Bacaan
Ekaristi : Tit. 1:1-9; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; Luk. 17:1-6.
Seorang
hamba yang rendah hati dan lemah lembut, bukan seorang penguasa. Inilah
seharusnya seorang uskup. Paus Fransiskus menyampaikan hal tersebut tersebut
dalam homilinya pada Misa harian Senin pagi 12 November 2018 di Casa Santa
Marta, Vatikan. Dengan mengacu pada Bacaan Pertama liturgi hari itu (Tit
1:1-9), Paus Fransiskus menguraikan secara terperinci sosok seorang uskup,
untuk menertibkan dalam Gereja.
Paus
Fransiskus menunjukkan bahwa Gereja dilahirkan di tengah-tengah kegairahan dan
ketidakteraturan tetapi juga "hal-hal yang mengagumkan" telah
tercapai. Beliau mencatat bahwa selalu ada kebingungan dan ketidakteraturan
dengan kuasa Roh Kudus tetapi kita tidak boleh takut karena itu adalah tanda
yang indah.
Paus
Fransiskus menjelaskan bahwa Gereja tidak pernah dilahirkan dengan segala
sesuatu yang teratur, tanpa masalah, atau kebingungan - tidak pernah. Namun
kebingungan ini, ketidakteraturan ini harus diselesaikan dan ditertibkan.
Sebagai contoh, beliau menunjuk pada Konsili I di Yerusalem di mana ada
pergulatan antara kaum Yahudi dan kaum bukan Tadi, tetapi Konsili akhirnya
menentukan masalahnya.
Paus
Fransiskus mengatakan bahwa Santo Paulus meninggalkan Titus di Kreta untuk
memperbaiki keadaan, mengingatkan Titus bahwa "hal yang terutama adalah iman".
Pada saat yang sama, beliau memberikan beberapa kriteria dan petunjuk tentang
sosok uskup.
Paus
Fransiskus menguraikan definisi seorang uskup sebagai "pengatur rumah
Allah", bukan pengatur barang-barang, kekuasaan, kepentingan diri yang
timbal balik tetapi hanya demi kepentingan Allah. Uskup selalu harus
memperbaiki dan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah aku seorang
pengatur rumah Allah atau seorang pengusaha?" Uskup, pengatur rumah Allah
harus tidak bercela - sesuatu yang diminta Allah terhadap Abraham :
"Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela". Inilah, kata Paus
Fransiskus, mutu dasariah seorang pemimpin.
Paus
Fransiskus juga berbicara tentang apa seharusnya seorang uskup. Ia seharusnya
tidak arogan atau sombong, pemarah atau peminum, salah satu kejahatan yang
paling umum pada masa Paulus, bukan seorang pengusaha atau terikat pada uang.
Beliau mengatakan akan menjadi malapetaka bagi Gereja jika seorang uskup hanya
memiliki cela ini saja. Sebaliknya, seorang uskup harus mampu "memberi keramahan",
seorang "pencinta kebaikan", "bijaksana, adil, suci, empunya
dirinya sendiri, setia terhadap Sabda yang sepadan dengan iman yang diajarkan
kepadanya".
Bapa
Suci mengatakan bahwa ada bagusnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini
di awal penyelidikan sebelum pemilihan uskup, sebelum melanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan lain.
Menurut
Paus Fransiskus, seorang uskup, terutama harus rendah hati dan lemah lembut,
seorang hamba bukan seorang penguasa. Inilah, beliau mengatakan, Sabda Allah. Hal
ini, beliau mengatakan, bukanlah sesuatu yang baru setelah Vatikan II tetapi
kembali lebih awal ke zaman Paulus. Hal ini berasal dari awal ketika Gereja
menyadari bahwa ia harus memperbaiki masalah para uskup.
Apa
yang diperhitungkan di hadapan Allah bukanlah menjadi baik dan berkhotbah
dengan baik, tetapi kerendahan hati dan pelayanan. Paus Fransiskus mengakhiri
homilinya dengan desakan untuk mendoakan para uskup agar "mereka dapat,
atau kita dapat, seperti yang diminta Paulus kepada kita".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.