Bacaan
Ekaristi : Keb. 7:7-11; Mzm. 90:12-13,14-15, 16-17; Ibr. 4:12-13; Mrk.
10:17-30.
Bacaan
Kedua (Ibr 4:12-13) mengatakan kepada kita bahwa “Sabda Allah hidup dan kuat
dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun" (ayat 12).
Sesungguhnya : Sabda Allah bukan hanya seperangkat kebenaran atau kisah rohani
yang membesarkan hati; bukan - sabda Allah adalah sabda yang hidup yang
menyentuh kehidupan kita, yang mengubah kehidupan kita. Di sanalah, Yesus
secara pribadi, Sabda Allah yang hidup, berbicara kepada hati kita.
Injil,
secara khusus, mengundang kita untuk berjumpa dengan Tuhan, setelah teladan
"seorang" yang "berlari-lari ke arah-Nya" (bdk. Mrk 10:17).
Kita dapat mengenali diri kita dalam diri orang itu, yang tidak diberi nama
oleh teks, seolah-olah menganjurkan bahwa orang itu dapat mewakili diri kita
masing-masing. Ia bertanya kepada Yesus bagaimana "mewarisi hidup yang
kekal" (ayat 17). Ia sedang mencari kehidupan tanpa akhir, kehidupan dalam
kepenuhannya : siapakah dari kita yang tidak menginginkan hal ini?
Namun
kita perhatikan bahwa ia memintanya sebagai warisan, sebagai hal baik yang
harus diperoleh, harus dimenangkan oleh usahanya sendiri. Kenyataannya, untuk
memiliki hal baik ini, ia telah menuruti perintah-perintah tersebut sejak masa
mudanya dan untuk mencapai hal ini ia siap untuk mengikuti perintah-perintah
lainnya; dan ia bertanya : "Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh
hidup yang kekal?".
Jawaban
Yesus menangkap kelengahannya. Tuhan memandangnya dan menaruh kasih kepadanya
(bdk. ayat 21). Yesus mengubah sudut pandang : dari perintah yang harus ditaati
menjadi untuk mendapatkan ganjaran, menjadi mengasihi tanpa pamrih dan
sepenuhnya. Orang itu sedang membicarakan perihal penawaran dan permintaan,
Yesus menyampaikan kepadanya kisah kasih. Ia memintanya untuk berlalu dari
ketaatan hukum menjadi karunia diri, dari melakukan untuk diri sendiri menjadi
berada bersama Allah. Dan kepada orang itu Tuhan menyarankan sebuah kehidupan
yang menyulitkan : "Juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada
orang-orang miskin ... kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku" (ayat
21). Kepada kamu juga, Yesus berkata: “Datanglah ke mari dan ikutlah Aku!”.
Datanglah ke mari : jangan tinggal diam, karena tidak melakukan kejahatan agar
berada bersama Yesus tidaklah memadai. Ikutlah Aku : jangan berjalan di
belakang Yesus hanya ketika kamu berkeinginan, tetapi carilah Dia setiap hari;
janganlah puas mematuhi perintah-perintah, memberi sedikit sedekah dan
mengucapkan beberapa doa : temukanlah di dalam Dia Allah yang selalu
mengasihimu; carilah di dalam diri Yesus Allah yang adalah makna kehidupanmu,
Allah yang memberimu kekuatan untuk memberikan dirimu sendiri.
Sekali
lagi Yesus berkata : "Juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada
orang-orang miskin". Tuhan tidak membahas teori kemiskinan dan kekayaan,
tetapi langsung berjalan menuju kehidupan. Ia meminta kamu untuk meninggalkan
apa yang membebani hatimu, untuk mengosongkan dirimu dari benda-benda agar
memberi ruang bagi-Nya, satu-satunya kebaikan. Kita tidak dapat benar-benar
mengikuti Yesus ketika kita terbebani dengan berbagai hal. Karena jika hati
kita penuh dengan benda-benda, tidak akan ada ruang untuk Tuhan, yang akan
menjadi hanya satu benda di antara yang benda-benda lainnya.
Karena
alasan ini, kekayaan itu berbahaya dan - kata Yesus - bahkan menyulitkan kita
selamat. Bukan karena Allah keras, tidak! Masalahnya ada di pihak kita : yang
kita miliki terlampau banyak, keinginan kita terlampau banyak mencekik hati
kita dan membuat kita tidak mampu mengasihi. Oleh karena itu, Santo Paulus
menulis bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Tim 6:10). Kita
melihat hal ini di mana uang berada di pusat, tidak ada ruang untuk Allah
maupun untuk manusia.
Yesus
radikal. Ia memberi seluruhnya dan Ia meminta seluruhnya : Ia memberikan kasih
sepenuhnya dan meminta hati yang tak terbagi-bagi. Bahkan hari ini Ia
memberikan diri-Nya kepada kita sebagai roti hidup; bisakah kita memberi-Nya
remah-remah roti sebagai gantinya? Kita tidak bisa menanggapi-Nya, yang
menjadikan diri-Nya hamba kita bahkan berjalan menuju salib demi kita, hanya
dengan mematuhi beberapa perintah saja. Kita tidak bisa memberi Dia, yang
menawarkan kita hidup yang kekal, beberapa saat luang. Yesus tidak puas dengan
"persentase kasih" : kita tidak dapat mengasihi-Nya dua puluh atau
lima puluh atau enam puluh persen. Seluruhnya atau tidak sama sekali.
Saudara
dan saudari terkasih, hati kita bagaikan sebuah magnet : ia membiarkan dirinya
tertarik oleh kasih, tetapi ia dapat melekat pada satu tuan saja dan ia harus
memilih : entah ia akan mengasihi Allah atau ia akan mengasihi harta duniawi
(bdk. Mat 6:24); entah ia akan hidup demi kasih atau ia akan hidup demi dirinya
sendiri (bdk. Mrk 8:35). Marilah kita bertanya pada diri kita di mana kita
berada dalam kisah kasih kita bersama Allah. Apakah kita berpuas diri dengan
beberapa perintah atau apakah kita mengikuti Yesus sebagai para kekasih,
benar-benar siap untuk meninggalkan sesuatu demi Dia?
Yesus
bertanya kepada kita masing-masing dan kita semua sebagai Gereja yang sedang
melakukan perjalanan ke depan : apakah kita adalah Gereja yang hanya
memberitakan perintah-perintah yang baik atau Gereja yang merupakan mempelai
perempuan, yang siap meluncurkan dirinya dalam mengasihi Tuhannya? Apakah kita
benar-benar mengikuti-Nya atau apakah kita kembali ke jalan-jalan dunia,
seperti orang dalam Injil itu? Singkatnya, apakah Yesus memadai bagi kita atau
apakah kita mencari banyak keamanan duniawi? Marilah kita memohon rahmat untuk
selalu meninggalkan berbagai hal demi mengasihi Tuhan : meninggalkan kekayaan,
mendambakan kedudukan dan kekuasaan, tatanan-tatanan yang tidak lagi memadai
untuk memberitakan Injil, berbagai beban yang mengendurkan perutusan kita ini,
tali yang mengikat kita pada dunia. Tanpa lompatan ke depan dalam mengasihi,
kehidupan kita dan Gereja kita menjadi sakit karena “kenikmatan rasa puas diri”
(Evangelii Gaudium, 95) : kita menemukan sukacita dalam beberapa kesenangan
sekejap, kita menutup diri kita dalam pergunjingan yang tidak berguna, kita
menetap di dalam kebosanan kehidupan Kristiani tanpa momentum, di mana sedikit
narsis menutupi kesedihan tersisa yang belum terpenuhi.
Inilah
bagaimana itu terjadi pada orang itu, yang - dikatakan Injil kepada kita -
“pergi dengan sedih” (ayat 22). Ia terikat pada peraturan-peraturan hukum dan
banyak harta miliknya; ia tidak menyerahkan hatinya. Meskipun ia telah berjumpa
Yesus dan menerima tatapan-Nya yang penuh kasih, orang itu pergi dengan sedih.
Kesedihan adalah bukti kasih yang tak terpenuhi, tanda hati yang suam-suam
kuku. Di sisi lain, hati yang tidak terbebani oleh harta milik, yang dengan
bebas mengasihi Tuhan, selalu menyebarkan sukacita, sukacita yang sangat
dibutuhkan saat ini tersebut. Paus Santo Paulus VI menulis : "Bahwasanya
sesama kita perlu mengenal sukacita, mendengarkan nyanyiannya di tengah-tengah
kesulitan mereka" (Gaudete in Domino, I). Hari ini Yesus mengundang kita
untuk kembali ke sumber sukacita, yang merupakan perjumpaan dengan-Nya, pilihan
yang berani untuk mempertaruhkan segalanya demi mengikuti Dia, kepuasan meninggalkan
sesuatu untuk merangkul jalan-Nya. Para kudus telah menempuh jalan ini.
Paulus
VI juga melakukannya, seturut teladan Rasul yang beliau gunakan namanya.
Seperti dia, Paulus VI menghabiskan hidupnya demi Injil Kristus, melintasi
batas-batas baru dan memberikan kesaksian Injil tersebut dengan pemberitaan dan
dialog, seorang nabi dari Gereja berubah ke arah luar, mencari mereka yang jauh
dan merawat orang-orang miskin. Bahkan di tengah-tengah keletihan dan
kesalahpahaman, secara bergairah Paulus VI memberikan kesaksian akan keindahan
dan sukacita mengikuti Kristus secara penuh. Hari ini beliau masih mendesak
kita, bersama-sama dengan Konsili yang dinakhodainya dengan bijaksana, untuk
menjalani panggilan kita bersama : panggilan semesta menuju kekudusan. Bukan menuju
tindakan yang tanggung-tanggung, tetapi menuju kekudusan. Bersama dengan beliau
dan orang-orang kudus lainnya hari ini sungguh luar biasa, ada Uskup Agung
Romero, yang meninggalkan keamanan dunia, bahkan keselamatannya sendiri, untuk
memberikan hidupnya sesuai dengan Injil, dekat dengan orang-orang miskin dan
umatnya, dengan hati yang tertarik pada Yesus serta saudara dan saudari-Nya.
Kita dapat mengatakan hal yang sama tentang Francesco Spinelli, Vincenzo
Romano, Maria Caterina Kasper, Nazaria Ignazia dari Santa Teresa dari Yesus,
dan Nunzio Sulprizio. Seluruh orang kudus ini, dalam konteks yang berbeda, mengamalkan
sabda hari ini dalam kehidupan mereka, tanpa suam-suam kuku, tanpa perhitungan,
dengan semangat untuk mempertaruhkan segalanya dan meninggalkan segalanya.
Semoga Tuhan membantu kita meneladan mereka.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.