Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA SANTA MARIA DARI GUADALUPE (MISA UNTUK AMERIKA LATIN) 12 Desember 2017 : BUNDA MARIA ADALAH POLA GEREJA


Bacaan Ekaristi : Za 2:14-17; Ydt 13:18bcde,19; Luk 1:26-38

Injil (Luk 1:26-38) yang baru saja dikumandangkan adalah kata pengantar dua kidung agung : kidung Maria yang dikenal sebagai "Magnificat" dan kidung Zakaria, "Benedictus", dan saya suka menyebutnya "kidung Elisabet atau kidung kesuburan". Ribuan umat kristiani di seluruh dunia mengawali hari menyanyikan : "Terpujilah Tuhan", dan mereka mengakhiri hari "mengumandangkan keagungan-Nya karena Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya". Jadi, hari demi hari, orang-orang percaya dari berbagai bangsa berusaha mengingat, mengingat bahwa dari generasi ke generasi kerahiman Allah meluas ke semua bangsa, seperti yang dijanjikan-Nya kepada para nenek moyang kita. Dan dalam konteks kenangan penuh syukur ini, kidung Elisabet berkembang dalam bentuk sebuah pertanyaan : "Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?". Kita mendapati Elisabet, perempuan yang ditandai dengan tanda kemandulan, berkidung di bawah tanda kesuburan dan keheranan.


Saya ingin menggarisbawahi dua aspek ini : Elisabet, perempuan yang berada di bawah tanda kemandulan dan di bawah tanda kesuburan.

1.    Elisabet, sang perempuan mandul, dengan semua itu menyiratkan mentalitas keagamaan pada zamannya, yang menganggap kemandulan sebagai hukuman ilahi, buah dari dosanya atau dosa suaminya. Tanda perasaan malu ditanggungkan dalam tubuhnya sendiri atau karena dianggap patut dihukum atas sebuah dosa yang tidak ia lakukan atau karena merasa dirinya tidak berarti apa-apa karena tidak sesuai dengan ukuran apa yang diharapkan dari dirinya. Marilah kita membayangkan, sejenak, pandangan kerabatnya, tetangganya, terhadap dirinya ... kemandulan, yang membuatnya terpuruk dan akhirnya melumpuhkan seluruh hidupnya. Kemandulan yang bisa memiliki banyak nama dan bentuk setiap kali sehingga seseorang merasakan di dalam tubuhnya perasaan malu melihat dirinya mengalami stigmatisasi atau merasakan dirinya tak berarti apa-apa.

Kita bisa merasakan hal tersebut dalam diri Juan Diego, seorang Indian yang sederhana, ketika ia berkata kepada Maria, "Sebenarnya aku tidak berarti apa-apa, aku Mecapal, aku Cacaxtle, aku adalah ekor, aku merasa bersayap, tunduk dan hingga tuntutan ke luar negeri, bukan darimana asalku atau bukan apakah aku pergi ke sana ke tempat engkau berkenan mengutusku".[1] Jadi, perasaan ini juga bisa ada - seperti diperlihatkan oleh para uskup Amerika Latin kepada kita - dalam "komunitas-komunitas Indian dan Afro-Amerika kita yang, pada banyak kesempatan, tidak diperlakukan dengan martabat dan persamaan kondisi; atau dalam banyak perempuan, yang dikucilkan oleh karena jenis kelamin, ras atau keadaan sosial ekonomi mereka; kaum muda yang menerima pendidikan bermutu rendah dan tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi mereka atau memasuki pasar kerja untuk mengembangkan diri mereka dan membentuk sebuah keluarga; banyak orang miskin, pengangguran, migran, pengungsi, penggarap lahan, yang mencoba bertahan dalam ekonomi informal; anak laki-laki dan anak perempuan yang menjadi sasaran pelacuran anak yang seringkali terkait dengan pariwisata seksual".[2]

2.    Dan, bersama dengan Elisabet, sang peremuan mandul, kita merenungkan Elisabet sang perempuan yang subur dan keheranan. Dialah orang pertama yang mengenali dan memberkati Maria. Dia itulah yang sudah lanjut usia mengalami dalam hidupnya, dalam tubuhnya, penggenapan janji yang dibuat oleh Allah. Dia yang tidak memiliki anak mengandung dalam rahimnya sang perintis keselamatan. Kita memahami dalam dirinya impian Allah itu tidak atau tidak akan menjadi mandul atau menstigmatisasi anak-anak-Nya atau memenuhi mereka dengan rasa malu, tetapi berkembang dalam diri mereka dan dari mereka sebuah kidung berkat. Kita melihatnya dengan cara yang sama dalam diri Juan Diego. Sebenarnya dialah, dan tidak ada orang lain, yang memajang dalam tilma (semacam jubah khas Indian yang terbuat dari serat kaktus dan dipakai di bagian depan, seringkali digunakan untuk membawa benda-benda)-nya gambar Sang Perawan : Sang Perawan berkulit hitam dan berwajah Mestizo, yang ditopang oleh seorang malaikat bersayap burung quetzal, pelikan dan macaw; Sang Bunda dapat mengambil ciri-ciri anak-anaknya untuk membuat mereka merasakan bagian dari berkatnya.

Tampaknya berulang kali Allah bertekad untuk menunjukkan kepada kita batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru (bdk. Mzm 118:22).

Saudara-saudara terkasih, di tengah-tengah dialektika kemandulan-kesuburan ini marilah kita lihat kekayaan dan keragaman budaya bangsa-bangsa Amerika Latin dan Karibia kita, inilah tanda kekayaan yang besar di mana kita diundang tidak hanya melestarikannya tetapi, terutama di zaman kita, menjaganya dengan keberanian dari semua upaya penyeragaman, yang diakhiri dengan pemaksaan - di bawah slogan-slogan yang menarik - hanya satu cara pikir, cara keberadaan, cara merasakan, cara hidup, yang akhirnya membuat tidak sah atau mandul semua yang telah kita warisi dari leluhur kita; yang akhirnya membuat kita merasakan, terutama kaum muda kita, sedikit hal yang menjadi milik budaya ini atau itu. Singkatnya, kesuburan kita memanggil kita untuk menjaga bangsa-bangsa kita dari sebuah penjajahan ideologis yang menghapuskan <bagian> yang terkaya, entah mereka orang-orang Indian, Afro-Amerika, Mestizo, para petani atau orang-orang pinggiran kota.

Bunda Allah adalah pola Gereja (Lumen Gentium, 63) dan dari dirinya kita ingin belajar menjadi Gereja dengan wajah Mestizo, dengan wajah petani Indian, Afro-Amerika, atau seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan, orang tua atau orang muda, sehingga tak seorang pun yang merasa mandul atau tidak berbuah, sehingga tak seorang pun yang merasa malu atau tak berguna. Tetapi, sebaliknya, sehingga masing-masing orang, seperti Elisabet dan Juan Diego, merasakan dirinya memiliki sebuah janji, sebuah harapan, dan mampu mengatakan dari keberadaannya yang terdalam : "ya Abba, ya Bapa!" (Gal 4:6) dari misteri hubungan darah itu yang, tanpa menghapuskan sifat masing-masing orang, kesemestaan kita membentuk kita sebagai sebuah umat. Saudara-saudara, dalam atmosfir kenangan penuh syukur akan keberadaan kita sebagai orang-orang Amerika Latin ini, marilah kita mengidungkan di dalam hati kita, kidung Elisabet, kidung kesuburan, dan marilah kita mengatakannya bersama-sama kepada bangsa-bangsa kita agar tidak bosan mengulanginya : Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.


[1]Nican Mopohua, 55.
[2]bdk. Aparecida, 65.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.