Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH II (HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI) 8 April 2018 : MENGALAMI KASIH ALLAH SEARTI DENGAN MEMBIARKAN DIRI KITA DIAMPUNI OLEH-NYA

Bacaan Ekaristi : Kis. 4:32-35; Mzm. 118:2-4,16ab-18, 22-24; 1Yoh. 5:1-6; Yoh. 20:19-31.

Dalam Injil hari ini, kita mendengar, berulang kali, kata “melihat”. Para murid bersukacita ketika mereka melihat Tuhan (Yoh. 20:20). Mereka memberitahu Tomas : “Kami telah melihat Tuhan” (ayat 25). Tetapi Injil tidak menjelaskan bagaimana mereka melihat-Nya; Injil tidak melukiskan Yesus yang bangkit. Injil hanya menyebutkan satu rincian : "Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka" (ayat 20). Seolah-olah Injil ingin memberitahu kita bahwa itulah bagaimana para murid mengenali Yesus : melalui luka-luka-Nya. Hal yang sama terjadi pada Tomas. Ia juga ingin melihat “bekas paku pada tangan-Nya” (ayat 25), dan setelah melihat, ia percaya (ayat 27).


Terlepas dari imannya yang kurang, kita seharusnya berterima kasih kepada Tomas, karena ia tidak puas mendengar dari orang lain bahwa Yesus hidup, atau hanya melihat tubuh-Nya. Ia ingin melihat ke dalam, menjamah dengan tangannya luka-luka Tuhan, tanda-tanda kasih-Nya. Injil menyebut Tomas Didimus (ayat 24), yang berarti si Kembar, dan dalam hal ini, ia benar-benar saudara kembar kita. Karena bagi kita juga, tidaklah cukup mengetahui bahwa Allah itu ada. Allah yang bangkit tetapi tetap jauh tidak memenuhi hidup kita; Allah yang terasing tidak menarik kita, betapa pun adil dan kudusnya Dia. Tidak, kita juga perlu “melihat Allah”, menjamah-Nya dengan tangan kita dan mengetahui bahwa Ia telah bangkit, dan bangkit bagi kita.

Bagaimana kita bisa melihat-Nya? Seperti para murid : melalui luka-luka-Nya. Menatap luka-luka itu, para murid memahami kedalaman kasih-Nya. Mereka memahami bahwa Ia telah mengampuni mereka, bahkan meskipun beberapa murid telah menyangkal-Nya dan meninggalkan-Nya. Masuk ke dalam luka-luka Yesus adalah merenungkan kasih yang tak terbatas yang mengalir dari hati-Nya. Inilah caranya. Caranya adalah menyadari bahwa hati-Nya berdenyut untuk saya, untuk kalian, untuk kita masing-masing. Saudara-saudari terkasih, kita dapat menganggap diri kita umat kristiani, menyebut diri kita umat kristiani dan berbicara tentang banyak nilai indah dari iman, tetapi, seperti para murid, kita perlu melihat Yesus dengan menjamah kasih-Nya. Hanya dengan demikian kita dapat pergi ke jantung iman dan, seperti para murid, menemukan kedamaian dan sukacita (bdk. ayat 19-20) tanpa keraguan.

Tomas, setelah melihat luka-luka Tuhan, berseru: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (ayat 28). Saya ingin merenungkan kata sifat yang diulangi Tomas : aku. Kata tersebut adalah kata sifat yang berkenaan dengan kepemilikan. Ketika kita memikirkannya, kata tersebut mungkin tampak tidak pantas digunakan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah menjadi milikku? Bagaimana aku bisa menjadikan Yang Mahakuasa menjadi milikku? Kebenarannya adalah, dengan mengatakan milikku, kita tidak mencemarkan Allah, tetapi menjunjung kerahiman-Nya. Karena Allah ingin "menjadi milik kita". Seperti dalam kisah cinta, kita mengatakan kepada-Nya : “Engkau menjadi manusia untukku, Engkau wafat dan bangkit untukku dan karenanya Engkau bukan hanya Allah; Engkau adalah Allahku, Engkau adalah hidupku. Dalam Engkau, aku telah menemukan kasih yang sedang aku cari, dan lebih dari yang pernah kubayangkan”.

Allah tidak merasa tersinggung menjadi "milik kita" karena kasih menuntut keyakinan, kerahiman menuntut kepercayaan. Pada awal Dasa Firman, Allah berkata : “Akulah TUHAN, Allahmu” (Kel 20:2), dan ditegaskan kembali : “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (ayat 5). Di sini kita melihat bagaimana Allah menghadirkan diri-Nya sebagai seorang pengasih yang cemburu yang menyebut diri-Nya Allahmu. Dari lubuk hati Tomas muncul jawaban : “Ya Tuhanku dan Allahku!” Ketika hari ini kita masuk, melalui luka-luka Kristus, ke dalam misteri Allah, kita menjadi sadar bahwa kerahiman bukan hanya salah satu keutamaan, tetapi denyut sesungguhnya dari hati-Nya. Kemudian, seperti Tomas, kita tidak lagi hidup sebagai para murid, tidak yakin, saleh, tetapi goyah. Kita juga jatuh cinta kepada Tuhan! Kita tidak perlu takut dengan kata-kata ini : jatuh cinta kepada Tuhan.

Bagaimana kita dapat mengecap kasih ini? Bagaimana hari ini kita dapat menjamah dengan tangan kita kerahiman Yesus? Sekali lagi, Injil memberikan petunjuk, ketika menekankan bahwa ketika hari sudah malam pada pertama minggu itu (bdk. ayat 19), segera setelah bangkit dari antara orang mati, Yesus mulai dengan memberikan Roh untuk pengampunan dosa. Mengalami kasih, kita harus mulai dari sana : membiarkan diri kita diampuni. Membiarkan diri kita diampuni. Saya bertanya pada diri saya sendiri, dan kalian masing-masing : apakah aku membiarkan diriku diampuni? Mengalami kasih tersebut, kita harus mulai dari sana. Apakah aku membiarkan diriku diampuni? "Tetapi, Bapa, pergi mengaku dosa tampaknya sulit ...". Di hadapan Allah kita tergoda untuk melakukan apa yang dilakukan para murid dalam Injil: menghalangi diri kita di balik pintu-pintu yang tertutup. Mereka melakukannya karena takut, tetapi kita juga dapat menjadi takut, malu untuk membuka hati kita dan mengakui dosa-dosa kita. Semoga Tuhan menganugerahi kita rahmat untuk memahami rasa malu, melihatnya bukan sebagai pintu yang tertutup, tetapi sebagai langkah pertama menuju perjumpaan. Ketika kita merasa malu, kita seharusnya bersyukur : ini berarti bahwa kita tidak menerima kejahatan, dan itu bagus. Rasa malu adalah undangan rahasia terhadap jiwa yang membutuhkan Tuhan untuk mengatasi kejahatan. Tragedinya adalah ketika kita tidak lagi malu terhadap apapun. Janganlah kita takut mengalami rasa malu! Biarkanlah kita melintas dari rasa malu menuju pengampunan! Jangan takut malu! Jangan takut.

Tetapi masih ada satu pintu yang tetap tertutup di hadapan pengampunan Tuhan, pintu pasrah pada nasib. Pasrah pada nasib selalu merupakan pintu yang tertutup. Para murid mengalaminya pada Paskah ketika mereka mengenali dengan kekecewaan bagaimana segala sesuatunya tampak kembali seperti sebelumnya. Mereka masih berada di Yerusalem, berkecil hati; "Babak Yesus" dari kehidupan mereka tampak selesai, dan setelah menghabiskan begitu banyak waktu bersama-Nya, tidak ada yang berubah, mereka pasrah pada nasib. Kita juga mungkin berpikir : “Selama ini aku sudah menjadi orang kristiani, tetapi tidak ada yang berubah dalam diriku; aku terus berbuat dosa yang sama”. Kemudian, dalam keputusasaan, kita menyerah pada belas kasihan. Tetapi Tuhan menantang kita : “Tidakkah kamu percaya bahwa kerahiman-Ku lebih besar dari penderitaanmu? Apakah kamu seorang pembelot? Maka jadilah seorang pembelot dengan memohon kerahiman, dan kita akan melihat siapa yang muncul ke permukaan”. Dalam peristiwa apapun, - dan siapapun yang akrab dengan Sakramen Tobat mengetahui hal ini - tidaklah benar bahwa segala sesuatunya tetap seperti itu. Setiap kali kita diampuni, kita diyakinkan kembali dan didorong, karena setiap kali kita semakin mengalami kasih, dan semakin dipeluk oleh Bapa. Dan ketika kita jatuh lagi, justru karena kita dikasihi, kita bahkan semakin mengalami dukacita - dukacita yang bermanfaat yang perlahan-lahan melepaskan kita dari dosa. Kemudian kita menemukan bahwa kekuatan kehidupan adalah menerima pengampunan Allah dan berjalan maju dari pengampunan menuju pengampunan. Beginilah kehidupan berjalan : dari rasa malu menuju rasa malu, dari pengampunan menuju pengampunan. Inilah kehidupan kristiani.

Setelah malu dan pasrah pada nasib, ada pintu lainnya yang tertutup. Kadang-kadang bahkan lebih kuat : dosa kita, dosa yang sama. Ketika aku berbuat dosa besar, jika aku, dengan segala kejujuran, tidak mau mengampuni diriku sendiri, mengapa Allah seharusnya mengampuni aku? Pintu ini, bagaimanapun, hanya tertutup di satu sisi, di sisi kita; tetapi bagi Allah, tidak ada pintu yang benar-benar tertutup. Sebagaimana dikatakan Injil kepada kita, Ia justru suka masuk, seperti yang kita dengar, "melalui pintu yang tertutup", ketika setiap pintu yang tampaknya dilarang masuk. Di sana Allah melakukan keajaiban-keajaiban-Nya. Ia tidak pernah memilih untuk meninggalkan kita; kita adalah orang-orang yang menjadikan-Nya tinggal di luar. Tetapi ketika kita mengaku dosa, sesuatu yang tak pernah terdengar terjadi : kita menemukan bahwa dosa yang membuat kita terpisah dari Tuhan menjadi tempat di mana kita berjumpa dengan-Nya. Di sanalah Allah yang terluka oleh kasih datang untuk menemui luka-luka kita. Ia menjadikan luka-luka kita yang malang seperti luka-luka-Nya yang mulia. Ada sebuah perubahan rupa : luka-lukaku yang malang menyerupai luka-luka-Nya yang mulia. Karena Ia adalah kerahiman dan mengerjakan keajaiban-keajaiban dalam kemalangan kita. Marilah kita hari ini, seperti Tomas, memohon rahmat untuk mengenali Allah kita : menemukan dalam pengampunan-Nya sukacita kita, dan menemukan dalam kerahiman-Nya harapan kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.