Bacaan
Ekaristi : Ibr. 10:19-25; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; Mrk. 4:21-25.
Para
imam seharusnya bersukacita dan melihat berbagai hal dari sudut pandang manusia
dan ilahi, seperti yang dilakukan Santo Yohanes Bosco. Itulah pesan Paus
Fransiskus dalam homilinya pada Misa harian Kamis pagi 31 Januari 2019 di Casa
Santa Marta, Vatikan. Beliau mendorong para imam untuk meneladan Don Bosco,
yang memandang kenyataan dengan hati seorang bapa dan seorang guru, seperti
yang kita baca dalam Doa Pembukaan. Sudut pandang tersebut menunjukkan
kepadanya jalan ke depan : ia tergerak melihat kaum muda yang malang di
jalanan, dan mencari cara untuk membantu mereka tumbuh. Ia berjalan bersama
mereka, dan ia menangis bersama mereka.
Paus
Fransiskus mengenang bahwa pada hari penahbisannya, ibu Don Bosco - seorang
perempuan sederhana dari negeri itu, "yang tidak pernah belajar di
fakultas teologi" - berkata kepadanya : "Hari ini kamu akan mulai
menderita". Ibunya ingin menekankan kenyataan, tetapi juga menarik
perhatiannya; karena jika putranya tidak mengakui penderitaan, itu berarti
segalanya tidak berjalan dengan baik. "Itu adalah ramalan seorang
ibu", kata Paus Fransiskus. Maka, bagi seorang imam, penderitaan adalah
pertanda bahwa segala sesuatu berjalan dengan baik - bukan karena ia bertindak
sebagai "tukang sihir", tetapi karena ia memiliki keberanian, seperti
Santo Yohanes Bosco, untuk memandang kenyataan dengan mata manusia dan dengan
mata Allah. Dalam "zaman masonik," zaman "imam pelahap", ia
melihat "aristokrasi tertutup, di mana orang miskin benar-benar miskin,
tercampakkan, ia melihat kaum muda di jalanan dan mengatakan 'hal ini tidak
mungkin!'”.
Ia
melihat dengan mata seorang manusia, seorang manusia yang adalah saudara tetapi
juga seorang bapa, dan ia berkata, "Tidak, berbagai hal tidak bisa berjalan
seperti ini! Orang-orang muda ini mungkin berakhir di tiang gantungan,
[dilayani] oleh Don Cafasso ... tidak, berbagai hal tidak dapat berlangsung
seperti ini. "Dan ia tergerak sebagai seorang manusia, dan sebagai seorang
manusia ia mulai memikirkan berbagai cara untuk membangkitkan orang-orang muda,
membuat orang-orang muda tumbuh. Jalan manusia. Dan kemudian, ia memiliki
keberanian untuk melihat dengan mata Allah, dan pergi kepada Allah dan berkata,
“Jadikanlah aku melihat hal ini ... hal ini adalah ketidakadilan ... bagaimana
aku menangani hal ini ... Engkau telah menciptakan orang-orang ini demi
penggenapan, dan mereka berada di tengah-tengah tragedi nyata ... ". Dan,
melihat kenyataan dengan kasih seorang bapa - seorang bapa dan guru, liturgi hari
ini mengatakan - dan melihat Allah dengan mata seorang pengemis yang meminta
terang, ia mulai berjalan maju.
Don
Giuseppe Cafasso menghibur para tahanan di Torino pada abad ke-19 dan sering
mengikuti mereka yang dihukum mati di tiang gantungan. Ia adalah sahabat baik
Santo Yohanes Bosco.
Maka,
imam seharusnya memiliki "dua pengutuban ini," kata Paus Fransiskus :
"memandang kenyataan dengan mata manusia," dan dengan "mata
Allah". Dan hal ini berarti "menghabiskan banyak waktu di depan
tabernakel" :
Melihat
dengan cara ini membuatnya melihat jalan, sehingga ia tidak pergi hanya dengan
Katekismus dan Salib : "Lakukanlah hal ini ..." bersama kaum muda dan
berkata, "Selamat malam, sampai jumpa nanti." Tidak, tidak. Ia
mendekati mereka, dengan kegesitan mereka. Ia bermain-main dengan mereka, ia
menempatkan mereka dalam kelompok, seperti saudara. Dan dengan cara ini ia
maju, ia berjalan bersama mereka. Imam yang memandang orang-orang dengan cara
manusia, yang selalu siap sedia.
Paus
Fransiskus menekankan bahwa para imam tidak boleh menjadi pemangku jabatan,
atau hanya karyawan dengan jam kerja tertentu. “Kita memiliki banyak pejabat
yang baik”, beliau mengata, “yang melakukan pekerjaan mereka, sebagaimana yang
harus dilakukan oleh para pejabat. Tetapi imam bukanlah pemangku jabatan, ia
tidak bisa demikian". Paus Fransiskus kemudian memanggil para imam untuk
melihat dengan mata manusia - dan, beliau menjanjikan, "Kalian akan
menerima kepekaan itu, hikmat pemahaman itu bahwa mereka adalah anak-anak kalian,
saudara dan saudari kalian. Dan kemudian, [kalian akan] memiliki keberanian
untuk pergi ke sana untuk berjuang. Imam adalah orang yang berjuang bersama
Allah".
Bapa
Suci mengakui, "Selalu ada resiko mengindahkan manusia dengan mengorbankan
yang ilahi, atau yang ilahi dengan mengorbankan manusia". Namun, beliau
memperingatkan, "jika kita tidak mengambil resiko, kita tidak akan
mencapai apapun dalam hidup". Hal ini tentu saja memerlukan sebuah derajat
penderitaan; penganiayaan dan pergunjingan dimulai : "Lihatlah imam itu
berdiri di sana, di jalanan", bersama anak-anak yang berperilaku buruk
itu, yang “akan memecahkan jendela saya” dengan permainan mereka.
Paus
Fransiskus bersyukur kepada Allah atas karunia Don Bosco, yang mulai bekerja
sejak kecil, dan tahu apa artinya mendapatkan rotinya setiap hari. Ia mengerti
apa itu kesalehan sejati. Allah memberikan hati yang luar biasa kepada Don
Bosco, kata Paus Fransiskus sebagai penutup homilinya, hati seorang bapa dan
seorang guru :
Dan
apa tandanya seorang imam baik-baik saja, melihat kenyataan dengan mata manusia
dan dengan mata Allah? Sukacita. Ketika seorang imam tidak menemukan sukacita
di dalam dirinya, ia harus segera berhenti dan menanyakan mengapa kepada
dirinya sendiri. Dan sukacita Don Bosco dikenal, khan? Karena ia membuat orang
lain bersukacita, dan menggembirakan dirinya. Dan ia menderita. Hari ini,
marilah kita meminta kepada Tuhan, melalui perantaraan Don Bosco, rahmat
sukacita bagi para imam kita : bersukacitalah sehingga mereka memiliki perasaan
memandang berbagai hal dengan benar berkaitan dengan pelayanan pastoral, umat
Allah dengan mata manusia dan dengan mata Allah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.