Bacaan
Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat.
2:1-12.
Hari
Raya Penampakan Tuhan : kata ini menunjukkan pengejawantahan Tuhan, yang,
seperti dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua (bdk. Ef 3:6), menjadikan
diri-Nya dikenal oleh semua bangsa, hari ini diwakili oleh para Majus. Dengan
cara ini, kita melihat terungkapnya kemuliaan Allah yang telah datang untuk
semua orang : semua bangsa, bahasa dan orang disambut dan dikasihi oleh-Nya.
Hal tersebut dilambangkan oleh terang, yang menembus dan menyinari segala
sesuatu.
Namun
jika Allah kita menjadikan diri-Nya dikenal semua orang, bahkan bagaimana Ia
melakukannya lebih mengejutkan lagi. Bacaan Injil (Mat. 2:1-12) berbicara
tentang senandung kegiatan di sekitar istana Raja Herodes begitu Yesus muncul
sebagai raja. Para Majus bertanya: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang
baru dilahirkan itu?" (Mat 2:2). Mereka akan menemukan-Nya, tetapi bukan
di tempat yang mereka pikirkan : bukan di istana kerajaan di Yerusalem, tetapi
di tempat tinggal yang sederhana di Betlehem. Kita melihat pertentangan yang
sama ini saat Natal. Bacaan Injil berbicara tentang cacah jiwa di seluruh negeri
yang dilakukan pada zaman Kaisar Agustus, ketika Kirenius menjadi gubernur
(bdk. Luk 2:2). Tetapi tidak ada pembesar pada masa itu yang menyadari bahwa
Raja sejarah dilahirkan pada masa mereka. Sekali lagi, ketika Yesus, yang
berusia sekitar tiga puluh tahun, menjadikan diri-Nya dikenal umum, didahului
oleh Yohanes Pembaptis, Bacaan Injil sekali lagi secara resmi menempatkan
peristiwa itu, mendaftar seluruh "tokoh terkemuka" masa itu, para
penguasa dunia dan rohani besar : Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus, Herodes,
Filipus, Lisanias, imam besar Hanas dan Kayafas. Dan Injil diakhiri dengan
mengatakan bahwa, pada masa itu, “datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak
Zakharia, di padang gurun” (Luk 3:2). Tidak ada orang terkemuka, tetapi orang
yang telah menarik diri ke padang gurun. Inilah kejutannya : Allah tidak
membutuhkan lampu sorot dunia untuk menjadikan diri-Nya dikenal.
Ketika
kita mendengarkan daftar tokoh-tokoh terhormat itu, kita mungkin tergoda untuk
mengalihkan perhatian pada mereka. Kita mungkin berpikir bahwa akan lebih baik
jika bintang Yesus muncul di Roma, di Bukit Palatine, tempat Kaisar Agustus
memerintah dunia; kemudian seluruh kekaisaran akan segera menjadi kristiani.
Atau jika bintang itu bersinar di istana Herodes, Herodes mungkin melakukan
yang baik ketimbang yang jahat. Tetapi terang Allah tidak menyinari orang-orang
yang bersinar dengan terang mereka sendiri. Allah "mengedepankan"
diri-Nya sendiri; Ia tidak "memaksakan" diri-Nya. Ia menyinari; Ia
tidak buta. Merancukan terang Allah dengan terang dunia selalu sangat menggoda.
Berapa kali kita telah mengejar terang kekuasaan dan selebriti yang menggoda,
yakin bahwa kita sedang memberikan pelayanan yang baik terhadap Injil! Tetapi
dengan berbuat demikian, bukankah kita telah mengarahkan lampu sorot pada
tempat yang keliru, karena Allah tidak ada di sana. Terang-Nya yang ramah
bersinar ke luar dalam kasih yang rendah hati. Berapa kali, kita juga, sebagai
Gereja, berusaha untuk bersinar dengan terang kita sendiri! Namun kita bukan
matahari umat manusia. Kita adalah bulan yang, kendati bayang-bayangnya,
memantulkan terang sejati, yaitu Tuhan. Dialah terang dunia (bdk. Yoh 9:5).
Dia, bukan kita.
Terang
Allah menyinari orang-orang yang menerimanya. Yesaya, dalam Bacaan Pertama
(bdk. 60:2), memberitahu kita bahwa terang itu tidak menghalangi kegelapan dan
awan tebal menutupi bumi, tetapi bersinar atas orang-orang yang siap
menerimanya. Maka, nabi Yesaya menyampaikan panggilan yang menantang kepada
semua orang : "Bangkitlah, menjadi teranglah" (60:1). Kita perlu
bangkit, bangun dari kehidupan kita yang duduk diam dan bersiap untuk melakukan
perjalanan. Kalau tidak, kita berdiri diam, seperti ahli-ahli Taurat yang
diminta pendapatnya oleh Herodes; mereka tahu betul di mana Mesias dilahirkan,
tetapi mereka tidak bergerak. Kita juga perlu bersinar, mengenakan Allah yang
adalah terang, hari demi hari, sampai kita sepenuhnya mengenakan Yesus. Namun
mengenakan Allah, yang menyukai terang adalah sederhana, pertama-tama kita
harus mengesampingkan jubah mewah kita. Kalau tidak, kita akan menjadi seperti
Herodes, yang lebih menyukai terang keberhasilan dan kekuasaan duniawi
ketimbang terang ilahi. Para Majus, sebaliknya, menggenapi nubuat tersebut.
Mereka muncul dan bersinar, serta mengenakan terang. Mereka saja yang melihat
bintang di langit : bukan para ahli Taurat, atau Herodes, atau penduduk
Yerusalem manapun.
Untuk
menemukan Yesus, kita juga perlu mengambil rute yang berbeda, mengikuti jalan
yang berbeda, jalan-Nya, jalan kasih yang rendah hati. Dan kita harus gigih.
Bacaan Injil hari ini berakhir dengan mengatakan bahwa para Majus, setelah
berjumpa dengan Yesus, "pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan
lain" (Mat 2:12). Jalan lain, berbeda dari jalan Herodes. Rute alternatif
selain rute dunia, seperti jalan yang ditempuh orang-orang yang mengelilingi
Yesus saat Natal : Maria dan Yusuf, para gembala. Seperti para Majus, mereka
meninggalkan rumah dan menjadi para peziarah di jalan Allah. Karena hanya
orang-orang yang meninggalkan keterikatan duniawi dan melakukan perjalanan
menemukan misteri Allah.
Hal
ini juga berlaku bagi kita. Hanya tahu di mana Yesus dilahirkan, seperti yang
dilakukan para ahli Taurat, jika kita tidak pergi ke sana, tidaklah cukup.
Mengetahui bahwa Yesus dilahirkan, seperti Herodes, jika kita tidak berjumpa
dengan-Nya, tidaklah cukup. Ketika tempat-Nya menjadi tempat kita, ketika
waktu-Nya menjadi waktu kita, ketika pribadi-Nya menjadi hidup kita, maka
nubuat akan tergenapi di dalam diri kita. Kemudian Yesus dilahirkan di dalam
diri kita. Ia menjadi Allah yang hidup bagiku. Hari ini kita diminta untuk
meneladan para Majus. Mereka tidak bersitegang; mereka berangkat. Mereka tidak
berhenti untuk melihat, tetapi memasuki rumah Yesus. Mereka tidak menempatkan
diri mereka di pusat, tetapi sujud di hadapan Dia yang adalah pusat. Mereka
tidak tetap terpaku pada rencana mereka, tetapi siap untuk mengambil rute lain.
Tindakan mereka mengungkapkan kontak dekat dengan Tuhan, keterbukaan yang
radikal kepada-Nya, keterlibatan penuh dengan-Nya. Dengan-Nya, mereka
menggunakan bahasa kasih, bahasa yang sama yang Yesus, meskipun masih bayi,
telah ucapkan. Memang, para Majus pergi kepada Tuhan bukan untuk menerima,
tetapi untuk memberi. Marilah kita mengajukan pertanyaan ini pada diri kita :
saat Natal apakah kita membawa hadiah kepada Yesus untuk pesta-Nya, atau apakah
kita hanya bertukar hadiah di antara kita sendiri?
Jika
kita pergi kepada Tuhan dengan tangan kosong, hari ini kita dapat memperbaiki
hal itu. Bacaan Injil, dalam beberapa hal, memberi kita sedikit "daftar
hadiah" : emas, kemenyan dan mur. Emas, logam yang paling berharga,
mengingatkan kita bahwa Allah harus mendapat tempat pertama; Ia harus disembah.
Tetapi lakukan hal itu, kita harus menyingkirkan diri kita dari tempat pertama
dan mengenali kebutuhan kita, fakta bahwa diri kita tidak mencukupi. Lalu ada
kemenyan, yang melambangkan hubungan dengan Tuhan, doa, yang seperti
persembahan ukupan naik kepada Allah (bdk. Mzm 141:2). Seperti halnya
persembahan ukupan harus dibakar untuk menghasilkan keharumannya, demikian
juga, dalam doa, kita perlu "membakar" sedikit waktu kita,
menghabiskannya bersama Tuhan. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan
tindakan kita. Kita melihat hal ini dalam mur, minyak urapan yang dengan penuh
kasih digunakan untuk membungkus tubuh Yesus yang diturunkan dari salib (bdk.
Yoh 19:39). Tuhan senang ketika kita merawat tubuh yang disiksa oleh
penderitaan, daging orang-orang yang tak berdaya, orang-orang yang terlantar,
orang-orang yang hanya dapat menerima tanpa dapat memberikan materi apa pun
sebagai balasannya. Berharga di mata Allah adalah belas kasih yang ditunjukkan
kepada orang-orang yang tidak memiliki apa pun untuk diberikan kembali. Tanpa
pamrih!
Dalam
masa Natal ini yang sekarang sudah hampir usai, janganlah kita melewatkan
kesempatan untuk mempersembahkan hadiah yang berharga kepada Sang Raja kita,
yang datang kepada kita bukan dalam kemegahan duniawi, tetapi dalam kemiskinan
Betlehem yang bercahaya. Jika kita bisa melakukan hal ini, terang-Nya akan
menyinari diri kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.