Ketika Allah memberi suatu karunia, karunia tersebut tak terbatalkan : Ia tidak memberikan sesuatu pada suatu hari, dan mengambilnya kembali hari berikutnya. Ketika Allah memanggil kita, panggilan itu tetap merupakan keseluruhan hidup kita. Paus Fransiskus mengawali homilinya dengan permenungan ini, yang diilhami oleh tema "pemilihan oleh Allah" kita, pilihan Allah terhadap kita masing-masing, yang diambil dari Bacaan Pertama (Rm 11:29-36).
Dalam sejarah keselamatan, Paus Fransiskus mengatakan, ada tiga "karunia dan panggilan Allah bagi umat-Nya" : "karunia pemilihan, karunia janji, dan karunia perjanjian". Semuanya tak terbatalkan, karena Allah setia. Inilah perkara Abraham, dan ini berlaku juga untuk kita semua.
"Kita masing-masing ditunjuk, dipilih oleh Allah. Kita masing-masing memikul sebuah janji yang telah dibuat oleh Allah : 'Berjalanlah di hadapan-Ku, jadilah tak tercela, dan Aku akan melakukan hal ini untukmu'. Dan kita masing-masing membuat beberapa perjanjian dengan Tuhan. Kamu bisa melakukannya, kamu bisa tidak menghendakinya - bebas. Tetapi ini adalah sebuah fakta. Dan juga, pasti ada sebuah pertanyaan : Bagaimana aku mengalami 'pemilihan'? Atau apakah aku menganggap diriku orang kristiani 'secara kebetulan' [Italia : 'per caso']? Bagaimana aku menjalani janji tersebut, janji keselamatan jalanku, dan bagaimana aku setia terhadap perjanjian tersebut? Seperti Ia adalah setia?".
Kemudian, berhadapan dengan "kesetiaan" Allah yang berkesinambungan tersebut, tetaplah bagi kita untuk bertanya kepada diri kita sendiri : Apakah kita merasakan "belaian" -Nya, perawatan-Nya bagi kita, dan Ia "mencari kita" saat kita menjauhkan diri daripada-Ny?
Tetapi, Paus Fransiskus melanjutkan, Santo Paulus, ketika berbicara tentang "pemilihan Allah" berulang kali kembali kembali ke dua kata : "ketidaktaatan" dan "kemurahan". Di mana ada ketidaktaatan, ada kemurahan, dan inilah jalan keselamatan kita.
"Yakni mengatakan bahwa di jalan pemilihan, janji, dan perjanjian, akan ada dosa, akan ada ketidaktaatan, namun jika berhadapan dengan ketidaktaatan ini selalu ada kemurahan. Ini bagaikan dinamika perjalanan kita menuju kedewasaan : selalu ada kemurahan, karena Ia setia, Ia tidak pernah menarik kembali karunia-karunia-Nya. Terkait; hal ini terkait, karunia-karunia itu tak terbatalkan; [tetapi] mengapa? Karena berhadapan dengan kelemahan-kelemahan kita, dosa-dosa kita, selalu ada kemurahan. Dan ketika Paulus sampai pada permenungan ini, ia melangkah lebih jauh : tetapi tidak dalam menjelaskan untuk kita, tetapi oleh penyembahan".
Berhadapan dengan "misteri ketidaktaatan dan kemurahan yang membebaskan kita ini", ada penyembahan dan pujian dalam hati. Dan berhadapan dengan "keindahan karunia-karunia yang tak terbatalkan ini seperti pemilihan, janji, dan perjanjian", di sana ada undangan terakhir dari Paus Fransiskus ini :
"Saya memikirkannya ada baiknya untuk kita, kita semua, hari ini memikirkan tentang pemilihan kita; tentang janji-janji yang telah diberikan Tuhan kepada kita; dan tentang bagaimana aku menjalankan perjanjian dengan Tuhan. Dan bagaimana aku membiarkan diriku - ijinkan saya mengucapkan sebuah kata - untuk menerima kemurahan Tuhan [Italia : 'misericordiare' dal Signore] dalam berhadapan dengan dosa-dosaku, ketidaktaatanku. Dan akhirnya, apakah aku mampu - seperti Paulus - memuji Tuhan atas apa yang telah Ia berikan kepadaku, kepada kita masing-masing : memuji, dan melakukan tindakan penyembahan itu. Tetapi jangan pernah lupa : karunia-karunia dan panggilan Allah tak terbatalkan".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.