Bacaan
Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat.
16:13-19.
Bacaan-bacaan
yang baru saja kita dengar mengaitkan kita dengan Tradisi kerasulan. Tradisi
tersebut “bukanlah penerusan benda atau perkataan, bermacam-macam benda yang
tak bernyawa; Tradisi tersebut adalah aliran hidup yang mengaitkan kita dengan
asal mula, aliran hidup yang di dalamnya asal mula itu pernah hadir”
(Benediktus XVI, Katekese, 26 April 2006) dan menawarkan kita kunci menuju
Kerajaan Surga (bdk. Mat 16:19). Sebuah Tradisi kuno namun selalu baru, yang
memberi kita kehidupan dan memperbarui sukacita Injil. Tradisi tersebut
memampukan kita untuk mengakui dengan bibir kita dan hati kita : “'Yesus
Kristus adalah Tuhan', bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:11).
Seluruh
Injil adalah jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam hati umat Israel dan
hari ini juga tinggal di dalam hati semua orang yang haus akan kehidupan :
"Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang
lain?" (Mat 11:3). Yesus mengajukan pertanyaan itu dan menanyakannya
kepada murid-murid-Nya: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" (Mat
16:15).
Petrus berbicara dan memanggil Yesus dengan gelar teragung yang mungkin ia berikan : “Engkau adalah Kristus” (bdk. Mat 16:16), Yang Terurapi, Yang Kudus dari Allah. Ada baiknya berpikir bahwa Bapa mengilhami jawaban ini karena Petrus telah melihat bagaimana Yesus “mengurapi” umat-Nya. Yesus, Yang Terurapi, berjalan dari desa ke desa dengan satu-satunya tujuan menyelamatkan dan menolong orang-orang yang dianggap hilang. Ia “mengurapi” orang mati (bdk. Mrk 5:41-42; Luk 7:14-15), orang sakit (bdk. Mrk 6:13; Yak 5:14), orang yang terluka (bdk. Luk 10:34) dan orang yang bertobat (bdk. Mat 6:17). Ia mengurapi dengan harapan (bdk. Luk 7:38.46;10:34; Yoh 11:2;12:3). Dengan pengurapan itu, setiap orang berdosa - orang yang tertindas, orang yang lemah, orang kafir, di mana pun mereka mendapati diri mereka - dapat merasakan menjadi bagian terkasih dari keluarga Allah. Dengan tindakan-tindakan-Nya, Yesus mengatakan dengan cara yang sangat pribadi : "Kamu milik-Ku". Seperti Petrus, kita juga dapat mengakui dengan bibir kita dan hati kita bukan hanya apa yang telah kita dengar, tetapi juga secara nyata yang kita alami dalam kehidupan kita. Kita juga telah dibawa kembali kepada kehidupan, disembuhkan, diperbarui dan dipenuhi dengan harapan oleh pengurapan dari Yang Kudus. Berkat pengurapan itu, setiap kuk perbudakan sungguh dihancurkan (bdk. Yes 10:27). Bagaimana kita bisa sungguh kehilangan kenangan penuh sukacita bahwa kita ditebus dan dituntun untuk menyatakan : “Engkau adalah Kristus, Putra Allah yang hidup!" (bdk. Mat 16:16).
Sangatlah menarik melihat apa yang mengikuti perikop Injil ini di mana Petrus mengakui imannya : “Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Mat 16:21). Dia yang diurapi oleh Allah terus membawa kasih dan kerahiman Bapa sampai kesudahan. Kasih yang penuh kerahiman ini menuntut agar kita juga pergi ke luar ke setiap sudut kehidupan, untuk menjangkau semua orang, meskipun hal ini mungkin merugikan kita, "nama baik" kita, kenyamanan kita, status kita ... bahkan kemartiran.
Petrus bereaksi terhadap pemberitahuan yang sama sekali tak terduga ini dengan mengatakan : “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau" (Mat 16:22). Dengan cara ini, ia segera menjadi batu sandungan di jalan Mesias. Berpikir bahwa ia sedang membela hak-hak Allah, Petrus, tanpa menyadarinya, menjadi seteru Tuhan; Yesus memanggilnya "Iblis". Merenungkan kehidupan Petrus dan pengakuan imannya juga berarti belajar mengenali berbagai godaan yang akan menyertai kehidupan setiap murid. Seperti Petrus, kita sebagai Gereja akan selalu tergoda untuk mendengarkan "bisikan" dari si jahat, yang akan menjadi batu sandungan bagi perutusan. Saya berbicara tentang “bisikan” karena iblis menggoda dari persembunyian, agar niatnya diakui. “Ia berperilaku seperti seorang munafik, ingin tetap tersembunyi dan tidak diketemukan” (Santo Ignatius dari Loyola, Latihan Rohani, no. 326).
Ambil bagian dalam pengurapan Kristus, di sisi lain, berarti ambil bagian dalam kemuliaan-Nya, yang adalah salib-Nya : Bapa, muliakanlah Putra-Mu ... "Bapa, muliakanlah nama-Mu!" (Yoh 12:28). Di dalam Yesus, kemuliaan dan salib berjalan bersama-sama; keduanya tidak dapat dipisahkan. Begitu kita membelakangi salib, meskipun kita dapat mencapai tingginya kemuliaan, kita akan membodohi diri kita, karena itu bukanlah kemuliaan Allah, tetapi jerat sang seteru.
Seringkali
kita merasakan godaan untuk menjadi orang Kristiani yang secara diam-diam
menjauhi luka-luka Tuhan. Yesus menyentuh kesengsaraan manusia dan Ia meminta
kita untuk bergabung dengan-Nya dalam menyentuh daging sesama yang sedang
menderita. Memberitakan iman kita dengan bibir kita dan hati kita menuntut agar
kita - seperti Petrus - belajar mengenali "bisikan" si jahat. Hal ini
menuntut pembelajaran untuk membedakan dan mengenali "dalih" yang bersifat
pribadi dan komunitas yang menjauhkan kita dari drama manusia yang
sesungguhnya, yang menjauhkan kita dari hubungan dengan keberadaan nyata sesama
dan, pada akhirnya, dari pengenalan akan kekuatan revolusioner dari kasih Allah
yang lemah lembut (bdk. Evangelii Gaudium,
270).
Dengan tidak memisahkan kemuliaan-Nya dari salib, Yesus ingin membebaskan murid-murid-Nya, Gereja-Nya, dari kehampaan berbagai bentuk triumfalisme : berbagai bentuk kehampaan cinta, pelayanan, belas kasihan, kehampaan orang-orang. Ia ingin agar Gereja-Nya terbebas dari berbagai khayalan besar yang gagal menancapkan akarnya dalam kehidupan umat beriman Allah atau, lebih buruk lagi, mempercayai bahwa pelayanan kepada Tuhan berarti menyimpang dari jalan-jalan sejarah yang berdebu. Merenungkan dan mengikuti Kristus menuntut agar kita membuka hati kita kepada Bapa dan kepada semua orang yang dengannya Ia ingin dikenali (bdk. Santo Yohanes Paulus II, Novo Millennio Ineunte, 49), dalam pengetahuan yang pasti bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkannya umat-Nya.
Saudara-saudari
terkasih, jutaan orang terus mengajukan pertanyaan : “Engkaukah yang akan
datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat 11:3). Marilah kita
mengakui dengan bibir dan hati kita bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan (bdk. Flp
2:11). Inilah cantus firmus yang harus kita kumandangkan setiap hari. Dengan
kesederhanaan, kepastian dan sukacita mengetahui bahwa “Gereja bersinar bukan
dengan terangnya sendiri, tetapi dengan terang Kristus. Terang Gereja berasal
dari Sang Matahari Keadilan, sehingga Gereja dapat berseru : 'Namun aku hidup,
tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
aku' (Gal 2:20)” (Santo Ambrosius, Hexaemeron,
IV, 8, 32).
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.