Bacaan
Ekaristi : 1Kor. 2:1-5; Mzm. 19:97,98,99,100, 101,102; Luk. 4:16-30.
Dalam
Misa harian Senin pagi 3 September 2018 di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus
Fransiskus memusatkan homilinya pada Bacaan Injil hari itu (Luk 4:16-30) yang
menceritakan kembalinya Yesus ke Nazaret dan mengalami penolakan di rumah
ibadat setelah mengulas sebuah nas dari kitab Nabi Yesaya. Paus Fransiskus
menyoroti ketenangan Yesus dalam menguasai diri tidak hanya dalam adegan ini
tetapi juga selama sengsara-Nya.
Paus
Fransiskus mengatakan bahwa ketika Yesus tiba di rumah ibadat, Ia membangkitkan
keingintahuan. Semua orang ingin melihat orang yang telah mereka dengar
melakukan berbagai mukjizat di tempat lain. Alih-alih memuaskan keingintahuan
mereka, kata Paus Fransiskus, Sang Putra Bapa surgawi hanya menggunakan
"Sabda Allah". Inilah sikap yang diambil Yesus ketika menghadapi
Iblis. Paus Fransiskus kemudian mengatakan bahwa kerendahan hati Yesus membuka
pintu bagi perkataan-Nya yang pertama yang dimaksudkan untuk membangun sebuah
jembatan tetapi malah menabur keraguan segera mengubah suasana "dari damai
menjadi peperangan", dari "ketakjuban menjadi kemarahan".
Yesus tidak bergeming menghadapi orang-orang "yang ingin mengusir-Nya dari kota", kata Paus Fransiskus. Mereka tidak sedang berpikir, mereka sedang berteriak. Yesus tetap tidak bergeming ... Perikop Injil berakhir dengan : 'Tetapi Ia berjalan lewat tengah-tengah mereka dan pergi'.
Paus Fransiskus mengatakan bahwa martabat Yesus bersinar melalui "keheningan yang mengalahkan" para penyerang-Nya. Hal yang sama akan terjadi lagi pada Jumat Agung, kata Paus Fransiskus. Orang-orang yang sedang mengatakan 'salibkan Dia' telah mengelu-elukan Yesus pada Hari Minggu Palma dengan mengatakan, 'Diberkatilah Engkau, Putra Daud'. Mereka telah berubah.
Paus Fransiskus terus mengatakan kebenaran itu bersifat rendah hati dan diam serta tidak berisik, mengakui bahwa apa yang dilakukan Yesus tidaklah mudah. Namun, "martabat orang kristiani berlabuh di dalam kuasa Allah". Bahkan dalam sebuah keluarga, beliau mengatakan, ada kalanya ketika perbedaan pendapat terjadi karena “diskusi tentang politik, olahraga, uang”. Paus Francis menganjurkan keheningan dan doa dalam kasus-kasus ini : Dengan orang-orang yang tidak memiliki niat baik, dengan orang-orang yang hanya mencari skandal, yang hanya mencari perpecahan, yang hanya mencari kehancuran, bahkan di dalam keluarga : keheningan, doa.
Paus
Fransiskus mengakhiri homilinya dengan berdoa : Semoga Tuhan memberi kita
rahmat untuk membedakan kapan kita harus berbicara dan kapan kita harus tetap
diam. Hal ini berlaku untuk setiap bagian kehidupan : bekerja, di rumah, dalam
masyarakat .... Dengan demikian kita akan semakin dekat meneladan Yesus.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.