Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KANONISASI 14 Oktober 2018 : DALAM KONTEKS YANG BERBEDA PARA KUDUS MENGAMALKAN SABDA TUHAN DALAM KEHIDUPAN MEREKA

Bacaan Ekaristi : Keb. 7:7-11; Mzm. 90:12-13,14-15, 16-17; Ibr. 4:12-13; Mrk. 10:17-30.

Bacaan Kedua (Ibr 4:12-13) mengatakan kepada kita bahwa “Sabda Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun" (ayat 12). Sesungguhnya : Sabda Allah bukan hanya seperangkat kebenaran atau kisah rohani yang membesarkan hati; bukan - sabda Allah adalah sabda yang hidup yang menyentuh kehidupan kita, yang mengubah kehidupan kita. Di sanalah, Yesus secara pribadi, Sabda Allah yang hidup, berbicara kepada hati kita.


Injil, secara khusus, mengundang kita untuk berjumpa dengan Tuhan, setelah teladan "seorang" yang "berlari-lari ke arah-Nya" (bdk. Mrk 10:17). Kita dapat mengenali diri kita dalam diri orang itu, yang tidak diberi nama oleh teks, seolah-olah menganjurkan bahwa orang itu dapat mewakili diri kita masing-masing. Ia bertanya kepada Yesus bagaimana "mewarisi hidup yang kekal" (ayat 17). Ia sedang mencari kehidupan tanpa akhir, kehidupan dalam kepenuhannya : siapakah dari kita yang tidak menginginkan hal ini?

Namun kita perhatikan bahwa ia memintanya sebagai warisan, sebagai hal baik yang harus diperoleh, harus dimenangkan oleh usahanya sendiri. Kenyataannya, untuk memiliki hal baik ini, ia telah menuruti perintah-perintah tersebut sejak masa mudanya dan untuk mencapai hal ini ia siap untuk mengikuti perintah-perintah lainnya; dan ia bertanya : "Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?".

Jawaban Yesus menangkap kelengahannya. Tuhan memandangnya dan menaruh kasih kepadanya (bdk. ayat 21). Yesus mengubah sudut pandang : dari perintah yang harus ditaati menjadi untuk mendapatkan ganjaran, menjadi mengasihi tanpa pamrih dan sepenuhnya. Orang itu sedang membicarakan perihal penawaran dan permintaan, Yesus menyampaikan kepadanya kisah kasih. Ia memintanya untuk berlalu dari ketaatan hukum menjadi karunia diri, dari melakukan untuk diri sendiri menjadi berada bersama Allah. Dan kepada orang itu Tuhan menyarankan sebuah kehidupan yang menyulitkan : "Juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin ... kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku" (ayat 21). Kepada kamu juga, Yesus berkata: “Datanglah ke mari dan ikutlah Aku!”. Datanglah ke mari : jangan tinggal diam, karena tidak melakukan kejahatan agar berada bersama Yesus tidaklah memadai. Ikutlah Aku : jangan berjalan di belakang Yesus hanya ketika kamu berkeinginan, tetapi carilah Dia setiap hari; janganlah puas mematuhi perintah-perintah, memberi sedikit sedekah dan mengucapkan beberapa doa : temukanlah di dalam Dia Allah yang selalu mengasihimu; carilah di dalam diri Yesus Allah yang adalah makna kehidupanmu, Allah yang memberimu kekuatan untuk memberikan dirimu sendiri.

Sekali lagi Yesus berkata : "Juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin". Tuhan tidak membahas teori kemiskinan dan kekayaan, tetapi langsung berjalan menuju kehidupan. Ia meminta kamu untuk meninggalkan apa yang membebani hatimu, untuk mengosongkan dirimu dari benda-benda agar memberi ruang bagi-Nya, satu-satunya kebaikan. Kita tidak dapat benar-benar mengikuti Yesus ketika kita terbebani dengan berbagai hal. Karena jika hati kita penuh dengan benda-benda, tidak akan ada ruang untuk Tuhan, yang akan menjadi hanya satu benda di antara yang benda-benda lainnya.

Karena alasan ini, kekayaan itu berbahaya dan - kata Yesus - bahkan menyulitkan kita selamat. Bukan karena Allah keras, tidak! Masalahnya ada di pihak kita : yang kita miliki terlampau banyak, keinginan kita terlampau banyak mencekik hati kita dan membuat kita tidak mampu mengasihi. Oleh karena itu, Santo Paulus menulis bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Tim 6:10). Kita melihat hal ini di mana uang berada di pusat, tidak ada ruang untuk Allah maupun untuk manusia.

Yesus radikal. Ia memberi seluruhnya dan Ia meminta seluruhnya : Ia memberikan kasih sepenuhnya dan meminta hati yang tak terbagi-bagi. Bahkan hari ini Ia memberikan diri-Nya kepada kita sebagai roti hidup; bisakah kita memberi-Nya remah-remah roti sebagai gantinya? Kita tidak bisa menanggapi-Nya, yang menjadikan diri-Nya hamba kita bahkan berjalan menuju salib demi kita, hanya dengan mematuhi beberapa perintah saja. Kita tidak bisa memberi Dia, yang menawarkan kita hidup yang kekal, beberapa saat luang. Yesus tidak puas dengan "persentase kasih" : kita tidak dapat mengasihi-Nya dua puluh atau lima puluh atau enam puluh persen. Seluruhnya atau tidak sama sekali.

Saudara dan saudari terkasih, hati kita bagaikan sebuah magnet : ia membiarkan dirinya tertarik oleh kasih, tetapi ia dapat melekat pada satu tuan saja dan ia harus memilih : entah ia akan mengasihi Allah atau ia akan mengasihi harta duniawi (bdk. Mat 6:24); entah ia akan hidup demi kasih atau ia akan hidup demi dirinya sendiri (bdk. Mrk 8:35). Marilah kita bertanya pada diri kita di mana kita berada dalam kisah kasih kita bersama Allah. Apakah kita berpuas diri dengan beberapa perintah atau apakah kita mengikuti Yesus sebagai para kekasih, benar-benar siap untuk meninggalkan sesuatu demi Dia?

Yesus bertanya kepada kita masing-masing dan kita semua sebagai Gereja yang sedang melakukan perjalanan ke depan : apakah kita adalah Gereja yang hanya memberitakan perintah-perintah yang baik atau Gereja yang merupakan mempelai perempuan, yang siap meluncurkan dirinya dalam mengasihi Tuhannya? Apakah kita benar-benar mengikuti-Nya atau apakah kita kembali ke jalan-jalan dunia, seperti orang dalam Injil itu? Singkatnya, apakah Yesus memadai bagi kita atau apakah kita mencari banyak keamanan duniawi? Marilah kita memohon rahmat untuk selalu meninggalkan berbagai hal demi mengasihi Tuhan : meninggalkan kekayaan, mendambakan kedudukan dan kekuasaan, tatanan-tatanan yang tidak lagi memadai untuk memberitakan Injil, berbagai beban yang mengendurkan perutusan kita ini, tali yang mengikat kita pada dunia. Tanpa lompatan ke depan dalam mengasihi, kehidupan kita dan Gereja kita menjadi sakit karena “kenikmatan rasa puas diri” (Evangelii Gaudium, 95) : kita menemukan sukacita dalam beberapa kesenangan sekejap, kita menutup diri kita dalam pergunjingan yang tidak berguna, kita menetap di dalam kebosanan kehidupan Kristiani tanpa momentum, di mana sedikit narsis menutupi kesedihan tersisa yang belum terpenuhi.

Inilah bagaimana itu terjadi pada orang itu, yang - dikatakan Injil kepada kita - “pergi dengan sedih” (ayat 22). Ia terikat pada peraturan-peraturan hukum dan banyak harta miliknya; ia tidak menyerahkan hatinya. Meskipun ia telah berjumpa Yesus dan menerima tatapan-Nya yang penuh kasih, orang itu pergi dengan sedih. Kesedihan adalah bukti kasih yang tak terpenuhi, tanda hati yang suam-suam kuku. Di sisi lain, hati yang tidak terbebani oleh harta milik, yang dengan bebas mengasihi Tuhan, selalu menyebarkan sukacita, sukacita yang sangat dibutuhkan saat ini tersebut. Paus Santo Paulus VI menulis : "Bahwasanya sesama kita perlu mengenal sukacita, mendengarkan nyanyiannya di tengah-tengah kesulitan mereka" (Gaudete in Domino, I). Hari ini Yesus mengundang kita untuk kembali ke sumber sukacita, yang merupakan perjumpaan dengan-Nya, pilihan yang berani untuk mempertaruhkan segalanya demi mengikuti Dia, kepuasan meninggalkan sesuatu untuk merangkul jalan-Nya. Para kudus telah menempuh jalan ini.

Paulus VI juga melakukannya, seturut teladan Rasul yang beliau gunakan namanya. Seperti dia, Paulus VI menghabiskan hidupnya demi Injil Kristus, melintasi batas-batas baru dan memberikan kesaksian Injil tersebut dengan pemberitaan dan dialog, seorang nabi dari Gereja berubah ke arah luar, mencari mereka yang jauh dan merawat orang-orang miskin. Bahkan di tengah-tengah keletihan dan kesalahpahaman, secara bergairah Paulus VI memberikan kesaksian akan keindahan dan sukacita mengikuti Kristus secara penuh. Hari ini beliau masih mendesak kita, bersama-sama dengan Konsili yang dinakhodainya dengan bijaksana, untuk menjalani panggilan kita bersama : panggilan semesta menuju kekudusan. Bukan menuju tindakan yang tanggung-tanggung, tetapi menuju kekudusan. Bersama dengan beliau dan orang-orang kudus lainnya hari ini sungguh luar biasa, ada Uskup Agung Romero, yang meninggalkan keamanan dunia, bahkan keselamatannya sendiri, untuk memberikan hidupnya sesuai dengan Injil, dekat dengan orang-orang miskin dan umatnya, dengan hati yang tertarik pada Yesus serta saudara dan saudari-Nya. Kita dapat mengatakan hal yang sama tentang Francesco Spinelli, Vincenzo Romano, Maria Caterina Kasper, Nazaria Ignazia dari Santa Teresa dari Yesus, dan Nunzio Sulprizio. Seluruh orang kudus ini, dalam konteks yang berbeda, mengamalkan sabda hari ini dalam kehidupan mereka, tanpa suam-suam kuku, tanpa perhitungan, dengan semangat untuk mempertaruhkan segalanya dan meninggalkan segalanya. Semoga Tuhan membantu kita meneladan mereka.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.