Majus mempribadikan semua orang yang percaya, mereka yang rindu akan Allah, yang mendambakan rumah mereka, tanah air surgawi mereka. Mereka mencerminkan rupa semua orang yang dalam kehidupan mereka telah membiarkan hati mereka terbius.

Sebuah kerinduan yang kudus akan Allah merosot ke dalam hati orang-orang percaya karena mereka tahu bahwa Injil bukanlah suatu peristiwa masa lalu, tetapi peristiwa masa kini. Sebuah kerinduan yang kudus akan Allah membantu kita tetap waspada dalam menghadapi setiap upaya untuk mengurangi dan memiskinkan kehidupan kita. Sebuah kerinduan yang kudus akan Allah adalah kenangan iman, yang memberontak di hadapan semua nabi azab. Kerinduan itu menjaga harapan tetap hidup dalam komunitas orang percaya, yang dari minggu ke minggu terus memohon : "Datanglah, Tuhan Yesus".

Kerinduan yang sama ini menyebabkan Simeon yang sudah lanjut usia setiap hari naik ke Bait Allah, yakin bahwa hidupnya tidak akan berakhir sebelum ia memegang Juruselamat dalam pelukannya. Kerinduan ini menuntun sang anak bungsu untuk meninggalkan gaya hidupnya yang merusak dirinya sendiri dan mencari pelukan ayahnya. Inilah kerinduan yang dirasakan oleh gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan domba untuk mencari salah satu domba yang hilang. Maria Magdalena mengalami kerinduan yang sama pada hari Minggu pagi itu ketika ia berlari menuju kubur dan bertemu Gurunya yang bangkit. Kerinduan akan Allah menarik kita keluar dari keterasingan kita yang berbusanakan besi, yang membuat kita berpikir bahwa tidak ada satupun yang dapat berubah. Kerinduan akan Allah menghancurkan rutinitas kita yang suram dan mendorong kita untuk membuat perubahan yang kita inginkan dan butuhkan. Kerinduan akan Allah berakar di masa lalu namun tidak ada lagi : ia menggapai masa depan. Orang-orang percaya yang merasakan kerinduan ini dituntun oleh iman untuk mencari Allah, seperti yang dilakukan oleh para Majus, di sudut-sudut sejarah yang paling jauh, karena mereka tahu bahwa ada Tuhan menanti mereka. Mereka pergi ke pinggiran-pinggiran, ke perbatasan-perbatasan, ke tempat-tempat yang belum terinjili, untuk menjumpai Tuhan mereka. Ataupun juga mereka tidak melakukan hal ini demi rasa superioritas, tetapi malahan sebagai rakyat jelata yang tidak bisa mengabaikan mata orang-orang yang kepadanya Kabar Baik masih merupakan wilayah yang belum terpetakan.

Sikap yang sama sekali berbeda memerintah di istana Herodes, tak jauh dari Betlehem, di mana tak seorang pun menyadari apa yang sedang terjadi. Ketika para Majus melakukan perjalanan, Yerusalem tertidur. Ia tertidur dalam sebuah persengkongkolan dengan Herodes yang, ketimbang mencari, juga tertidur. Ia tertidur, terbius oleh hati nurani yang tak manusiawi. Ia kebingungan, takut. Ini adalah kebingungan yang, ketika berhadapan dengan kebaruan yang merevolusi sejarah, tertutup ke dalam dirinya sendiri dan pencapaian-pencapaiannya sendiri, pengetahuannya sendiri, keberhasilannya. Kebingungan orang yang duduk di atas kekayaannya namun tidak dapat melihat melampauinya. Kebingungan tersebut bersarang dalam hati orang-orang yang ingin mengendalikan segala sesuatu dan semua orang. Kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam budaya menang dengan apapun harganya, dalam budaya itu di mana hanya ada ruang untuk "para pemenang", apa pun harganya. Sebuah kebingungan yang lahir dari rasa takut dan gerak batin di hadapan sesuatu yang menantang kita, mempertanyakan kepastian-kepastian dan kebenaran-kebenaran kita, cara kita melekat pada dunia dan kehidupan ini. Herodes takut, dan rasa takut itu menyebabkan dia mencari keamanan dalam kejahatan : "Kamu membunuh anak-anak kecil dalam tubuh mereka, karena ketakutan sedang membunuhmu dalam hatimu" (Santo Quodvultdeus, Khotbah 2 tentang Syahadat : PL 40, 655).

Kami ingin menyembah. Orang-orang itu datang dari Timur untuk menyembah, dan mereka datang untuk melakukannya di tempat yang pantas untuk seorang : sebuah istana. Pencarian mereka menuntun mereka ke sana, karena sepantasnya seorang raja seharusnya dilahirkan dalam sebuah istana, di tengah-tengah istana dan seluruh kawulanya. Karena itulah tanda kekuasaan, keberhasilan, sebuah kehidupan pencapaian. Kita mungkin juga mengharapkan seorang raja harus dihormati, ditakuti dan dipuji-puji. Benar, tetapi tentu saja tidak dicintai. Kepada kelompok-kelompok duniawi, berhala yang tak berharga inilah kita memberi penghormatan : kultus kekuasaan, penampilan-penampilan lahiriah dan superioritas. Berhala yang menjanjikan hanya kesedihan dan perbudakan.

Di sanalah, di tempat itulah, orang-orang itu, datang dari jauh, akan memulai suatu perjalanan terpanjang mereka. Di sanalah mereka berangkat dengan berani melakukan sebuah perjalanan lebih sulit dan rumit. Mereka harus menemukan bahwa apa yang mereka cari bukan dalam sebuah istana, tetapi di tempat lain, baik secara keberadaan maupun geografis. Di sana, dalam istana, mereka tidak melihat bintang yang menuntun mereka untuk menemukan seorang Allah yang ingin dikasihi. Karena hanya di bawah bendera kebebasan, bukan tirani, sangatlah mungkin menyadari bahwa tatapan raja tak dikenal, tetapi diinginkan ini tidak merendahkan, memperbudak, atau memenjarakan kita. Menyadari bahwa tatapan Allah mengangkat, mengampuni dan menyembuhkan. Menyadari bahwa Allah ingin dilahirkan di tempat yang paling tidak kita harapkan, atau mungkin inginkan, di sebuah tempat yang begitu sering kita tolak. Menyadari bahwa di mata Allah selalu ada ruang bagi mereka yang terluka, letih lesu, teraniaya dan terlantar. Kekuatan dan kekuasaan-Nya itu disebut kerahiman. Bagi sebagian dari kita, betapa jauhnya Yerusalem dari Betlehem!

Herodes tidak dapat menyembah karena ia tidak bisa atau tidak akan mengubah caranya sendiri dalam memandang segala sesuatu. Ia tidak ingin berhenti menyembah dirinya sendiri, percaya bahwa segala sesuatunya berputar di sekelilingnya. Ia tidak mampu untuk menyembah, karena tujuannya adalah membuat orang lain menyembahnya. Ataupun para imam tidak bisa menyembah, karena meskipun mereka memiliki pengetahuan yang luar biasa, dan mengetahui nubuat-nubuat, mereka tidak siap untuk melakukan perjalanan atau mengubah cara mereka.

Para Majus mengalami kerinduan; mereka lelah akan perjalanan lazim mereka. Mereka semua terlalu akrab dengan, dan lelah lesu akan, Herodes dari hari mereka sendiri. Tetapi di Betlehem, ada sebuah janji kebaruan, janji tanpa sebab. Ada sesuatu yang baru sedang berlangsung. Para Majus mampu menyembah, karena mereka memiliki keberanian untuk berangkat. Dan saat mereka berlutut di hadapan Sang Bayi kecil, miskin dan tak berdaya, Kanak-kanak Betlehem yang tak diharapkan dan tak dikenal, mereka menemukan kemuliaan Allah.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.