Bacaan Ekaristi : 1Kor. 12:12-14,27-31a; Mzm. 100:2,3,4,5; Luk. 7:11-17.
Dalam homilinya pada Misa harian Selasa pagi 18 September 2018 di Casa
Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus merenungkan Bacaan Injil hari itu (Luk
7:11-17) yang mengisahkan pembangkitan anak laki-laki seorang janda dari Nain.
Beliau memaparkan Yesus, sosok gembala, yang kewibawaan-Nya berasal dari belas
kasihan-Nya yang terungkap dalam kelemahlembutan dan kedekatan dengan
orang-orang. Paus Fransiskus mendorong para imam untuk meneladan Yesus karena
dekat dengan orang-orang, tidak dekat dengan kaum penguasa atau kaum ideolog
yang, beliau katakan, "meracuni jiwa-jiwa".
Apa yang memberikan Yesus kewenangan, Paus Fransiskus menjelaskan,
adalah karena "Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan",
mendekati, merangkul, mendengarkan dan melihat secara langsung orang-orang.
"Ia ada di dekat mereka", kata Paus Fransiskus. "Inilah yang
memberi-Nya kewibawaan".
Yesus mengajarkan hal yang sama dengan yang diajarkan banyak orang lain,
Paus Fransiskus melanjutkan. Bedanya bagaimana cara Ia mengajar. Yesus “lemah lembut,
dan tidak berteriak-teriak. Ia tidak menghukum orang-orang”. Ia tidak pernah
menyiarkan kenyataan bahwa Ia adalah Mesias atau seorang nabi. “Dalam Injil,
ketika Yesus tidak bersama orang-orang, Ia sedang berdoa bersama Bapa”, kata
Paus Fransiskus. Kelemahlembutan-Nya terhadap Bapa terungkap ketika Ia
"mengunjungi rumah Bapa-Nya yang telah menjadi tempat berdagang ...".
Ia marah dan mengusir semua orang, kata Paus Fransiskus. “Ia melakukan hal ini
karena Ia mengasihi Bapa, karena Ia rendah hati di hadapan Bapa”.
Yesus dikuasai oleh belas kasihan terhadap sang janda. Yesus
"berpikir dengan hati-Nya", yang tidak terpisah dari benak-Nya, kata
Paus Fransiskus. Kemudian Yesus dengan lembut mendekati janda itu dan berbicara
kepadanya, “Jangan menangis”. “Inilah sosok gembala”. Gembala “perlu memiliki
kuasa dan kewibawaan yang dimiliki Yesus, kerendahan hati tersebut,
kelemahlembutan tersebut, kedekatan tersebut, kemampuan untuk berbelas kasih
dan lembut hati”, kata Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus mengemukakan bahwa ada orang-orang yang berteriak
“salibkan Dia” . Yesus kemudian dengan penuh belas kasih tetap diam karena
“orang-orang itu terperdaya oleh orang-orang yang berkuasa”, Paus Fransiskus
menjelaskan. Jawaban-Nya adalah keheningan dan doa. Di sini Sang Gembala
memilih hening ketika "Sang Penuduh Besar" menuduh-Nya "melalui
begitu banyak orang". Yesus “menderita, mempersembahkan nyawa-Nya, dan
berdoa”, kata Paus Fransiskus.
Doa itu bahkan membawa-Nya menuju Salib, dengan kekuatan; bahkan di sana
Ia memiliki kemampuan untuk mendekat dan menyembuhkan jiwa penjahat yang
bertobat.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.