Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2019

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.

Hari Raya Penampakan Tuhan : kata ini menunjukkan pengejawantahan Tuhan, yang, seperti dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua (bdk. Ef 3:6), menjadikan diri-Nya dikenal oleh semua bangsa, hari ini diwakili oleh para Majus. Dengan cara ini, kita melihat terungkapnya kemuliaan Allah yang telah datang untuk semua orang : semua bangsa, bahasa dan orang disambut dan dikasihi oleh-Nya. Hal tersebut dilambangkan oleh terang, yang menembus dan menyinari segala sesuatu.


Namun jika Allah kita menjadikan diri-Nya dikenal semua orang, bahkan bagaimana Ia melakukannya lebih mengejutkan lagi. Bacaan Injil (Mat. 2:1-12) berbicara tentang senandung kegiatan di sekitar istana Raja Herodes begitu Yesus muncul sebagai raja. Para Majus bertanya: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?" (Mat 2:2). Mereka akan menemukan-Nya, tetapi bukan di tempat yang mereka pikirkan : bukan di istana kerajaan di Yerusalem, tetapi di tempat tinggal yang sederhana di Betlehem. Kita melihat pertentangan yang sama ini saat Natal. Bacaan Injil berbicara tentang cacah jiwa di seluruh negeri yang dilakukan pada zaman Kaisar Agustus, ketika Kirenius menjadi gubernur (bdk. Luk 2:2). Tetapi tidak ada pembesar pada masa itu yang menyadari bahwa Raja sejarah dilahirkan pada masa mereka. Sekali lagi, ketika Yesus, yang berusia sekitar tiga puluh tahun, menjadikan diri-Nya dikenal umum, didahului oleh Yohanes Pembaptis, Bacaan Injil sekali lagi secara resmi menempatkan peristiwa itu, mendaftar seluruh "tokoh terkemuka" masa itu, para penguasa dunia dan rohani besar : Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus, Herodes, Filipus, Lisanias, imam besar Hanas dan Kayafas. Dan Injil diakhiri dengan mengatakan bahwa, pada masa itu, “datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun” (Luk 3:2). Tidak ada orang terkemuka, tetapi orang yang telah menarik diri ke padang gurun. Inilah kejutannya : Allah tidak membutuhkan lampu sorot dunia untuk menjadikan diri-Nya dikenal.

Ketika kita mendengarkan daftar tokoh-tokoh terhormat itu, kita mungkin tergoda untuk mengalihkan perhatian pada mereka. Kita mungkin berpikir bahwa akan lebih baik jika bintang Yesus muncul di Roma, di Bukit Palatine, tempat Kaisar Agustus memerintah dunia; kemudian seluruh kekaisaran akan segera menjadi kristiani. Atau jika bintang itu bersinar di istana Herodes, Herodes mungkin melakukan yang baik ketimbang yang jahat. Tetapi terang Allah tidak menyinari orang-orang yang bersinar dengan terang mereka sendiri. Allah "mengedepankan" diri-Nya sendiri; Ia tidak "memaksakan" diri-Nya. Ia menyinari; Ia tidak buta. Merancukan terang Allah dengan terang dunia selalu sangat menggoda. Berapa kali kita telah mengejar terang kekuasaan dan selebriti yang menggoda, yakin bahwa kita sedang memberikan pelayanan yang baik terhadap Injil! Tetapi dengan berbuat demikian, bukankah kita telah mengarahkan lampu sorot pada tempat yang keliru, karena Allah tidak ada di sana. Terang-Nya yang ramah bersinar ke luar dalam kasih yang rendah hati. Berapa kali, kita juga, sebagai Gereja, berusaha untuk bersinar dengan terang kita sendiri! Namun kita bukan matahari umat manusia. Kita adalah bulan yang, kendati bayang-bayangnya, memantulkan terang sejati, yaitu Tuhan. Dialah terang dunia (bdk. Yoh 9:5). Dia, bukan kita.

Terang Allah menyinari orang-orang yang menerimanya. Yesaya, dalam Bacaan Pertama (bdk. 60:2), memberitahu kita bahwa terang itu tidak menghalangi kegelapan dan awan tebal menutupi bumi, tetapi bersinar atas orang-orang yang siap menerimanya. Maka, nabi Yesaya menyampaikan panggilan yang menantang kepada semua orang : "Bangkitlah, menjadi teranglah" (60:1). Kita perlu bangkit, bangun dari kehidupan kita yang duduk diam dan bersiap untuk melakukan perjalanan. Kalau tidak, kita berdiri diam, seperti ahli-ahli Taurat yang diminta pendapatnya oleh Herodes; mereka tahu betul di mana Mesias dilahirkan, tetapi mereka tidak bergerak. Kita juga perlu bersinar, mengenakan Allah yang adalah terang, hari demi hari, sampai kita sepenuhnya mengenakan Yesus. Namun mengenakan Allah, yang menyukai terang adalah sederhana, pertama-tama kita harus mengesampingkan jubah mewah kita. Kalau tidak, kita akan menjadi seperti Herodes, yang lebih menyukai terang keberhasilan dan kekuasaan duniawi ketimbang terang ilahi. Para Majus, sebaliknya, menggenapi nubuat tersebut. Mereka muncul dan bersinar, serta mengenakan terang. Mereka saja yang melihat bintang di langit : bukan para ahli Taurat, atau Herodes, atau penduduk Yerusalem manapun.

Untuk menemukan Yesus, kita juga perlu mengambil rute yang berbeda, mengikuti jalan yang berbeda, jalan-Nya, jalan kasih yang rendah hati. Dan kita harus gigih. Bacaan Injil hari ini berakhir dengan mengatakan bahwa para Majus, setelah berjumpa dengan Yesus, "pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain" (Mat 2:12). Jalan lain, berbeda dari jalan Herodes. Rute alternatif selain rute dunia, seperti jalan yang ditempuh orang-orang yang mengelilingi Yesus saat Natal : Maria dan Yusuf, para gembala. Seperti para Majus, mereka meninggalkan rumah dan menjadi para peziarah di jalan Allah. Karena hanya orang-orang yang meninggalkan keterikatan duniawi dan melakukan perjalanan menemukan misteri Allah.

Hal ini juga berlaku bagi kita. Hanya tahu di mana Yesus dilahirkan, seperti yang dilakukan para ahli Taurat, jika kita tidak pergi ke sana, tidaklah cukup. Mengetahui bahwa Yesus dilahirkan, seperti Herodes, jika kita tidak berjumpa dengan-Nya, tidaklah cukup. Ketika tempat-Nya menjadi tempat kita, ketika waktu-Nya menjadi waktu kita, ketika pribadi-Nya menjadi hidup kita, maka nubuat akan tergenapi di dalam diri kita. Kemudian Yesus dilahirkan di dalam diri kita. Ia menjadi Allah yang hidup bagiku. Hari ini kita diminta untuk meneladan para Majus. Mereka tidak bersitegang; mereka berangkat. Mereka tidak berhenti untuk melihat, tetapi memasuki rumah Yesus. Mereka tidak menempatkan diri mereka di pusat, tetapi sujud di hadapan Dia yang adalah pusat. Mereka tidak tetap terpaku pada rencana mereka, tetapi siap untuk mengambil rute lain. Tindakan mereka mengungkapkan kontak dekat dengan Tuhan, keterbukaan yang radikal kepada-Nya, keterlibatan penuh dengan-Nya. Dengan-Nya, mereka menggunakan bahasa kasih, bahasa yang sama yang Yesus, meskipun masih bayi, telah ucapkan. Memang, para Majus pergi kepada Tuhan bukan untuk menerima, tetapi untuk memberi. Marilah kita mengajukan pertanyaan ini pada diri kita : saat Natal apakah kita membawa hadiah kepada Yesus untuk pesta-Nya, atau apakah kita hanya bertukar hadiah di antara kita sendiri?

Jika kita pergi kepada Tuhan dengan tangan kosong, hari ini kita dapat memperbaiki hal itu. Bacaan Injil, dalam beberapa hal, memberi kita sedikit "daftar hadiah" : emas, kemenyan dan mur. Emas, logam yang paling berharga, mengingatkan kita bahwa Allah harus mendapat tempat pertama; Ia harus disembah. Tetapi lakukan hal itu, kita harus menyingkirkan diri kita dari tempat pertama dan mengenali kebutuhan kita, fakta bahwa diri kita tidak mencukupi. Lalu ada kemenyan, yang melambangkan hubungan dengan Tuhan, doa, yang seperti persembahan ukupan naik kepada Allah (bdk. Mzm 141:2). Seperti halnya persembahan ukupan harus dibakar untuk menghasilkan keharumannya, demikian juga, dalam doa, kita perlu "membakar" sedikit waktu kita, menghabiskannya bersama Tuhan. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan kita. Kita melihat hal ini dalam mur, minyak urapan yang dengan penuh kasih digunakan untuk membungkus tubuh Yesus yang diturunkan dari salib (bdk. Yoh 19:39). Tuhan senang ketika kita merawat tubuh yang disiksa oleh penderitaan, daging orang-orang yang tak berdaya, orang-orang yang terlantar, orang-orang yang hanya dapat menerima tanpa dapat memberikan materi apa pun sebagai balasannya. Berharga di mata Allah adalah belas kasih yang ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak memiliki apa pun untuk diberikan kembali. Tanpa pamrih!

Dalam masa Natal ini yang sekarang sudah hampir usai, janganlah kita melewatkan kesempatan untuk mempersembahkan hadiah yang berharga kepada Sang Raja kita, yang datang kepada kita bukan dalam kemegahan duniawi, tetapi dalam kemiskinan Betlehem yang bercahaya. Jika kita bisa melakukan hal ini, terang-Nya akan menyinari diri kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.