Bacaan
Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.
“Semua
orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu
kepada mereka” (Luk 2:18). Heran : inilah yang diminta dari kita hari ini, pada
akhir Oktaf Natal, ketika kita terus merenungkan Sang Anak yang dilahirkan
untuk kita, tidak memiliki segalanya namun berlimpah kasih. Keheranan adalah
apa yang seharusnya kita rasakan di awal tahun, karena hidup adalah karunia
yang terus menerus memberi kita kesempatan untuk membuat awal yang baru.
Hari
ini juga merupakan hari yang diherankan oleh Bunda Allah. Allah muncul sebagai
seorang anak kecil, dipeluk oleh seorang perempuan yang memberi makan Sang
Penciptanya. Patung di depan mata kita melukiskan Bunda Maria dan Kanak Yesus
sedemikian dekat sehingga tampak seperti menyatu. Itulah misteri yang kita
rayakan hari ini, yang membangkitkan keheranan tanpa batas : Allah telah
menjadi satu dengan umat manusia selamanya. Allah dan manusia, selalu bersama,
itulah kabar baik tahun baru ini. Allah bukanlah Tuhan yang jauh, berdiam dalam
keterasingan yang megah di atas langit, tetapi kasih yang menjelma, lahir
seperti kita dari seorang ibu, untuk menjadi saudara bagi kita masing-masing.
Ia
bersandar di pangkuan bunda-Nya, yang juga bunda kita, dan dari sanalah Ia
mencurahkan sebuah kelembutan baru atas umat manusia. Dengan demikian kita
menjadi semakin sepenuhnya memahami kasih Allah, yang bersifat kebapaan maupun
keibuan, seperti kasih seorang ibu yang tidak pernah berhenti memercayai
anak-anaknya dan tidak pernah meninggalkan mereka. Allah beserta kita, Imanuel,
mengasihi kita terlepas dari kesalahan kita, dosa kita, dan cara kita
memperlakukan dunia kita. Allah percaya pada umat manusia, karena anggotanya
yang pertama dan unggul adalah Bunda-Nya sendiri.
Di
awal tahun, marilah dari Maria kita memohonkan rahmat untuk heran terhadap
Allah yang melakukan berbagai kejutan. Marilah kita memperbaharui keheranan
yang kita rasakan ketika iman pertama kali lahir di dalam diri kita. Bunda
Allah membantu kita. Ia, Theotókos, yang melahirkan Tuhan, sekarang
mempersembahkan kita, dilahirkan kembali, kepada Tuhan. Ia adalah seorang ibu
yang membangkitkan keheranan iman di dalam diri anak-anaknya. Tanpa keheranan,
hidup menjadi membosankan dan rutin, serta begitu pula dengan iman. Gereja juga
perlu memperbarui keheranannya sebagai tempat bersemayamnya Allah yang hidup,
Sang Mempelai Tuhan, seorang Ibu yang melahirkan anak-anaknya. Kalau tidak,
Gereja beresiko berubah menjadi museum yang indah di masa lalu. Bunda Maria
malahan membuat Gereja merasa di rumah, rumah yang di dalamnya kebaruan Allah
tinggal. Marilah kita menerima dengan keheranan misteri Bunda Allah, seperti
yang dilakukan Konsili Efesus. Seperti mereka, marilah kita mengelu-elukan dia
“Santa Bunda Allah”. Marilah kita memperkenankan diri kita ditatap, dipeluk,
dipegang olehnya.
Marilah
kita memperkenankan diri kita ditatap. Terutama pada saat-saat membutuhkan,
ketika kita terjerat dalam simpul-simpul kehidupan, kita dengan tepat
mengangkat mata kita kepada Bunda Maria. Namun pertama-tama, kita seharusnya
memperkenankan diri kita ditatap oleh Bunda Maria. Ketika ia menatap kita, ia
tidak melihat orang-orang berdosa tetapi anak-anak. Mata dikatakan merupakan
cermin jiwa; mata Maria, penuh rahmat, mencerminkan keindahan Allah, mata Maria
memperlihatkan cermin surga kepada kita. Yesus sendiri mengatakan bahwa mata
adalah "pelita tubuh" (Mat 6:22) : mata Bunda Maria dapat membawa
terang ke setiap penjuru yang gelap; di mana pun mata Maria menyalakan kembali
harapan. Ketika ia menatap kita, ia berkata, “Camkanlah, anak-anak yang
terkasih; inilah aku, ibumu!".
Tatapan
keibuan ini, yang menanamkan keyakinan dan kepercayaan, membantu kita untuk
bertumbuh dalam iman. Iman adalah ikatan dengan Allah yang melibatkan seluruh
pribadi; untuk melestarikan iman dibutuhkan Bunda Allah. Tatapan keibuannya
membantu kita melihat diri kita sebagai anak-anak yang tercinta dalam umat
Allah, dan saling mengasihi terlepas dari keterbatasan dan pendekatan pribadi
kita. Bunda Maria membuat kita tetap berakar dalam Gereja, di mana kesatuan
lebih penting daripada keragaman; Bunda Maria mendorong kita untuk saling
memperhatikan. Tatapan Maria mengingatkan kita bahwa iman membutuhkan
kelembutan yang dapat menyelamatkan kita dari menjadi suam-suam kuku. Ketika
iman menjadi tempat bagi Bunda Allah, kita tidak pernah kehilangan pandangan
terhadap Tuhan sebagai pusatnya, karena Maria tidak pernah terarah pada dirinya
sendiri tetapi pada Yesus; serta saudara dan saudari kita, karena Maria adalah
bunda.
Tatapan
Bunda Maria, dan tatapan setiap ibu. Dunia yang memandang masa depan tanpa
tatapan seorang ibu adalah rabun. Dunia tersebut mungkin meningkat manfaatnya,
tetapi ia tidak sudi lagi melihat orang lain sebagai anak-anak. Dunia tersebut
akan menghasilkan uang, tetapi bukan untuk semua orang. Kita semua akan tinggal
di dalam rumah yang sama, tetapi tidak sebagai saudara. Keluarga umat manusia
dibangun di atas para ibu. Sebuah dunia yang di dalamnya tidak ada kelembutan
keibuan mungkin kaya secara materi belaka, tetapi miskin berkaitan dengan masa
depan. Bunda Allah, ajarilah kami untuk melihat kehidupan sebagaimana engkau
melihatnya. Arahkanlah tatapanmu atas kami, atas kesengsaraan kami, kemiskinan
kami. Alihkanlah kepada kami mata belas kasihmu. Marilah kita memperkenankan
diri kita dipeluk. Dari tatapan Maria, kita sekarang beralih ke hatinya, yang
di dalamnya, sebagaimana diceritakan Injil hari ini, ia “menyimpan segala
perkara dan merenungkannya” (Luk 2:19).
Bunda
Maria, dengan kata lain, membawa segalanya ke dalam hati; ia merangkul
segalanya, peristiwa baik maupun buruk. Dan ia merenungkan semua hal ini; ia
membawa segalanya ke hadirat Allah. Inilah rahasia Maria. Dengan cara yang
sama, ia sekarang membawa kehidupan kita masing-masing ke dalam hatinya : ia
ingin merangkul setiap situasi kita dan menyerahkannya kepada Allah.
Di
dunia yang tersempal-sempal dewasa ini, di mana kita beresiko kehilangan arah,
pelukan Bunda Maria sangat penting. Betapa banyaknya keterpencaran dan
ketersendirian di sekitar kita! Dunia sepenuhnya terhubung, namun tampaknya
semakin terputus-putus. Kita perlu mempercayakan diri kepada Bunda kita. Dalam
Kitab Suci, Bunda Maria merangkul sejumlah situasi nyata; ia hadir di mana pun
ia dibutuhkan. Ia mengunjungi sepupunya, Elizabet; ia datang untuk menolong
pengantin baru di Kana; ia membesarkan hati para murid di Ruang Atas ... Maria
adalah penyembut untuk keterpencaran dan ketersendirian. Ia adalah Bunda
penghiburan : ia berdiri "bersama-sama" orang-orang yang
"sendirian". Ia tahu bahwa kata-kata tidaklah memadai untuk
menghibur; dibutuhkan kehadiran, dan ia hadir sebagai seorang ibu. Marilah kita
memperkenankannya merangkul kehidupan kita. Dalam Salam Ya Ratu, kita
memanggilnya "hidup kami". Hal ini mungkin tampak berlebihan, karena
Kristus sendiri adalah "hidup" (bdk. Yoh 14:6), namun Maria begitu
dekat dengan-Nya, dan begitu dekat dengan kita, sehingga kita tidak dapat
melakukan lebih baik daripada meletakkan tangan kita dalam tangannya dan
mengakui dia sebagai "hidup kita, hiburan kita dan harapan kita".
Marilah
kita memperkenankan tangan kita dipegang. Para ibu memegang tangan anak-anak
mereka dan dengan penuh kasih memperkenalkan kehidupan kepada mereka. Tetapi
berapa banyak anak-anak dewasa ini yang berjalan sendiri dan tersesat.
Memikirkan mereka kuat, mereka tersesat; memikirkan mereka bebas, mereka
menjadi budak. Berapa banyak, melupakan kasih sayang seorang ibu, kehidupan
dalam kemarahan dan ketidakpedulian terhadap segalanya! Berapa banyak, sedih
untuk mengatakannya, reaksi terhadap segala sesuatu dan semua orang dengan
kepahitan dan kedengkian! Menunjukkan diri kita "jahat" bahkan
kadang-kadang menjadi tanda kekuatan. Namun itu tidak lebih daripada kelemahan.
Kita perlu belajar dari para ibu bahwa kepahlawanan ditunjukkan dalam pemberian
diri, kekuatan dalam kasih sayang, kebijaksanaan dalam kelemahlembutan.
Allah
sendiri membutuhkan seorang Ibu : kita pun demikian! Yesus sendiri memberikan
Maria kepada kita, dari kayu salib : “Inilah ibumu!” (Yoh 19:27). Ia mengatakan
hal ini kepada murid yang terkasih dan kepada setiap murid. Bunda Maria
bukanlah tambahan yang bersifat manasuka : ia harus disambut ke dalam kehidupan
kita. Dialah Ratu Damai, yang berjaya atas kejahatan dan menuntun kita di
sepanjang jalan kebaikan, yang memulihkan kesatuan bagi anak-anaknya, yang
mengajarkan kasih sayang kepada kita.
Maria,
peganglah tangan kami. Berpegang teguh padamu, kami akan melewati
kesukaran-kesukaran sejarah dengan aman. Tuntunlah tangan kami untuk menemukan
kembali ikatan yang mempersatukan kami. Kumpulkanlah kami di bawah mantelmu,
dalam kelembutan kasih sejati, di mana keluarga umat manusia dilahirkan kembali
: "Di bawah perlindunganmu kami bernaung, ya Santa Bunda Allah".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.