Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH 1 Januari 2019 : ALLAH SENDIRI MEMBUTUHKAN SEORANG IBU, KITA PUN DEMIKIAN

Bacaan Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.

“Semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka” (Luk 2:18). Heran : inilah yang diminta dari kita hari ini, pada akhir Oktaf Natal, ketika kita terus merenungkan Sang Anak yang dilahirkan untuk kita, tidak memiliki segalanya namun berlimpah kasih. Keheranan adalah apa yang seharusnya kita rasakan di awal tahun, karena hidup adalah karunia yang terus menerus memberi kita kesempatan untuk membuat awal yang baru.


Hari ini juga merupakan hari yang diherankan oleh Bunda Allah. Allah muncul sebagai seorang anak kecil, dipeluk oleh seorang perempuan yang memberi makan Sang Penciptanya. Patung di depan mata kita melukiskan Bunda Maria dan Kanak Yesus sedemikian dekat sehingga tampak seperti menyatu. Itulah misteri yang kita rayakan hari ini, yang membangkitkan keheranan tanpa batas : Allah telah menjadi satu dengan umat manusia selamanya. Allah dan manusia, selalu bersama, itulah kabar baik tahun baru ini. Allah bukanlah Tuhan yang jauh, berdiam dalam keterasingan yang megah di atas langit, tetapi kasih yang menjelma, lahir seperti kita dari seorang ibu, untuk menjadi saudara bagi kita masing-masing.

Ia bersandar di pangkuan bunda-Nya, yang juga bunda kita, dan dari sanalah Ia mencurahkan sebuah kelembutan baru atas umat manusia. Dengan demikian kita menjadi semakin sepenuhnya memahami kasih Allah, yang bersifat kebapaan maupun keibuan, seperti kasih seorang ibu yang tidak pernah berhenti memercayai anak-anaknya dan tidak pernah meninggalkan mereka. Allah beserta kita, Imanuel, mengasihi kita terlepas dari kesalahan kita, dosa kita, dan cara kita memperlakukan dunia kita. Allah percaya pada umat manusia, karena anggotanya yang pertama dan unggul adalah Bunda-Nya sendiri.

Di awal tahun, marilah dari Maria kita memohonkan rahmat untuk heran terhadap Allah yang melakukan berbagai kejutan. Marilah kita memperbaharui keheranan yang kita rasakan ketika iman pertama kali lahir di dalam diri kita. Bunda Allah membantu kita. Ia, Theotókos, yang melahirkan Tuhan, sekarang mempersembahkan kita, dilahirkan kembali, kepada Tuhan. Ia adalah seorang ibu yang membangkitkan keheranan iman di dalam diri anak-anaknya. Tanpa keheranan, hidup menjadi membosankan dan rutin, serta begitu pula dengan iman. Gereja juga perlu memperbarui keheranannya sebagai tempat bersemayamnya Allah yang hidup, Sang Mempelai Tuhan, seorang Ibu yang melahirkan anak-anaknya. Kalau tidak, Gereja beresiko berubah menjadi museum yang indah di masa lalu. Bunda Maria malahan membuat Gereja merasa di rumah, rumah yang di dalamnya kebaruan Allah tinggal. Marilah kita menerima dengan keheranan misteri Bunda Allah, seperti yang dilakukan Konsili Efesus. Seperti mereka, marilah kita mengelu-elukan dia “Santa Bunda Allah”. Marilah kita memperkenankan diri kita ditatap, dipeluk, dipegang olehnya.

Marilah kita memperkenankan diri kita ditatap. Terutama pada saat-saat membutuhkan, ketika kita terjerat dalam simpul-simpul kehidupan, kita dengan tepat mengangkat mata kita kepada Bunda Maria. Namun pertama-tama, kita seharusnya memperkenankan diri kita ditatap oleh Bunda Maria. Ketika ia menatap kita, ia tidak melihat orang-orang berdosa tetapi anak-anak. Mata dikatakan merupakan cermin jiwa; mata Maria, penuh rahmat, mencerminkan keindahan Allah, mata Maria memperlihatkan cermin surga kepada kita. Yesus sendiri mengatakan bahwa mata adalah "pelita tubuh" (Mat 6:22) : mata Bunda Maria dapat membawa terang ke setiap penjuru yang gelap; di mana pun mata Maria menyalakan kembali harapan. Ketika ia menatap kita, ia berkata, “Camkanlah, anak-anak yang terkasih; inilah aku, ibumu!".

Tatapan keibuan ini, yang menanamkan keyakinan dan kepercayaan, membantu kita untuk bertumbuh dalam iman. Iman adalah ikatan dengan Allah yang melibatkan seluruh pribadi; untuk melestarikan iman dibutuhkan Bunda Allah. Tatapan keibuannya membantu kita melihat diri kita sebagai anak-anak yang tercinta dalam umat Allah, dan saling mengasihi terlepas dari keterbatasan dan pendekatan pribadi kita. Bunda Maria membuat kita tetap berakar dalam Gereja, di mana kesatuan lebih penting daripada keragaman; Bunda Maria mendorong kita untuk saling memperhatikan. Tatapan Maria mengingatkan kita bahwa iman membutuhkan kelembutan yang dapat menyelamatkan kita dari menjadi suam-suam kuku. Ketika iman menjadi tempat bagi Bunda Allah, kita tidak pernah kehilangan pandangan terhadap Tuhan sebagai pusatnya, karena Maria tidak pernah terarah pada dirinya sendiri tetapi pada Yesus; serta saudara dan saudari kita, karena Maria adalah bunda.

Tatapan Bunda Maria, dan tatapan setiap ibu. Dunia yang memandang masa depan tanpa tatapan seorang ibu adalah rabun. Dunia tersebut mungkin meningkat manfaatnya, tetapi ia tidak sudi lagi melihat orang lain sebagai anak-anak. Dunia tersebut akan menghasilkan uang, tetapi bukan untuk semua orang. Kita semua akan tinggal di dalam rumah yang sama, tetapi tidak sebagai saudara. Keluarga umat manusia dibangun di atas para ibu. Sebuah dunia yang di dalamnya tidak ada kelembutan keibuan mungkin kaya secara materi belaka, tetapi miskin berkaitan dengan masa depan. Bunda Allah, ajarilah kami untuk melihat kehidupan sebagaimana engkau melihatnya. Arahkanlah tatapanmu atas kami, atas kesengsaraan kami, kemiskinan kami. Alihkanlah kepada kami mata belas kasihmu. Marilah kita memperkenankan diri kita dipeluk. Dari tatapan Maria, kita sekarang beralih ke hatinya, yang di dalamnya, sebagaimana diceritakan Injil hari ini, ia “menyimpan segala perkara dan merenungkannya” (Luk 2:19).

Bunda Maria, dengan kata lain, membawa segalanya ke dalam hati; ia merangkul segalanya, peristiwa baik maupun buruk. Dan ia merenungkan semua hal ini; ia membawa segalanya ke hadirat Allah. Inilah rahasia Maria. Dengan cara yang sama, ia sekarang membawa kehidupan kita masing-masing ke dalam hatinya : ia ingin merangkul setiap situasi kita dan menyerahkannya kepada Allah.

Di dunia yang tersempal-sempal dewasa ini, di mana kita beresiko kehilangan arah, pelukan Bunda Maria sangat penting. Betapa banyaknya keterpencaran dan ketersendirian di sekitar kita! Dunia sepenuhnya terhubung, namun tampaknya semakin terputus-putus. Kita perlu mempercayakan diri kepada Bunda kita. Dalam Kitab Suci, Bunda Maria merangkul sejumlah situasi nyata; ia hadir di mana pun ia dibutuhkan. Ia mengunjungi sepupunya, Elizabet; ia datang untuk menolong pengantin baru di Kana; ia membesarkan hati para murid di Ruang Atas ... Maria adalah penyembut untuk keterpencaran dan ketersendirian. Ia adalah Bunda penghiburan : ia berdiri "bersama-sama" orang-orang yang "sendirian". Ia tahu bahwa kata-kata tidaklah memadai untuk menghibur; dibutuhkan kehadiran, dan ia hadir sebagai seorang ibu. Marilah kita memperkenankannya merangkul kehidupan kita. Dalam Salam Ya Ratu, kita memanggilnya "hidup kami". Hal ini mungkin tampak berlebihan, karena Kristus sendiri adalah "hidup" (bdk. Yoh 14:6), namun Maria begitu dekat dengan-Nya, dan begitu dekat dengan kita, sehingga kita tidak dapat melakukan lebih baik daripada meletakkan tangan kita dalam tangannya dan mengakui dia sebagai "hidup kita, hiburan kita dan harapan kita".

Marilah kita memperkenankan tangan kita dipegang. Para ibu memegang tangan anak-anak mereka dan dengan penuh kasih memperkenalkan kehidupan kepada mereka. Tetapi berapa banyak anak-anak dewasa ini yang berjalan sendiri dan tersesat. Memikirkan mereka kuat, mereka tersesat; memikirkan mereka bebas, mereka menjadi budak. Berapa banyak, melupakan kasih sayang seorang ibu, kehidupan dalam kemarahan dan ketidakpedulian terhadap segalanya! Berapa banyak, sedih untuk mengatakannya, reaksi terhadap segala sesuatu dan semua orang dengan kepahitan dan kedengkian! Menunjukkan diri kita "jahat" bahkan kadang-kadang menjadi tanda kekuatan. Namun itu tidak lebih daripada kelemahan. Kita perlu belajar dari para ibu bahwa kepahlawanan ditunjukkan dalam pemberian diri, kekuatan dalam kasih sayang, kebijaksanaan dalam kelemahlembutan.

Allah sendiri membutuhkan seorang Ibu : kita pun demikian! Yesus sendiri memberikan Maria kepada kita, dari kayu salib : “Inilah ibumu!” (Yoh 19:27). Ia mengatakan hal ini kepada murid yang terkasih dan kepada setiap murid. Bunda Maria bukanlah tambahan yang bersifat manasuka : ia harus disambut ke dalam kehidupan kita. Dialah Ratu Damai, yang berjaya atas kejahatan dan menuntun kita di sepanjang jalan kebaikan, yang memulihkan kesatuan bagi anak-anaknya, yang mengajarkan kasih sayang kepada kita.

Maria, peganglah tangan kami. Berpegang teguh padamu, kami akan melewati kesukaran-kesukaran sejarah dengan aman. Tuntunlah tangan kami untuk menemukan kembali ikatan yang mempersatukan kami. Kumpulkanlah kami di bawah mantelmu, dalam kelembutan kasih sejati, di mana keluarga umat manusia dilahirkan kembali : "Di bawah perlindunganmu kami bernaung, ya Santa Bunda Allah".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.