Bacaan
Ekaristi : Ef. 2:12-22; Mzm. 85:9ab-10,11-12,13-14; Luk. 12:35-38.
Dalam
homilinya pada Misa harian Selasa pagi 23 Oktober 2018 di Casa Santa Marta,
Vatikan, Paus Fransiskus menjelaskan "harapan" dengan gambaran
seorang perempuan hamil yang sedang menantikan kelahiran anaknya. Harapan,
beliau mengatakan, bukanlah sesuatu yang tidak nyata. Sebaliknya, harapan
berarti hidup dalam pengharapan akan perjumpaan nyata dengan Yesus. Dan
kebijaksanaan mencakup kemampuan untuk bersukacita dalam
"perjumpaan-perjumpaan kecil kehidupan bersama Yesus".
Paus Fransiskus mengawali homilinya dengan merenungkan dua kata dari Bacaan-bacaan liturgi hari itu : kewargaan dan warisan. Bacaan Pertama (Ef 2:12-22) berbicara tentang kewargaan : “Kewargaan adalah karunia yang telah diberikan Allah kepada kita, menjadikan kita warga”. Kewargaan mencakup pemberian jatidiri bagi kita, “surat jatidiri” kita, boleh dikatakan. Allah, di dalam Yesus, "telah membatalkan hukum Taurat" (bdk. 2:15) untuk mendamaikan kita, "melenyapkan perseteruan olehnya", sehingga "melalui Dia" baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi dapat "dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa”- dan oleh karena itu “kamu adalah kawan sewarga bersama para kudus", dalam Yesus.
“Jatidiri kita terletak tepatnya dalam hal ini”, kata Paus Fransiskus, “disembuhkan oleh Tuhan, dibangun di dalam jemaat dan memiliki Roh Kudus di dalamnya”.
Allah sedang menuntun kita dalam perjalanan menuju warisan, memperoleh pengetahuan bahwa kita kawan sewarga, dan bahwa Allah beserta kita. Warisan, Paus Fransiskus menjelaskan, “adalah apa yang kita cari dalam perjalanan kita, yang akan kita terima pada akhirnya”. Tetapi kita perlu mencarinya setiap hari; dan justru harapanlah yang membawa kita maju dalam perjalanan menuju warisan itu. Harapan, beliau mengatakan, "mungkin keutamaan yang paling kecil, mungkin yang paling sulit dimengerti".
Iman,
harapan, dan kasih adalah satu karunia. Iman dan kasih mudah dimengerti.
"Tetapi apakah harapan?", tanya Paus Fransiskus. Harapan adalah
berharap surga, berharap berjumpa para kudus, kebahagiaan kekal. "Tetapi apakah",
beliau bertanya, "surga bagimu?".
Hidup dalam harapan adalah perjalanan menuju suatu ganjaran, ya, menuju kebahagiaan yang tidak kita miliki tetapi kita akan miliki di sana. Hidup dalam harapan adalah keutamaan yang sulit untuk dipahami. Hidup dalan harapan adalah keutamaan yang rendah hati, sangat rendah hati. Hidup dalam pengharapan adalah keutamaan yang tidak pernah mengecewakan: jika kamu berharap, kamu tidak akan pernah dikecewakan. Tidak pernah, tidak pernah. Hidup dalam harapan juga merupakan keutamaan yang nyata. "Tetapi bagaimana keutamaan tersebut bisa terwujud", [kamu bertanya], "jika aku tidak tahu surga, atau apa yang menantiku di sana?" Harapan, warisan kita yaitu harapan yang terarah pada sesuatu, bukanlah sebuah gagasan, harapan bukan sedang berada di tempat yang baik ... tidak. Harapan adalah sebuah perjumpaan. Yesus selalu menekankan bagian harapan ini, hidup dalam harapan, perjumpaan ini".
Dalam Bacaan Injil hari itu (Luk 12:35-38), kita mendengar tentang perjumpaan sang tuan ketika ia pulang dari sebuah perkawinan. Sebuah perjumpaan selalu merupakan sesuatu yang nyata. Guna membantu kita memahami, Paus Fransiskus memberikan sebuah contoh nyata :
Sesuatu terlintas dalam pikiran, ketika saya memikirkan harapan, sebuah gambaran : seorang perempuan hamil, seorang perempuan yang sedang mengharapkan seorang anak. Ia pergi ke dokter, ia melihat ultrasonik. [Apakah ia acuh tak acuh? Apakah ia berkata, "Oh, lihat, seorang bayi. Ya". Tidak! Ia bersukacita! Dan setiap hari ia menyentuh perutnya untuk membelai anak itu, untuk mengantisipasi anak itu, hidup dalam antisipasi anak itu. Gambaran ini dapat membantu kita memahami apa itu harapan : hidup demi perjumpaan itu. Perempuan itu membayangkan akan seperti apa mata anaknya, akan seperti apa senyumannya, apakah ia akan berambut pirang atau berambut gelap ... tetapi ia membayangkan bertemu anaknya. Ia membayangkan bertemu anaknya.
Setelah menjelaskan gambaran perempuan hamil, dan bagaimana hal itu dapat membantu kita memahami apa itu harapan, Paus Fransiskus mengajukan pertanyaan lainnya :
“Apakah
aku berharap seperti ini, secara nyata, atau harapanku sedikit
terpencar-pencar, sedikit gnostik?” Harapan itu nyata, harapan itu adalah hal
sehari-hari, karena harapan adalah sebuah perjumpaan. Dan setiap kali kita
berjumpa Yesus dalam Ekaristi, dalam doa, dalam Injil, dalam orang-orang
miskin, dalam kehidupan jemaat, setiap kali kita mengambil langkah lain menuju
perjumpaan yang pasti ini. [Inilah] kebijaksanaan mengetahui bagaimana
bersukacita dalam perjumpaan-perjumpaan kecil kehidupan sehari-hari dengan
Yesus, mempersiapkan diri demi perjumpaan yang pasti itu.
Sebagai penutup, Paus Fransiskus sekali lagi menekankan bahwa kata "jatidiri" merujuk pada kita yang telah dijadikan satu jemaat; dan warisan adalah kekuatan Roh Kudus yang “membawa kita maju dengan harapan”. Beliau meminta umat yang hadir untuk bertanya pada diri mereka sendiri bagaimana mereka menghayati jatidiri mereka sebagai umat Kristiani, apakah mereka sedang mengharapkan warisan di surga yang agak tidak nyata - atau apakah mereka benar-benar berharap untuk berjumpa dengan Tuhan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.