Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 24 Desember 2018 : PADA SAAT NATAL KITA MENJADIKAN BETLEHEM SEBAGAI RUMAH ROTI DAN KOTA DAUD

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

Yusuf bersama Maria tunangannya, pergi “ke kota Daud yang bernama Betlehem” (Luk 2:4). Malam ini, kita juga, pergi ke Betlehem, ke sana untuk menemukan misteri Natal.

Betlehem: nama itu berarti rumah roti. Dalam “rumah” ini, Tuhan hari ini ingin berjumpa seluruh umat manusia. Ia tahu bahwa kita membutuhkan santapan untuk hidup. Namun Ia juga tahu bahwa makanan dunia ini tidak memuaskan hati. Dalam Kitab Suci, dosa asal umat manusia terkait dengan mengambil makanan : orangtua pertama kita “mengambil buah dan memakannya”, Kitab Kejadian mengatakan (bdk. 3:6). Mereka mengambil dan makan. Umat manusia menjadi serakah dan rakus. Di zaman kita, bagi banyak orang, makna kehidupan ditemukan dalam memiliki, dalam memiliki benda-benda lahiriah secara berlebih. Keserakahan yang tak terpuaskan menandai segenap sejarah manusia, bahkan dewasa ini, ketika, secara berlawanan asas, beberapa orang makan dengan mewah sementara begitu banyak orang berjalan tanpa roti harian yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.


Betlehem adalah titik balik yang mengubah perjalanan sejarah. Di sana Allah, di rumah roti, dilahirkan dalam sebuah palungan. Seolah-olah Ia ingin mengatakan : "Inilah Aku, sebagai santapanmu". Ia tidak mengambil, tetapi memberi kita makan; Ia tidak memberi kita benda semata, tetapi diri-Nya sendiri. Di Betlehem, kita menemukan bahwa Allah tidak mengambil kehidupan, tetapi memberikannya. Bagi kita, yang sejak lahir terbiasa mengambil dan makan, Yesus mulai berkata, “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku" (Mat 26:26). Tubuh mungil Sang Anak Betlehem berbicara kepada kita tentang cara baru untuk menjalani hidup kita : bukan dengan melahap dan menimbun, tetapi dengan berbagi dan memberi. Allah menjadikan diri-Nya kecil sehingga Ia bisa menjadi santapan kita. Dengan menyantap Dia, Sang Roti Hidup, kita dapat terlahir kembali dalam kasih, dan memutus jalinan ketamakan dan keserakahan. Dari "rumah roti", Yesus membawa kita pulang ke rumah, sehingga kita dapat menjadi keluarga Allah, saudara dan saudari bagi sesama kita. Berdiri di depan palungan, kita memahami bahwa santapan kehidupan bukanlah kekayaan jasmaniah tetapi kasih, bukan kerakusan tetapi cinta kasih, bukan kesombongan tetapi kesederhanaan.

Tuhan tahu bahwa kita perlu diberi makan setiap hari. Itulah sebabnya Ia menawarkan diri-Nya bagi kita setiap hari dari kehidupan-Nya: dari palungan di Betlehem menuju Ruang Atas di Yerusalem. Hari ini juga, di atas altar, Ia menjadi roti yang dipecah-pecahkan untuk kita; Ia mengetuk pintu kita, untuk masuk dan makan bersama-sama kita (bdk. Why 3:20). Saat Natal, kita di bumi menerima Yesus, roti dari surga. Roti dari surga tersebut adalah roti yang tidak pernah bulukan, tetapi memungkinkan kita bahkan sampai sekarang untuk mencicipi terlebih dahulu kehidupan kekal.

Di Betlehem, kita menemukan bahwa kehidupan Allah dapat masuk ke dalam hati kita dan tinggal di sana. Jika kita menerima karunia itu, sejarah akan berubah, dimulai dari diri kita masing-masing. Karena begitu Yesus berdiam di hati kita, pusat kehidupan bukan lagi ego saya yang rakus dan mementingkan diri, tetapi Dia yang dilahirkan dan hidup untuk mengasihi. Malam ini, ketika kita mendengar perintah untuk pergi ke Betlehem, rumah roti, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri : Apa roti hidupku, apa yang tidak bisa kulakukan tanpa roti itu? Apakah roti itu Tuhan, atau sesuatu yang lain? Kemudian, ketika kita memasuki kandang, merasakan dalam lembutnya kemiskinan Sang Anak yang baru dilahirkan aroma baru kehidupan, wewangian kesederhanaan, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : Apakah aku benar-benar membutuhkan semua benda jasmaniah ini dan resep-resep kehidupan yang rumit? Bisakah aku mengelola tanpa semua tambahan yang tidak perlu ini dan menjalani kehidupan yang jauh lebih sederhana? Di Betlehem, di samping tempat Yesus dibaringkan, kita melihat orang-orang yang telah melakukan sebuah perjalanan : Maria, Yusuf, dan para gembala. Yesus adalah roti untuk perjalanan tersebut. Ia tidak menyukai makanan yang lama dan berlarut-larut, tetapi meminta kita segera bangkit dari meja untuk melayani, menyukai roti yang dipecah-pecahkan untuk orang lain. Marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri : Pada hari Natal, apakah aku memecah-mecahkan rotiku dengan orang-orang yang tidak memilikinya?

Setelah Betlehem sebagai rumah roti, marilah kita merenungkan Betlehem sebagai kota Daud. Di sana, Daud yang masih muda adalah seorang gembala, dan pada hakekatnya dipilih oleh Allah untuk menjadi gembala dan pemimpin umat-Nya. Saat Natal, di kota Daud, para gembalalah yang menyambut Yesus ke dunia. Pada malam itu, Injil memberitahu kita, “mereka sangat ketakutan” (Luk 2:9), tetapi malaikat berkata kepada mereka, “Jangan takut” (ayat 10). Berapa kali kita mendengar kata-kata “jangan takut” ini dalam Injil? Tampaknya Allah terus-menerus mengulanginya ketika Ia mencari-cari kita. Karena kita, sejak awal, oleh karena dosa kita, telah takut akan Allah; setelah berdosa, Adam berkata: "Aku menjadi takut, sebab itu aku bersembunyi" (Kej 3:10). Betlehem adalah obat untuk rasa takut ini, karena meskipun manusia berulang kali mengatakan "tidak", Allah terus-menerus mengatakan "ya". Ia akan selalu menjadi Allah beserta kita. Dan jangan sampai kehadiran-Nya mengilhami rasa takut, Ia menjadikan diri-Nya seorang Anak yang lembut. Jangan takut : kata-kata ini tidak diucapkan kepada orang-orang kudus, tetapi kepada para gembala, orang-orang sederhana yang pada masa itu tentu saja tidak dikenal karena perangai dan kesalehan mereka. Putra Daud dilahirkan di antara para gembala untuk memberitahu kita bahwa tidak akan pernah lagi ada orang yang sendirian dan terlantar; kita memiliki seorang Gembala yang mengatasi segala ketakutan kita dan mengasihi kita semua, tanpa kecuali.

Para gembala Betlehem juga memberitahu kita bagaimana pergi keluar untuk menemui Tuhan. Mereka berjaga-jaga di malam hari: mereka tidak tidur, tetapi melakukan apa yang sering diminta Yesus agar dilakukan kita semua, yaitu berjaga-jaga (bdk. Mat 25:13; Mrk 13:35; Luk 21:36). Mereka tetap waspada dan penuh perhatian dalam kegelapan; dan terang Allah kemudian "bersinar meliputi mereka" (Luk 2:9). Demikian halnya dengan kita. Hidup kita dapat ditandai dengan penantian, yang di tengah-tengah suramnya masalah-masalah kita berharap pada Tuhan dan merindukan kedatangan-Nya; maka kita akan menerima hidup-Nya. Atau hidup kita dapat ditandai dengan keinginan, di mana segala yang berarti adalah kekuatan dan kemampuan kita sendiri; hati kita kemudian terhalang terhadap terang Allah. Tuhan gemar dinantikan, dan kita tidak bisa menantikan-Nya dengan berbaring di kursi malas, tidur-tiduran. Jadi, para gembala segera berangkat : kita diberitahu bahwa mereka “cepat-cepat berangkat” (ayat 16). Mereka tidak hanya berdiri di sana seperti orang-orang yang berpikir bahwa mereka telah tiba dan tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Sebaliknya mereka berangkat; mereka membiarkan ternaknya tidak terjaga; mereka mengambil resiko demi Allah. Dan setelah melihat Yesus, meskipun mereka bukan orang-orang yang pandai berkata-kata, mereka pergi untuk memberitakan kelahiran-Nya, sehingga “semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka” (ayat 18).

Berjaga-jaga, berangkat, mengambil resiko, menceritakan keindahan tersebut : semua ini adalah tindakan kasih. Sang Gembala yang baik, yang pada hari Natal datang untuk memberikan hidup-Nya bagi domba-domba-Nya, kelak, pada Paskah, akan mengajukan kepada Petrus dan, melalui dia kepada kita semua, pertanyaan pamungkas : "Apakah engkau mengasihi Aku?" Masa depan kawanan domba akan tergantung pada bagaimana pertanyaan itu dijawab. Malam ini kita juga diminta untuk menanggapi Yesus dengan kata-kata : "Aku mengasihi Engkau". Jawaban yang diberikan oleh kita masing-masing sangat penting untuk seluruh kawanan domba.

“Sekarang, marilah kita pergi ke Betlehem” (Luk 2:15). Dengan kata-kata ini, para gembala berangkat. Tuhan, kami juga ingin pergi ke Betlehem. Hari ini juga, jalannya menanjak: ketinggian keegoisan kita perlu diatasi, dan kita tidak boleh kehilangan pijakan atau tergelincir ke dalam keduniawian dan konsumerisme.

Aku ingin datang ke Betlehem, Tuhan, karena di sana Engkau menantikanku. Aku ingin menyadari bahwa Engkau, terbaring dalam palungan, adalah roti hidupku. Aku membutuhkan aroma lembut kasih-Mu sehingga aku, pada gilirannya, dapat menjadi roti yang dipecah-pecahkan bagi dunia. Panggullah aku di pundak-Mu, Sang Gembala yang baik; dikasihi oleh Engkau, aku akan dapat mengasihi saudara dan saudariku dan memegang tangan mereka. Maka akan ada Natal, ketika aku bisa mengatakan kepada-Mu : “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (bdk. Yoh 21:17).

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.