Bacaan Ekaristi : Za 2:14-17; Ydt
13:18bcde,19; Luk 1:26-38
Injil (Luk 1:26-38) yang baru
saja dikumandangkan adalah kata pengantar dua kidung agung : kidung Maria yang
dikenal sebagai "Magnificat" dan kidung Zakaria,
"Benedictus", dan saya suka menyebutnya "kidung Elisabet atau
kidung kesuburan". Ribuan umat kristiani di seluruh dunia mengawali hari
menyanyikan : "Terpujilah Tuhan", dan mereka mengakhiri hari
"mengumandangkan keagungan-Nya karena Ia telah memperhatikan kerendahan
hamba-Nya". Jadi, hari demi hari, orang-orang percaya dari berbagai bangsa
berusaha mengingat, mengingat bahwa dari generasi ke generasi kerahiman Allah
meluas ke semua bangsa, seperti yang dijanjikan-Nya kepada para nenek moyang
kita. Dan dalam konteks kenangan penuh syukur ini, kidung Elisabet berkembang
dalam bentuk sebuah pertanyaan : "Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku
datang mengunjungi aku?". Kita mendapati Elisabet, perempuan yang ditandai
dengan tanda kemandulan, berkidung di bawah tanda kesuburan dan keheranan.
Saya ingin menggarisbawahi dua
aspek ini : Elisabet, perempuan yang berada di bawah tanda kemandulan dan di
bawah tanda kesuburan.
1. Elisabet, sang perempuan mandul,
dengan semua itu menyiratkan mentalitas keagamaan pada zamannya, yang
menganggap kemandulan sebagai hukuman ilahi, buah dari dosanya atau dosa
suaminya. Tanda perasaan malu ditanggungkan dalam tubuhnya sendiri atau karena
dianggap patut dihukum atas sebuah dosa yang tidak ia lakukan atau karena
merasa dirinya tidak berarti apa-apa karena tidak sesuai dengan ukuran apa yang
diharapkan dari dirinya. Marilah kita membayangkan, sejenak, pandangan
kerabatnya, tetangganya, terhadap dirinya ... kemandulan, yang membuatnya
terpuruk dan akhirnya melumpuhkan seluruh hidupnya. Kemandulan yang bisa
memiliki banyak nama dan bentuk setiap kali sehingga seseorang merasakan di
dalam tubuhnya perasaan malu melihat dirinya mengalami stigmatisasi atau
merasakan dirinya tak berarti apa-apa.
Kita bisa merasakan hal tersebut dalam diri Juan
Diego, seorang Indian yang sederhana, ketika ia berkata kepada Maria,
"Sebenarnya aku tidak berarti apa-apa, aku Mecapal, aku Cacaxtle, aku
adalah ekor, aku merasa bersayap, tunduk dan hingga tuntutan ke luar negeri,
bukan darimana asalku atau bukan apakah aku pergi ke sana ke tempat engkau
berkenan mengutusku".[1]
Jadi, perasaan ini juga bisa ada - seperti diperlihatkan oleh para uskup
Amerika Latin kepada kita - dalam "komunitas-komunitas Indian dan
Afro-Amerika kita yang, pada banyak kesempatan, tidak diperlakukan dengan
martabat dan persamaan kondisi; atau dalam banyak perempuan, yang dikucilkan
oleh karena jenis kelamin, ras atau keadaan sosial ekonomi mereka; kaum muda
yang menerima pendidikan bermutu rendah dan tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan studi mereka atau memasuki pasar kerja untuk mengembangkan diri
mereka dan membentuk sebuah keluarga; banyak orang miskin, pengangguran,
migran, pengungsi, penggarap lahan, yang mencoba bertahan dalam ekonomi
informal; anak laki-laki dan anak perempuan yang menjadi sasaran pelacuran anak
yang seringkali terkait dengan pariwisata seksual".[2]
2. Dan, bersama dengan Elisabet,
sang peremuan mandul, kita merenungkan Elisabet sang perempuan yang subur dan
keheranan. Dialah orang pertama yang mengenali dan memberkati Maria. Dia itulah
yang sudah lanjut usia mengalami dalam hidupnya, dalam tubuhnya, penggenapan
janji yang dibuat oleh Allah. Dia yang tidak memiliki anak mengandung dalam
rahimnya sang perintis keselamatan. Kita memahami dalam dirinya impian Allah
itu tidak atau tidak akan menjadi mandul atau menstigmatisasi anak-anak-Nya
atau memenuhi mereka dengan rasa malu, tetapi berkembang dalam diri mereka dan
dari mereka sebuah kidung berkat. Kita melihatnya dengan cara yang sama dalam
diri Juan Diego. Sebenarnya dialah, dan tidak ada orang lain, yang memajang
dalam tilma (semacam jubah khas Indian yang terbuat dari serat kaktus dan
dipakai di bagian depan, seringkali digunakan untuk membawa benda-benda)-nya
gambar Sang Perawan : Sang Perawan berkulit hitam dan berwajah Mestizo, yang
ditopang oleh seorang malaikat bersayap burung quetzal, pelikan dan macaw; Sang
Bunda dapat mengambil ciri-ciri anak-anaknya untuk membuat mereka merasakan
bagian dari berkatnya.
Tampaknya
berulang kali Allah bertekad untuk menunjukkan kepada kita batu yang dibuang
oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru (bdk. Mzm 118:22).
Saudara-saudara
terkasih, di tengah-tengah dialektika kemandulan-kesuburan ini marilah kita
lihat kekayaan dan keragaman budaya bangsa-bangsa Amerika Latin dan Karibia
kita, inilah tanda kekayaan yang besar di mana kita diundang tidak hanya
melestarikannya tetapi, terutama di zaman kita, menjaganya dengan keberanian
dari semua upaya penyeragaman, yang diakhiri dengan pemaksaan - di bawah
slogan-slogan yang menarik - hanya satu cara pikir, cara keberadaan, cara
merasakan, cara hidup, yang akhirnya membuat tidak sah atau mandul semua yang
telah kita warisi dari leluhur kita; yang akhirnya membuat kita merasakan,
terutama kaum muda kita, sedikit hal yang menjadi milik budaya ini atau itu.
Singkatnya, kesuburan kita memanggil kita untuk menjaga bangsa-bangsa kita dari
sebuah penjajahan ideologis yang menghapuskan <bagian> yang terkaya,
entah mereka orang-orang Indian, Afro-Amerika, Mestizo, para petani atau
orang-orang pinggiran kota.
Bunda
Allah adalah pola Gereja (Lumen Gentium,
63) dan dari dirinya kita ingin belajar menjadi Gereja dengan wajah Mestizo,
dengan wajah petani Indian, Afro-Amerika, atau seorang anak laki-laki atau
seorang anak perempuan, orang tua atau orang muda, sehingga tak seorang pun
yang merasa mandul atau tidak berbuah, sehingga tak seorang pun yang merasa
malu atau tak berguna. Tetapi, sebaliknya, sehingga masing-masing orang,
seperti Elisabet dan Juan Diego, merasakan dirinya memiliki sebuah janji,
sebuah harapan, dan mampu mengatakan dari keberadaannya yang terdalam :
"ya Abba, ya Bapa!" (Gal 4:6) dari misteri hubungan darah itu yang,
tanpa menghapuskan sifat masing-masing orang, kesemestaan kita membentuk kita
sebagai sebuah umat. Saudara-saudara, dalam atmosfir kenangan penuh syukur akan
keberadaan kita sebagai orang-orang Amerika Latin ini, marilah kita
mengidungkan di dalam hati kita, kidung Elisabet, kidung kesuburan, dan marilah
kita mengatakannya bersama-sama kepada bangsa-bangsa kita agar tidak bosan
mengulanginya : Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu,
Yesus.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.