Bacaan Ekaristi : Dan. 13:1-9,15-17,19-30,33-62 (Dan. 13:41c-62); Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6; Yoh. 8:1-11.
Dalam homilinya selama Misa harian Senin pagi 3 April 2017 di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus berfokus pada pentingnya penggenapan Hukum Taurat oleh Yesus : apa maknanya, dan bagaimana Ia menyempurnakannya.
Mengacu pada Bacaan Injil (Yoh. 8:1-11) yang menceritakan kerahiman Yesus terhadap perempuan yang kedapatan berbuat zinah, serta Bacaan Pertama (Dan. 13:1-9,15-17,19-30,33-62) yang menceritakan kisah Susana (seorang perempuan yang tidak bersalah dan istri yang suci yang dituduh berzinah dengan banyak laki-laki), pengangkatan hakim-hakim atas umat Allah, yang di dalamnya Tuhan pertama-tama mengangkat Daniel sebagai nabi-Nya, menjamin keadilan dalam bentuk pembenaran terhadap Susana dan hukuman bagi para penuduh palsunya, Paus Fransiskus mengatakan :
“Selalu ada hakim-hakim yang korup, dan masih ada hakim-hakim yang korup di mana-mana di dunia. Mengapa ada korupsi di dalam diri orang-orang? Dosa adalah satu hal : "Aku telah berdosa, aku telah tersandung, aku sudah tidak setia kepada Allah, tetapi kemudian aku mencoba untuk tidak melakukannya lagi, atau aku mencoba untuk memperbaikinya bersama Tuhan, atau setidaknya aku mengakui semuanya itu tidak baik“. Korupsi, meskipun : yaitu ketika dosa sungguh masuk semakin dalam, sungguh semakin dalam, sungguh semakin dalam ke dalam hati nurani kalian, dan tidak akan meninggalkan ruang bagi kalian sekalipun untuk bernapas”.
Segalanya, yaitu, “menjadi dosa” : yaitu "korupsi". Orang yang korup, Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengatakan, meyakini “dengan kekebalan hukum” bahwa mereka sedang melakukan kebaikan. Dalam kasus Susana, hakim-hakim tetua “dirusak oleh keburukan nafsu”, mengancam untuk memberikan “kesaksian palsu” terhadap dirinya. “Kasus pertama” tentang kesaksian palsu ini bukanlah yang pertama yang tercatat dalam Alkitab : Paus Fransiskus mengingat juga kasus Yesus sendiri, kutukan-Nya atas kesaksian palsu. Dalam kasus pezinah sejati, kita menemukan hakim-hakim lainnya, Paus Fransiskus mengatakan, yang “demi kulit buah mereka yang keras” telah mengizinkan ada tumbuh dalam pikiran mereka penafsiran hukum yang “begitu kaku sehingga tidak meninggalkan ruang untuk Roh Kudus” : artinya, "korupsi legalitas, korupsi legalisme, menentang rahmat". Lalu ada Yesus, Sang Guru Hukum yang sejati, di hadapan para hakim palsu yang telah "memutarbalikkan hati" atau memberi hukuman yang tidak adil, “menindas orang-orang yang tidak bersalah dan membebaskan para pelaku kejahatan” :
“Yesus mengatakan sedikit hal, sangat sedikit hal. Ia mengatakan : ‘Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’. Kepada perempuan yang berdosa tersebut [Ia berkata], ‘Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang’- dan inilah kepenuhan hukum, bukan kepenuhan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang telah merusak pikiran mereka dengan membuat begitu banyak hukum, banyak hukum, tanpa meninggalkan ruang untuk kerahiman. Yesus adalah kepenuhan hukum dan Allah menghakimi dengan kerahiman”.
Membebaskan perempuan yang tak berdosa, yang kepadanya Yesus mengatakan “Hai perempuan” karena - Paus Fransiskus mengatakan - “Ibu-Nya adalah satu-satunya perempuan yang tidak berdosa”, untuk hakim-hakim yang korup dicadangkan “bukan kata-kata yang bagus” melalui mulut nabi : “keriput dengan keburukan”. Oleh karena itu ajakan Paus Fransiskus adalah memikirkan kejahatan “yang dengannya keburukan kita menghakimi orang-orang” :
“Kita juga menghakimi orang lain dalam hati kita : apakah kita korup, atau belum? Berhentilah. Marilah kita menghentikan diri kita, dan marilah kita memandang Yesus, yang selalu menghakimi dengan kerahiman : ‘Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.