Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PEMBERKATAN ALTAR KATEDRAL SANTA MARIA LA ANTIGUA, KOTA PANAMA (PANAMA) 26 Januari 2019 : TUHAN MEMBANTU KELETIHAN PERJALANAN KITA

"Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas. Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: 'Berilah Aku minum'" (Yoh 4:6-7).

Injil yang telah kita dengar tidak segan-segan menunjukkan kepada kita Yesus sangat letih oleh perjalanan-Nya. Pada tengah hari, ketika matahari menjadikan segenap daya dan kekuatannya terasa, kita menjumpai-Nya di pinggir sumur. Ia perlu meringankan dan memuaskan dahaga-Nya, menyegarkan langkah-langkah-Nya, memulihkan kekuatan-Nya untuk melanjutkan perutusan-Nya.


Murid-murid secara pribadi mengalami sejauh mana tanggung jawab dan kesiapan Tuhan untuk membawa Kabar Baik kepada kaum miskin, merawat orang-orang yang remuk hati, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan kelepasan kepada orang-orang yang terkurung dalam penjara, menghibur orang-orang yang berkabung dan memberitakan tahun rahmat Tuhan kepada semua orang (bdk. Yes 61:1-3). Ini semua adalah situasi yang menghabiskan hidup dan energi; namun semuanya menunjukkan kepada kita banyak saat-saat penting dalam kehidupan Sang Guru, saat-saat yang di dalamnya kemanusiaan kita, juga, dapat menemukan sebuah sabda Kehidupan.

Keletihan karena perjalanan

Membayangkan dan masuk ke dalam persekutuan dengan kegiatan Tuhan relatif mudah bagi kita, sesibuk apapun. Namun kita tidak selalu tahu bagaimana merenungkan dan menyertai "keletihan" kita; tampaknya hal ini bukanlah sesuatu yang layak bagi Allah. Tuhan tahu apa artinya lelah, dan dalam keletihan-Nya begitu banyak pergumulan bangsa-bangsa dan umat kita, komunitas-komunitas kita dan semua orang yang letih lesu dan berbeban berat (bdk. Mat 11:28) dapat menemukan sebuah tempat.

Ada banyak alasan untuk letih dalam perjalanan kita sebagai para imam, para pelaku hidup bakti, dan para anggota gerakan awam : dari jam kerja yang panjang, yang menyisakan sedikit waktu untuk makan, beristirahat dan berada bersama keluarga, hingga kondisi dan hubungan kerja yang "beracun" yang menyebabkan tenaga terkuras dan kekecewaan. Dari tanggung jawab sehari-hari yang sederhana hingga rutinitas yang membebani orang-orang yang tidak menemukan saat santai, penghargaan atau dukungan yang diperlukan untuk bergerak hari demi hari. Dari masalah-masalah kecil yang biasa dan dapat diramalkan hingga rentang waktu tekanan yang panjang dan menegangkan. Seluruhnya adalah sederetan beban yang harus ditanggung.

Mencoba mengatasi semua situasi yang melanda kehidupan para pelaku hidup bakti ini tidaklah mungkin, tetapi dalam semua situasi itu kita merasakan kebutuhan mendesak untuk menemukan sebuah sumur guna memuaskan dahaga kita dan menghilangkan keletihan kita karena perjalanan. Semua situasi ini menuntut, bagaikan sebuah permohonan yang membisu, sebuah sumur yang daripadanya kita dapat berangkat sekali lagi.

Untuk beberapa saat kini, keletihan yang tak kasat mata tampaknya telah menemukan sebuah tempat di dalam komunitas-komunitas kita, keletihan yang tidak ada hubungannya dengan keletihan Tuhan. Keletihan tersebut merupakan sebuah godaan yang dapat kita sebut keletihan harapan. Keletihan ini dirasakan ketika - seperti dalam Injil - matahari yang menyengat tanpa belas kasihan dan dengan intensitas sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk terus berjalan atau bahkan melihat ke depan. Segala sesuatunya membingungkan. Saya tidak merujuk pada "kelelahan hati tertentu" (bdk. Redemptoris Mater, 17; Evangelii Gaudium, 287) yang dirasakan oleh orang-orang yang merasa "remuk redam" pada akhir hari, namun berusaha tersenyum dengan tenang dan penuh syukur. Saya berbicara tentang keletihan lainnya, yang berasal dari segera sesudah melihat ke depan kenyataan “melanda” serta mempertanyakan energi, sumber daya, dan kelayakan perutusan kita di dunia yang sedang berubah dan menantang ini.

Sebuah keletihan yang melumpuhkan. Keletihan yang berasal dari melihat ke depan dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang amat sangat dan membingungkan yang sedang kita alami sebagai sebuah masyarakat. Perubahan-perubahan ini tampaknya mempertanyakan tidak hanya cara kita berbicara dan melaksanakan, sikap dan kebiasaan kita dalam menghadapi kenyataan, tetapi dalam banyak kasus perubahan-perubahan ini meragukan keberlangsungan kehidupan religius di dunia dewasa ini. Dan perubahan-perubahan yang sangat cepat ini dapat melumpuhkan berbagai pilihan dan pendapat kita, sementara apa yang bermakna dan penting di masa lalu kini tampaknya tidak berlaku lagi.

Keletihan harapan berasal dari melihat Gereja yang terluka oleh dosa, yang sering gagal mendengarkan seluruh jeritan yang menggemakan jeritan Sang Guru : "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat 27:46).

Kita bisa terbiasa hidup dengan keletihan harapan berhadapan dengan masa depan yang tak menentu dan tak diketahui, serta hal ini dapat membuka jalan bagi pragmatisme kelabu untuk berdiam di jantung komunitas-komunitas kita. Segala sesuatu tampaknya berjalan seperti biasa, tetapi pada kenyataannya, iman sedang ambruk dan kandas. Kecewa dengan kenyataan yang tidak kita pahami atau kita berpikir tidak ada ruang untuk pesan kita, kita dapat membuka pintu terhadap salah satu bidaah terburuk yang mungkin ada di zaman kita : gagasan bahwa Tuhan dan komunitas-komunitas kita tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan atau disumbangkan di dalam dunia yang baru kini dilahirkan (bdk. Evangelii Gaudium, 83). Apa yang tadinya menjadi garam dan terang dunia, akhirnya menjadi usang dan melemah dalam ketidakberdayaan.

Berilah Aku minum

Keletihan karena perjalanan bisa terjadi; keletihan itu bisa menjadikan dirinya terasa. Suka atau tidak, kita sebaiknya memiliki keberanian yang sama dengan Sang Guru, dan mengatakan, "Berilah Aku minum". Seperti halnya dengan perempuan Samaria dan mungkin dengan diri kita masing-masing, kita ingin memuaskan dahaga kita tidak dengan air apapun tetapi dengan "mata air yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (Yoh 4:14). Seperti perempuan Samaria yang selama bertahun-tahun membawa kendi kosong dari kasih yang kandas, kita tahu bahwa bukan sembarang kata dapat membantu kita mendapatkan kembali energi dan kenabian dalam perutusan kita. Bukan sembarang kebaruan, betapapun menariknya kebaruan tersebut, dapat memuaskan dahaga kita. Kita tahu, seperti yang dilakukan perempuan Samaria, bahwa baik pengetahuan keagamaan maupun menjunjung tinggi pilihan dan tradisi di masa lalu atau masa kini, selalu menjadikan kita "penyembah-penyembah dalam roh dan kebenaran" (Yoh. 4:23) yang berbuah dan bersemangat.

Tuhan berkata, "Berilah Aku minum", Ia meminta kita untuk mengucapkan kata-kata yang sama. Mengucapkan kata-kata tersebut, marilah kita membuka pintu dan memperkenankan kembalinya harapan kita yang letih tanpa rasa takut terhadap dalamnya sumur kasih pertama kita, ketika Yesus melewati jalan kita, menatap kita dengan belas kasihan dan meminta kita untuk mengikuti-Nya. Mengucapkan kata-kata tersebut, marilah kita menghidupkan kembali kenangan tentang saat itu ketika mata-Nya bertemu dengan mata kita, saat Ia membuat kita menyadari bahwa Ia mengasihi kita, tidak hanya secara pribadi tetapi juga sebagai sebuah komunitas (bdk. Homili pada Misa Malam Paskah, 19 April) 2014). Mengucapkan kata-kata tersebut berarti menelusuri kembali langkah-langkah kita dan, dalam kesetiaan yang berdaya cipta, mendengarkan bagaimana Roh tidak mengilhami karya-karya, rencana-rencana atau tatanan-tatanan pastoral tertentu, tetapi sebaliknya, melalui sejumlah “orang kudus pintu sebelah” - termasuk para pendiri institut-institut kalian serta para uskup dan para imam yang meletakkan landasan untuk komunitas-komunitas kalian - Ia memberi kehidupan dan napas segar kepada sebuah saat sejarah tertentu ketika segenap harapan dan martabat tampaknya sulit bernapas dan remuk redam.

“Berilah Aku minum” berarti menemukan keberanian untuk dimurnikan dan merebut kembali bagian paling otentik karisma-karisma pendiri kita - yang tidak hanya untuk kehidupan religius tetapi untuk kehidupan Gereja secara keseluruhan - dan melihat bagaimana karisma-karisma tersebut dapat menemukan ungkapan dewasa ini. Hal ini berarti tidak hanya melihat ke masa lalu dengan rasa syukur, tetapi mencari akar ilham mereka dan memperkenankan ilham tersebut sekali lagi bergema di tengah-tengah kita (bdk. Paus Fransiskus-Fernando Prado, Kekuatan Panggilan, 42).

“Berilah Aku minum” berarti mengenali bahwa kita membutuhkan Roh untuk menjadikan kita manusia yang sadar akan suatu bagian, bagian keselamatan Allah. Dan mempercayai hal itu, sebagaimana yang Ia lakukan kemarin, Ia masih akan melakukannya besok : "Pergi ke akar membantu kita tanpa ragu untuk hidup di masa kini tanpa rasa takut. Kita perlu hidup tanpa rasa takut, menanggapi kehidupan dengan hasrat untuk terlibat dengan sejarah, tenggelam dalam banyak hal. Dengan hasrat para pelaku kasih” (bdk. Paus Fransiskus-Fernando Prado, Kekuatan Panggilan, 44).

Harapan yang letih akan disembuhkan dan akan menikmati "kelelahan hati tertentu" tersebut ketika harapan tidak takut untuk kembali ke tempat kasih pertamanya dan menemukan, di pinggiran-pinggiran dan dalam tantangan-tantangan di hadapan kita dewasa ini, senandung yang sama, tatapan yang sama yang mengilhami senandung dan tatapan mereka yang telah mendahului kita. Dengan cara ini, kita akan terhindar dari bahaya memulai dengan diri sendiri; kita akan mengabaikan rasa mengasihani diri yang melelahkan guna bertatapan dengan Kristus ketika dewasa ini Ia terus mencari kita, memanggil kita dan mengundang kita kepada perutusan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.