Kita semua, hari ini, berkumpul di sini dengan harapan. Kita masing-masing, di dalam hati kita sendiri, dapat mengulangi kata-kata Ayub, yang telah kita dengar dalam Bacaan Pertama : "Aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu" (19:25). Harapan untuk kembali bertemu Allah, harapan pertemuan kita semua sebagai saudara : dan harapan ini tidak mengecewakan. Paulus dengan tegas mengungkapkan hal itu dalam Bacaan Kedua : "Pengharapan tidak mengecewakan" (Rm 5:5). Namun, harapan sering terlahir dan berakar dalam begitu banyak luka manusia, dalam begitu banyak penderitaan manusia dan saat dukacita, saat kesakitan, saat penderitaan, membuat kita memandang Surga dan berkata : "Aku percaya bahwa Penebusku hidup, tetapi hentikanlah, Tuhan". Dan ini merupakan, mungkin, doa yang terjadi dari kita semua, ketika kita memandang pemakaman ini. "Aku yakin, Tuhan, bahwa saudara-saudara kita ini bersama-sama dengan Engkau".
"Aku yakin", kita mengatakan ini, "tetapi tolong, Tuhan, hentikanlah. Tidak ada lagi, tidak ada lagi peperangan, tidak ada lagi pembunuhan yang sia-sia ini", sebagaimana dikatakan oleh Benediktus XV. Lebih baik berharap tanpa kehancuran ini : kaum muda ... ribuan, di atas ribuan, di atas ribuan, di atas ribuan harapan yang putus. "Tidak ada lagi, Tuhan". Dan kita harus mengatakan hal ini hari ini, yang mendoakan semua orang yang telah meninggal, tetapi di tempat ini kita mendoakan secara khusus para anak laki-laki ini - hari ini ketika dunia kembali berperang dan sedang bersiap untuk berjalan semakin kuat untuk berperang. "Tidak lagi, Tuhan, tidak lagi". Semuanya hilang dengan peperangan.
Teringat dalam pikiran bahwa wanita tua itu, memandang reruntuhan Hiroshima, dengan kepasrahan yang bijak tetapi banyak dukacita, dengan kepasrahan yang meratapi itu para wanita itu dapat hidup, karena itulah karisma mereka, mengatakan : "Manusia melakukan segalanya untuk menyatakan dan membuat peperangan. dan, pada akhirnya, mereka menghancurkan diri mereka sendiri. "Inilah perang : penghancuran diri kita sendiri. Tidak diragukan lagi wanita itu, wanita tua itu, telah kehilangan putra-putra dan cucu-cucu di sana. Ia hanya memiliki rasa sakit di dalam hatinya dan air mata. Dan jika hari ini adalah sebuah hari pengharapan, hari ini juga merupakan hari air mata. Air mata seperti itu yang dirasakan dan dimiliki para wanita ketika berita tersebut tiba:
"Kamu, Istri, hormatilah bahwa suamimu adalah seorang pahlawan Tanah Air; bahwa putra-putramu adalah pahlawan Tanah Air". Mereka adalah air mata yang tidak boleh dilupakan umat manusia hari ini. Kebanggaan umat manusia ini yang belum mempelajari pelajaran dan sepertinya tidak mau mempelajarinya!
Ketika berkali-kali dalam sejarah manusia memikirkan untuk memulai peperangan, mereka yakin mereka sedang membawa suatu dunia yang baru; mereka yakin membawa sebuah "musim semi", dan berakhir dalam musim dingin yang buruk dan kejam dengan berkuasanya teror dan kematian. Hari ini kita mendoakan semua orang yang telah meninggal, semuanya, tetapi khususnya untuk kaum muda ini, pada saat begitu banyak orang tewas dalam peperangan setiap hari dalam peperangan yang sedikit demi sedikit ini. Kita juga mendoakan orang-orang yang meninggal hari ini, peperangan mati, juga anak-anak yang tidak bersalah. Inilah buah perang : maut. Dan semoga Tuhan memberi kita rahmat untuk menangis.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.